Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Monday, December 22, 2008

Bila Ibu Boleh Memilih

Anakku...
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar
karena mengandungmu

Maka ibu akan memilih mengandungmu !!
Karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan
kebesaran Allah

Sembilan bulan nak...
Engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak
karena kebahagiaan

Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman,
karena ibu kecewa dan berurai air mata

Anakku...

Bila ibu boleh memilih untuk ibu berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu !!
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit
kelahiranmu

Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga

Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke
luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua
Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa sakit,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun
Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia

Saat itulah...
saat paling membahagiakan
Segala sakit & derita sirna melihat dirimu yang merah,
Anakku...

Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah, atau
harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,
Maka ibu memilih menyusuimu,!!

Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu
dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat
berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu
dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak
bisa rasakan

Anakku...
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang rapat
Atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu

Tetapi anakku...
Hidup memang pilihan...
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak...
Maafkan ibu...
Maafkan ibu...
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle
kehidupan kita,
Agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak...
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak...
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu...

http://groups.google.co.id/group/si-unair2003/browse_thread/thread/c5347b469701d2ef

Monday, November 17, 2008

Orang Iseng Lagi

teman-teman, untuk kesekian kalinya ada orang yang iseng ngerjain aku lewat dunia internet sehingga susah sekali bagiku yang awam dengan bidang ini untuk melacak siapa pelakunya. bagaimanapun aku terganggu sekali karena nama, email, alamat rumah dan no hpku dicantumin di situ dan orang-orang pada menelponku menanyakan benar dan tidaknya. entah apa niatnya: menghancurkan citraku, menerorku, menakut-nakutiku atau apapun namanya. tapi intinya teman-teman, aku tak takut dan mundur dengan teror-teror seperti ini meski udah menyerang ke pribadiku.

teror adalah perbuatan yang maha pengecut, norak dan tidak beradab. gaya seperti ini sama dengan gaya yang dipakai oleh orde baru dulu. aku tahu, teror seperti ini ingin menghentikan dan menyurutkan langkah dan semangatku untuk berkarya, menulis, berpikir positif dan akhirnya kita hanya menerima dan berkubang dengan yang dimaui si peneror. aku merasa ngga pernah melakukan cara-cara seperti ini ke siapapun, kalau aku tak suka atau tidak setuju dengan siapapun maka aku ekspresikan dengan terang benderang, baik lewat sikap, aku sampaikan langsung atau diskusi yang sifatnya argumentatif. tidak dengan cara-cara meneror seperti ini.

setelah beredar email gelap yang mengatasnamakan namaku terkait Tragedi Monas yang isinya pengakuan bahwa aku bertobat dan kemudian menguraikan skenario tragedi monas yang melibatkan SBY dan teman-temanku yang mengatakan bahwa tragedi monas adalah peristiwa yang disengaja untuk mengalihakan isu BBM, sekarang ini ada orang yang lagi-lagi iseng mengatasnamakan namaku dengan memasang iklan mencari jodoh. duh, keterlaluan banget. kontan saja, hari-hari ini aku banyak dihubungi oleh orang-orang yang ngga jelas dan tidak aku kenal sama sekali.

di blog ini aku ingin sampaikan bahwa aku sama sekali ngga pernah memasang iklan apapun. jadi tolong jangan menghubungiku untuk urusan iklan sampah seperti itu. mari kita fokuskan dan konsentrasikan energi, pikiran dan tenaga kita ke arah yang baik dan positif untuk membangun bangsa yang kita cintai ini. terima kasih.

Thursday, November 13, 2008

Sang Guru

dari ujung kabel
suara bergetar
terbayang wajah teduh
mata renta
tak berdaya
penuh aura

suatu siang datang
sang guru berpesan
menanya kabar
tentang kehidupan

: hidupmu sulit anakku
pilihanmu
terus berjuang
berteriaklah
habiskan nafasmu
ragamu
tenagamu
hidupmu
jangan gentar
jangan takut
karna itu takdirmu

sang guru slalu datang
tanpa raga
seperti malaikat dengan cahya
berbicara tentang hidup
sulit
terjal
jadi biasa


jakarta, oktober 2008

Saturday, November 8, 2008

Aku Dicubit

lelaki itu
berjubah di ujung pintu
matanya nanar
merasa paling benar

mata itu jalang
sudah tak lajang
menatap tajam
menghujam

kulewati
tak perduli
ada yang lebih benar

lelaki itu
makin nanar, menepi
tak bisa diam, menyeringai

aduh, kepalaku dipukul!

lelaki itu
tersungging di ujung bibir
salahmu, harus dipukul
desisnya, melenguh

aku marah
tak bisa melawan
mengganjal perasaan

kulewati
mata itu siap menerkam
bergerak dua tangan
diam
menggerayang
di ujung pinggang

sial, aku dicubit
lelaki suka nyambit
berjubah
mengaku paling tinggi
membawa ayat-ayat suci
yang menginjak harga diri

--------


Gelap Diri

cahaya
hilang di ufuk
mendera mencipta bentuk
yang suntuk

masih terasa
tangan menggerayang
liar
penuh kemarahan
penuh berahi
tak terpuaskan

cahaya merayap
perlahan lenyap
senyap

aku limbung
karna tersinggung
gelap diri
jijik dengan diri
menepi

Pengadilan Jakpus, September 2008

Friday, October 10, 2008

’In the Wee Small Hours’

Teman-teman, saya muat catatan pinggir TEMPO edisi 6-12 Oktober 2008 di sini. Selamat membaca.

IZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur, seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.

Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho), ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.

Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pukul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.

Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pula. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan beberapa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru tidak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat. Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya adakah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang ”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika disandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah kita alami?

Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mungkin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia semacam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang menyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu.

Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan kedamaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendirian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberondong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah selingan dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat kedamaian hal yang lumrah.
Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Krakatau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu menutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Tahun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”. Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis sebuah sajak yang memukau, Darkness.

…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
tanpa sinar, tanpa jalur,
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…

Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementara Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya.” Angin pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam Semesta itu sendiri. She was the Universe.”
Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah sebabnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga keterbukaan.

Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain, kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi, ”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir sejenak seperti sesuatu yang abadi.

Goenawan Mohamad

Thursday, October 9, 2008

Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme

Oleh Adnan Buyung Nasution

Belakangan ini timbul berbagai ancaman terkait fundamentalisme agama.

Pertama, kemunculan berbagai peraturan daerah syariat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Kedua, desakan untuk mengegolkan RUU tentang Pornografi yang amat antiperempuan (misogynist) dan tidak mampu melindungi anak. Ketiga, tindak kekerasan yang dilakukan kelompok fundamental terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas, rakyat kecil marjinal, juga aktivis pejuang kebebasan beragama.

Ancaman itu menjadi kian serius saat berbagai kelompok fundamental mulai mengembuskan isu mayoritas vis a vis minoritas ke ruang publik. Simak tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang selalu dikaitkan pandangan mainstream kelompok Islam.

Demikian pula dengan rencana pengesahan RUU Pornografi yang kabarnya sebagai hadiah Ramadhan bagi mayoritas. Celakanya, aspirasi fundamentalistik yang dikesankan mendapat dukungan mayoritas itu membuat cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) seolah kehilangan pegangan dan tidak berdaya.

Pertanyaannya, jika benar ada dukungan mayoritas terhadap berbagai aspirasi fundamentalistik, apakah hal itu dapat dijadikan argumentasi yang sahih sebagai pembenaran segala tindakan penyelenggara negara? Pertanyaan itu kerap dijawab serampangan atau disederhanakan melalui ungkapan semacam vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Jika mayoritas berkehendak, maka jadilah.

Pemahaman demikian tentu mengandung kerancuan karena majority rule hanyalah salah satu aturan main dalam demokrasi dan bukan fondasi dari demokrasi itu sendiri. Mekanisme kehendak mayoritas hingga kini dan mungkin sampai kapan pun merupakan prosedur yang jauh lebih baik dibanding sistem monarki atau kekhalifahan yang mengandaikan adanya pribadi pemimpin arif bijaksana yang diangkat secara turun-temurun atau lewat penunjukan segelintir orang.

Meskipun demikian, demokrasi tidak melulu terkait prosedur. Demokrasi harus memiliki substansi, yaitu prinsip-prinsip pokok yang harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, demokrasi harus berdasarkan prinsip konstitusionalisme yang bertujuan membatasi kesewenang-wenangan kekuasaan, termasuk mencegah adanya tirani dari kelompok mayoritas (tyranny of the majority).

Konstitusionalisme

Sejak pendirian Republik, Hatta mengupayakan adanya jaminan bagi perlindungan kebebasan individu sekaligus meletakkan fondasi konstitusionalisme di Indonesia. Ia mewakili pendukung prinsip demokratis yang mengajukan penolakan terhadap faham integralistik Soepomo yang mengabaikan hak-hak minoritas dan mengandung ide-ide penyeragaman yang amat berbahaya. Hatta menginginkan adanya suatu negara pengurus yang tidak kebablasan menjadi negara kekuasaan, negara penindas (Risalah Sidang BPUPKI/PPKI).

Upaya mewujudkan konstitusionalisme di Indonesia lalu dilanjutkan dan sempat mendapatkan momentumnya saat Konstituante berhasil dibentuk lewat Pemilu 1955 yang amat demokratis. Anggota konstituante yang berjumlah 544 orang itu telah bersidang selama sekitar 3,5 tahun. Mereka bahkan telah berhasil merumuskan 24 pokok HAM. Namun, sebagaimana kita ketahui, pencapaian itu dimentahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pada masa Orde Baru, pekerjaan besar bangsa ini untuk mewujudkan konstitusionalisme terhambat. Rezim otoriter menutup segala saluran dan menggunakan aparatusnya untuk menyelusup dalam rongga-rongga terdalam kehidupan masyarakat bahkan secara aktif memantau kehidupan orang perseorangan. Pada masa itu kebebasan menjadi kosakata yang telah kehilangan makna.

Pers dan media layaknya koor yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerintah. Suara sumbang dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembreidelan. Kehidupan kepolitikan dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan demokrasi seolah-olah. Lawan-lawan politik dan ideologis penguasa diberi stigma sebagai musuh negara dan diperlakukan layaknya warga negara kelas dua. Batas-batas ditentukan dengan ketat dan upaya untuk melampauinya akan digolongkan sebagai tindakan subversif. Pendeknya, Orde Baru telah melucuti hak-hak individu warga negara.

Memasuki era Reformasi terjadi perkembangan yang cukup baik, terutama setelah amandemen UUD 1945. Kekuasaan negara yang sewenang-wenang dan sentralistik telah dilucuti. Kebebasan warga negara dan otonomi daerah telah mendapatkan jaminan di dalam konstitusi.

Persoalan timbul belakangan saat kebebasan dikotori oleh ekstremisme dalam berekspresi. Otonomi daerah pun ditunggangi aneka kepentingan sektarian untuk mengegolkan berbagai perda diskriminatif dan melanggar HAM.

Ancaman demokrasi kita

Insiden Monas 1 Juni 2008 seharusnya dapat menyadarkan banyak kalangan tentang kondisi demokrasi kita yang masih mengidap penyakit kronis. Virus perusak demokrasi itu dibawa oleh berbagai kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan pada sesama warga.

Tindakan premanisme seharusnya dapat diatasi sebelumnya jika saja negara tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan konstitusi, terutama untuk menindak pelaku dan melindungi kelompok-kelompok minoritas, yang marjinal, lemah, dan terancam. Meski pada akhirnya aparat bertindak dan hingga kini upaya hukum telah berjalan, terjadinya insiden itu harus dipahami sebagai ekses dari lambatnya respons negara.

Dengan pemahaman demikian, seharusnya saat ini aparat hukum lebih sigap, apalagi dengan menyimak perkembangan serius yang terjadi belakangan dalam proses persidangan.

Berbagai kelompok telah melangkah lebih jauh dengan melecehkan wibawa hukum. Mereka tidak segan-segan melakukan intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan di ruang sidang pengadilan. Di titik kritis ini, tidak ada pilihan lain, penegakan hukum harus mampu menjadi ultimum remedium guna mencegah agar tidak terjadi kondisi ketiadaan norma (normless) dan memastikan tercapainya summum bonum (greatest good).

Akhirnya, saya ingin sungguh-sungguh meyakinkan segenap bangsa ini, ancaman fundamentalisme agama itu nyata dan berbahaya karena bertujuan menciptakan negara berdasarkan agama. Sejauh ini berbagai kelompok fundamental itu telah menyorong penyelenggara negara hingga tersudut di tepian jurang inkonstitusionalitas.

Karena itu, kita semua harus senantiasa berpegang teguh pada faham konstitusionalisme agar tidak salah langkah dan mampu menjaga bangsa ini tidak terempas dan pecah berkeping-keping.

Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior
Kompas hal 4, Kamis, 9 Oktober 2008

Friday, August 22, 2008

Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal

(teman-teman, tulisan ini adalah tulisan mas ulil. saya harap tulisan ini berguna untuk kita semua)

USAI memberikan ceramah di sebuah kantor di kawasan Jakarta Selatan sekitar enam tahun yang lalu, saya bertanya kepada seorang panitia, di mana saya bisa mengambil air wudu dan melaksanakan salat Asar. Saat saya salat, secara lamat-lamat saya mendengar bisik-bisik di balik punggung, "Lho, Mas Ulil kok salat, katanya liberal."

Saat di Boston, saya aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh sebuah kelompok pengajian bernama IQRA. Selain ingin menikmati masakan Indonesia yang dihidangkan oleh ibu-ibu anggota pengajian, saya juga bisa belajar bagaimana teman-teman yang tinggal di Amerika memaknai Islam. Kadang-kadang saya juga memberikan ceramah, tetapi lebih sering menjadi pendengar saja. Kadang saya juga didaulat menjadi imam salat.

Saat Ramadan, seluruh kegiatan buka puasa hampir tak pernah saya lewatkan. Selain isteri saya memang gemar sekali memasak dan ingin berbagi masakan itu dengan teman-teman Indonesia yang lain, saya juga menikmati pertemuan-pertemuan seperti itu karena membuat saya bisa merasakan "getaran" bulan puasa. Ibadah puasa tidak terlalu asyik jika dilaksanakan sepenuhnya secara "personal" dan "soliter". Sejak kecil, saya menikmati puasa sebagai "tindakan kolektif". Pengalaman sosial seperti itu tak saya jumpai selama di Amerika, sebab di sini jumlah umat Islam sedikit sekali.

Dengan mengikuti momen-momen buka puasa atau melaksanakan salat tarawih secara bareng-bareng, saya merasakan kembali "suasana sosial" dalam ibadah puasa. Pengalaman sosial dalam beragama ini bukan hanya khas Islam; dalam agama apapun, dimensi "bebrayan" atau sosialitas ini sangat penting. Pengalaman yang membekas pada para pemeluk agama biasanya bukan sekedar "kesyahduan individual" saat seseorang melakukan meditasi untuk berkomunikasi dengan Tuhan, misalnya dalam sembahyang. Pengalaman yang paling membekas biasanya adalah pengalaman beragama secara sosial itu.

Kelompok paguyuban semacam IQRA atau yang lain memiliki makna yang penting bagi masarakat Muslim yang hidup di luar negeri karena membantu mereka untuk mengalami kembali pengalaman sosial dalam beragama dan beribadah.

Itulah sebabnya, dengan suka cita saya mengikuti kegiatan bulan puasa yang diadakan teman-teman Indonesia di kota Boston. Sekali lagi, saya mendengar bisik-bisik di baik punggung, "Kok Mas Ulil puasa, padahal liberal."


SEJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata "jil" selain enak diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang artinya "generasi". JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya"dibajak" oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama.

Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting.

Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan "negara" yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda.

JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.

Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat "harga mati". Misalnya, saat saya kecil di kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam khutbah.

Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara kiai-kiai NU cenderung konservatif.

Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi, tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat juga menjadi tidak sah pula.

Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat: apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat? Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak? Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang sama sekali tak dipahami?

Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah yang cukup "liberal" dalam kasus khutbah Jumat, umumnya bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini.

Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata cara ibadah bersifat "fixed" alias harga mati. Jumlah rakaat salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya. Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat ta'abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan.

Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, "al-salah mukh-kh al-'ibadah", salat atau berdoa adalah "the crux" atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia, berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan.

Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan yang penting dalam keislaman yang saya pahami. Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam, maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus.

Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious Experience" itu, beragama yang "genuine" ditandai oleh semacam gejala seperti "flu berat" (acute fever). Beragama yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai pengalaman yang menyerupai "baju bekas", (istilah yang dipakai oleh James adalah second hand religious life).

Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali.


PERBEDAAN mendasar antara saya beserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti "budak" yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah.

Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali-kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi "afala ta'qilun", apakah kalian tak memakai akal, atau "la'allakum tatafakkarun" atau "afala tatafakkarun", apakah kalian tak berpikir.

Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut ini, "inna syarra al-dawabbi 'inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya'qilun." (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka.

Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat.

Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba'ana kazalika yaf'alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya.

Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang "ngotot" merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat "tipikal" pada semua masyarakat manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman.

Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran.

Itulah "tuli" dan "bisu" yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang-orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.

Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai "syarr al-dawabb", binantang melata yang paling buruk. Kata "dabbah" (bentuk tunggal dari kata "dawabb") secara harafiah berarti "kullu ma yadibbu 'ala al-ard", segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata "dabbah" biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka.

Dengan bersembunyi di balik alasan "tunduk pada perintah Tuhan", orang-orang yang disebut "syarr al-dawabb" itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama.

Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama.


DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya zaman.

Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini.

Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan "petuah" dan "fatwa" ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen, "ma aflaha qawmun wallau amrahum imra'atan." Terjemahan bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal.

Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan berikut ini.

Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin? Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu?

Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk pada perintah Tuhan bukan seperti "budak bego" yang sama sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk kategori "syarr al-dawabb", "the ugliest animal", binatang yang teramat buruk.

Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan, cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini, muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce melalui aparat pemerintah.

Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia? Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek-prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek-praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak perlu meninjau "hukum Tuhan" itu? Bukankah yang penting adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum?

Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana.

Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan.

Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang jelas.

Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja, alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib.

Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu, meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tidak empat, kenapa tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja. Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah anda bisa menghayati spiritualitas yang "genuine" dengan cara ibadah yang anda ikuti itu atau tidak.

Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama: membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber, Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama memiliki cara ibadah yang "arbitrer". Tak ada alasan yang substansial di balik tata-cara ibadah itu.

Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan; yakni beragama yang secara individual menekankan spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah pelajari waktu duduk di madrasah ibtida'iyah (setara dengan SD) puluhan tahun yang lalu.

Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja'a bihi Muhammadun SAW li sa'adat al-insani fi al-'ajili wa al-ajili.

Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui pengembangan spiritualitas yang mendalam. Sementara itu, kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama: yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada kata "kebahagiaan".

Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M), kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa'adah al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan praktis (al-sa'adah al-'amaliyyah) yang diajarkan oleh para nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang bahagia.

Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara "kebajikan" (arete) dan "pengetahuan" (episteme). Dalam konsepsi ini, kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan kebajiikan atau "virtue". Istilah "virtue" ini diterjemahkan dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai "akhlaq". Sementara itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat Islam klasik sebagai "malakah" atau "habitus", yakni kebiasaan yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau "virtue" dalam pengertian "malakah" adalah semacam "etika yang tertubuhkan" (embodied ethics).

Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak bahagia.

Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak bahagia.

Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan "teoretis" dan "praktis" semacam itu.

Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis, sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang, seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau sa'adah.

Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan. Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya, pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir "diteror" oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat, atau khawatir kehilangan "posisi sosial" tertentu.

Kita tak boleh tunduk atau takut pada ancaman kaum radikal-fundamentalis.

Ulil Abshar Abdalla

Wednesday, August 20, 2008

Kesadaran dan Kemerdekaan

Bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan. Apakah kita sudah merdeka secara individu? Siapakah kita? Apa yang harus kita capai dalam hidup ini? Dari mana kita berasal dan kemana kita akan berakhir? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin kadang-kadang muncul dalam pikiran kita. Bila kita manusia pragmatis, kita tak akan bertanya-tanya seperti ini. Ya udah jalani aja hidup ini, ngapain berat-berat mikir. Kalau jawabannya pake perspektif agama, pertanyaan-pertanyaan di atas sudah terang benderang ada dalam Kitab Suci, tinggal kita mengimaninya. Tapi apakah penjelasan itu cukup?

Terkadang kita resah dengan diri kita sendiri. Apalagi kalau lagi suntuk. Maka untuk mencari jawabannya, saya memilih untuk membuka kembali pernyataan-pernyatan filosof untuk membantu menemukan jawaban dari keresahan kita. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pernyataan eksistensi kita semua, tentang diri kita. Saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan memakai uraian Jean Paul Sartre, seorang filosof eksistensi yang sangat terkenal. Menurut Sartre, di dunia ini ada dua macam bentuk eksistensi. Yang pertama disebutnya dengan istilah etre-en-soi dan yang kedua dinamakan etre-pour-soi.

Etre-en-soi adalah suatu cara bereksistensi secara tertutup, utuh menutup dirinya seperti kita lihat pada benda-benda mati. Dia seperti tertutup rapat, tidak ada celah untuk melihat keluar. Karena dia menyatu dengan dirinya secara massif, dia seakan-akan selesai dengan dirinya. Dia tidak memiliki kesadaran sedikitpun.

Sebaliknya dengan eksistensi yang kedua, etre-pour-soi. Dia terbuka, tidak massif, melainkan retak. Karena itu dia dapat melihat keluar dan ini artinya dia memiliki kesadaran, kesadaran bukan saja tentang dunia luar tapi juga kesadaran tentang dirinya sendiri. Bentuk eksistensi semacam ini adalah bentuk eksistensi manusia.

Namun kesadaran akan diri sebenarnya adalah pengingkaran akan diri sendiri juga. Dia meretakkan keadaannya yang sekarang, yang tadinya bersifat massif, rapat tertutup, karena dengan menyadari dirinya, dia mempertentangkan adanya kemungkinan yang lain. Dia lalu memproyeksikan dirinya kepada kemungkinan yang lain itu. Pada saat dia menyadari dirinya, maka dia tidak lagi menjadi dirinya, dia menjadi retak dua atau lebih karena dia menjadi dirinya dan juga kemungkinan atau kemungkinan-kemungkinannya.

Di sini kita melihat bahwa manusia adalah sebuah kemungkinan yang terbuka, dalam arti lain, manusia memiliki kemerdekaan (kebebasan). Dia punya pilihan kemungkinan mana yang akan dia ambil, dialah yang mempertimbangkan kemungkinan mana yang lebih baik dan seterusnya. Ini berarti, kalau pilihannya baik, maka dia akan merasa betapa manisnya kemerdekaan yang dia miliki. Sebaliknya, bila salah maka dia harus mempertanggungjawabkannya sendirian.

Adanya kemungkinan kedua ini membuat manusia ragu-ragu untuk memiliki kemerdekaan. Takut dengan hal yang buruk adalah wajar. Karena itulah banyak orang yang menyerahkan dirinya dengan pilihan orang lain yang memilihkan untuk kita. Karena kalau pilihan itu salah, kita tak terganggu oleh perasaan bahwa itu adalah tanggung jawab kita dan karena kita mengikuti pilihan orang lain, maka kita bukanlah satu-satunya orang yang melakukan kesalahan itu. Tidakkah lebih baik kalau kita mengikuti orang lain saja, dalam menentukan pilihan-pilihan yang datang setiap saat di dalam hidup ini. Adanya kenyataan ini membuat Kierkegaard berkata: “setiap saat manusia ada dalam keadaan memilih, atau tetap mempertahankan kemerdekaannya atau menjadi budak”. Dalam kenyataannya, kebanyakan manusia memilih untuk menjadi budak. Takut menanggung sendiri dengan konsekuensi dari pilihannya itu.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari kita takut untuk hidup sebagai dirinya, Dia hidup mengikuti cara-cara hidup yang sudah ditentukan oleh masyarakat sekelilingnya:kantor, keluarga, teman dan lainnya. Masyarakat sudah mengatur apa yang boleh dia lakukan dan apa yang tidak boleh dia lakukan. Kata Heidegger: “Kita gembira dan menjadi bahagia seperti juga mereka; kita membaca dan menilai apapun seperti cara mereka membaca dan menilainya; kita menjadi terkejut tentang hal-hal yang mereka anggap mengejutkan. Mereka, yang dalam kenyataannya kita tidak tahu siapa, adalah salah satu bentuk dari cara bereksistensi.”

Ini adalah cara bereksistensi dari kebanyakan orang yang oleh Heidegger disebut dengan istilah Das Man. Hidupnya hanya mengikuti “seperti yang dilakukan semua orang” dan kalau kita tanyakan kepada tiap orang yang ada, ternyata tiap orang ini mengikuti si “semua orang” ini. sehingga “semua orang” ini sama dengan “tidak seorang pun”, dia hanyalah alasan untuk membenarkan cara bereksistensi kita, yang menolak kemerdekaan.

Keadaan seperti itu disebut oleh Heidegger sebagai keadaan manusia dalam keadaan kejatuhan atau Varfallenheit. Manusia ada di bawah taraf eksistensinya yang hakiki, yang memungkinkan dia bangkit sebagai individu. Dalam keadaan seperti ini, dia menjadi takut dan tidak menjadi bangga untuk bangkit menjadi seorang individu.

Tapi keadaan seperti ini tidak bisa dipertahankan terus menerus karena pada dasarnya dengan adanya kesadaran pada manusia, dia adalah seorang individu. Ada keadaan-keadaan yang memaksa dia untuk keluar dari persembunyiannya di dalam kehidupan bersama masyarakat.

Saya tidak tahu, mungkin saya termasuk dalam kategori manusia kebanyakan, yang takut dengan pilihan-pilihan sendiri dan konsekuensinya, yang belum merdeka, yang belum bisa memaksimalkan kesadaran diri sebagai individu. Meski saya terus menerus berusaha untuk menjadi individu yang merdeka.

Aduh, kok serius banget ya? :)

Tuesday, August 19, 2008

Tentang Buku "Pergulatan Iman"

Mungkin kita sudah biasa membaca atau mendengar persoalan agama dibicarakan dan ditulis oleh orang-orang yang menamakan dirinya tokoh-tokoh agama baik itu kyai, ulama, ustadz, pendeta, romo, bikhu dan sebagainya. Seakan-akan soal agama dan keyakinan hanyalah milik tokoh agama tersebut. Dalam buku ini kita akan membaca sesuatu yang “lain” soal agama. Yaitu bagaimana orang-orang dari latar belakang yang bukan ahli agama mendedahkan pemahaman dan pengalamannya dalam beragama. Mereka berbicara secara blak-blakan soal imannya yang sangat pribadi dan merupakan bagian dari pergulatan hidupnya.

Wawancara yang terangkum dalam buku ini merupakan wawancara yang dilakukan sepanjang tahun 2002 sampai 2005, dimana pembaca bisa menikmati pengalaman keagamaan seorang Munir, pahlawan HAM kita yang kemudian “dibungkam”selamanya. Atau pengalaman Dee Lestari yang saat itu masih beragama Protestan, sekarang menjadi Budhis. Semua wawancara di buku ini merupakan transkrip talk show yang menjadi salah satu program kegiatan Jaringan Islam Liberal (JIL). Acara ini bekerja sama dengan Kantor Berita Radio 68H yang mengudara sejak bulan Juni 2001 dan disiarkan di 30 radio seluruh Indonesia sampai sekarang.

Selain di radio, wawancara ini juga dimuat di Jawa Pos dan jaringannya seluruh Indonesia yang juga merupakan program sindikasi media JIL dan website www.islamlib.com. Tujuan program talk show radio ini adalah ingin berinteraksi langsung dengan publik pendengar, berdiskusi dan memperbincangkan secara bebas soal-soal keagamaan dan keislaman yang ramah, toleran, tanpa saling menyalahkan dan merasa diri paling benar.

Dalam acara talk show radio ini, di setiap awal bulan, kami mengundang anak muda dari pelbagai latar belakang disiplin selain disiplin agama, untuk berbicara tentang persoalan dan pengalaman keagamaannya. Ada aktivis LSM, aktivis perempuan, ekonom, politisi dan lain-lain. Kami sengaja membuat acara ini untuk mengetahui sejauhmana agama bagi teman-teman muda ini yang memang “tidak sengaja” belajar agama menjadi inspirasi hidup dan aktivitas sosialnya.

Program-program JIL baik di radio, sindikasi media maupun di website bertujuan dalam rangka mencipta ruang publik bagi siapa saja untuk mengungkapkan dan mengekspresikan pergulatan dan perbincangan keagamaannya. Mengutip istilah Irshad Manji, feminis muslim dari Kanada, kita mencoba mengungkap, menjalani dan melakoni “beriman tanpa rasa Takut” dari siapapun dan apapun karena persoalan Iman adalah persoalan dan tanggung jawab pribadi langsung kita dengan sang Pencipta.

Buku ini diterbitkan bekerja sama dengan Penerbit Nalar dan sekarang sudah tersedia di toko-toko buku. Sebenarnya, rencana penerbitan ini sudah lama dibicarakan tapi baru sekarang terlaksana. Semoga penerbitan buku kumpulan wawancara ini berguna dan menjadi inspirasi untuk semua. Selamat membaca.

Friday, August 1, 2008

Tentang Cinta

Saat ini, hidupku seperti dalam mimpi, karena berbeda dengan dunia nyata yang selama ini kulalui. Tapi bisa juga, aku hidup di dunia nyata dan baru saja keluar dari alam mimpi. Hasrat-hasrat yang selama ini hanya bisa hadir dalam mimpi, kini menjelma dalam dunia nyata.

Aku hidup dalam dunia nyata tapi berbeda dengan sebelumnya, karena ada beberapa mimpi yang menjelma nyata. Tentu saja, aku saat ini tidak bermimpi tapi memimpikan. Namun jika ditanyakan esok, aku tidak tahu, apakah kenyataan saat ini akan tetap menjadi kenyataan esok hari, atau aku sedang terseret menuju alam impian yang merupakan ‘mimpi masa depan’. Saat ini, ia hadir di dunia nyata setelah sebelumnya berasal dari alam mimpi. Dan bagiku, menyanyangimu adalah mimpi sekaligus impian. Mimpi kemaren, dan impian mendatang.

Idealnya, mimpi menjadi nyata, baik saat ini, ataupun nanti dalam impian. Mimpiku selama ini adalah Cinta sedangkan impiannya adalah Kita. Saat ini yang nyata adalah Cinta namun belum membentuk Kita. Cinta adalah gagasan yang berasal dari mimpi, sedangkan Kita adalah bentuk impian dan harapan mendatang. Cinta telah mempertemukan ‘aku’ dan ‘Kamu’. Cinta ibarat simpul, menautkan dua utas tali. Seperti bejana dia akan mengumpulkan dua jiwa. Ibarat delta, ia adalah muara dari dua alur sungai perasaan. Dan Kita adalah sepasang dari dua raga, dan sekeping dari dua wajah.

Kita selalu memimpikan menjadi pasangan yang ideal. Saling memberi dan menerima, laksana langit dan bumi, seperti sebait yang diliris oleh Mawlana Jalaluddin Rumi dalam puisinya,Menurut akal, langit adalah pria dan bumi adalah wanita, apa saja yang diberikan oleh satunya, yang lainnya menerima.

Puisi di atas menggambarkan sebuah siklus kehidupan. Langit menurunkan hujan, bumi menerimanya untuk menyuburkan tanah, dari rahimnya tumbuh beraneka ragam tanaman, memberi kehidupan bagi seluruh makhluk. Pada saat lain, air hujan yang melimpah-ruah, ditampung, diuapkan dan kembali menuju langit, menjadi gumpalan-gumpalan awan, berubah mendung, dan menurunkan hujan. Demikian seterusnya.

Pasangan bak ruh dan jasad, tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Jalaluddin Rumi melanjutkan puisinya, Ruh tidak bisa berfungsi tanpa badan, dan tanpa ruh, badan layu dan dingin badanmu tampak dan ruhmu tersembunyi keduanya inilah yang mengatur urusan dunia.

Dalam mimpi masyarakat Yunani klasik, cinta diklasifikasikan menjadi tiga. Yaitu, cinta Eros, Philos dan Agape. Tiga perasaan kasih sayang ini sering dikutip orang-orang yang berbicara tentang cinta. Mari kita bahas untuk mengingatnya lagi.

Cinta Eros adalah cinta sensual, cinta ini bersumber dari keinginan untuk memiliki, dorongan menuntut, mendesak, mengambil, bukan memberi. Cinta ini murupakan perwujudan dari ego seseorang yang ingin menunjukkah eksistensinya.

Menaklukkan dan memperbudak adalah tujuan dari cinta ini. Orang Yunani kuno melambangkan cinta ini dengan Cupid yang melepaskan anak panah beracun ke jantung manusia. Iqbal melukiskan cinta ini dengan kata-katanya, cinta adalah anak kecil yang bermain membentuk individualitas kita kemudia berkata lirih lepaskan!

Cinta Philos adalah cinta yang tumbuh dari persahabatan dan kebersamaan yang mendalam, orang jawa menuturkan witing tresna jalaran soko kulina (cinta bersemi, karena kebiasaan). Ia bergerak, mendesak jauh masuk ke dalam. Ia tidak hanya menuntut, tapi, berusaha membagi, berempati, memahami dan menaklukkan ego masing-masing. Keindahan bukan pada dataran material, tapi imaterial, yang menarik "kita" bukan bersumber dari hubungan individu tapi hubungan sosial, bukan senyuman, namun keakraban, bukan pemberian namun kebersamaan, tidak hanya sekedar simpati namun berempati.

Perbedaan bukan untuk dihilangkan namun dibentuk menjadi ritme-ritme musik kehidupan. Bukankah lagu yang indah berasal dari perbedaan tujuh tangga nada, do, re, mi, fa, so, la, dan si... Perbedaan untuk dipahami, dan dipertemukan. Jarak di sini dilambangkan dengan ruang dan waktu, tempat dan zaman yang memisahkan jasad-jasad. Namun, jarak terpenting yang harus diruntuhkan adalah jarak ruh, yang bersumber dari ego masing-masing pasangan. Pertemuan di sini adalah titik akhir dari proses pengertian dan pemahaman terhadap orang lain, dan diri sendiri, sehingga bisa memahami orang lain dan mampu meruntuhkan ego.

Cinta Agape adalah cinta yang paling tertinggi. Cinta ini ditandai dengan perhatian aktif pada orang yang kita cintai, keinginan untuk diterima di sisinya. Ada kedambaan yang membara untuk memberikan segalanya pada sang kekasih tanpa syarat dan pamrih. Agape adalah cinta spiritual yang jauh menyelam dari dataran badani ke dalam nurani. Jalaludin Rumi mengatakan mencari hati dan meninggalkan tulang. Cinta Agape adalah muara jiwa dari dua jenis cinta di atas, "semangat"nya mewakili cinta Eros dan "empati"nya mewakili cinta Philos. Namun kelebihannya, Agape berusa mencari dimensi-dimensi (sudut-sudut) yang belum diungkap oleh cinta Eros dan Philos. Cinta inilah yang akan memberikan
keabadian.

Tiga cinta ini bisa dilihat sebagai sebuah proses. Dari cinta Eros, mendaki menuju Philos: dan Agape sebagai puncak. Namun bisa juga dipahami sebagai satu-kesatuan karakter manusiawi yang harus ada dalam jiwa masing-masing pasangan. Kalau dalam bahasa Al-Quran—Surat al-Rum ayat 31—disebut istilah mawaddah dan rahmah. Mawaddah identik dengan cinta kasih (birahi?). Cinta ini menautkan perasaan antara laki-laki dan perempuan, dan bersumber dari masing-masing ego pasangan untuk memiliki dan dimiliki.

Sedangkan rahmah (kasih sayang) adalah perasaan sayang, yang bersumber dari empati. Cinta model ini melahirkan perasaan untuk mengayomi, melindungi, dan menyantuni. Seperti perasaan kasih sayang orang tua pada anak, kakak pada adik, saudara terhadap saudara yang lain, dan lain sebagainya.

Kedua dari perasaan ini mutlak diperlukan dalam pasangan yang mendambakan ketentraman. Ego dan empati sama-sama penting, dengan ego kita mempunyai kekuatan untuk saling memiliki, dengan empati kita mempunyai kekuatan untuk bersama, saling mengisi, dan menerima.

Akhirnya, semoga Tuhan menyemai cinta kasih-Nya dalam ego dan empati yang terhampar di hati Kita. (dun2!)

Tuesday, July 22, 2008

Wawancaraku dengan Ayu Utami

Setelah sempat off selama hampir 7 tahun, Ayu Utami kembali mengeluarkan novel terbaruya Bilangan Fu. Tentu saja pembaca jangan berharap novel ini akan semanis novel pertamanya, Saman. Dalam novel ini, kita akan melihat kematangan Ayu Utami menulis, bercerita, dan bagaimana dia menafsirkan cerita rakyat serta mengelola begitu banyak berita “ganjil” yang terjadi dalam masyarakat kita. Ayu berhasil merumuskannya menjadi manifesto sikap keagamaan yang ia tawarkan untuk kondisi sekarang: spiritualisme kritis.

Untuk acara peluncuran novel Bilangan Fu yang diluncurkan Minggu malam di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta, aku mewawancarai Ayu Utami seputar proses kreatif penulisan dan latar novel ini dicipta. Berikut petikannya:

Mbak Ayu, dibanding dengan novel-novel sebelumnya, saya melihat tema yang diangkat dalam novel ini cukup berat yaitu ingin mengritik 3 M: modernisme, monotheisme dan militerisme. Kenapa? Bisakah diceritakan proses awal kenapa mengambil tema ini? Bagaimana proses penulisannya?

Tentang 3M itu saya rumuskan sambil mendaki gunung Gede, olah raga rutin saya. Biasanya, sambil berjalan saya merenung-renung. Lalu, muncullah ide itu setelah pikiran saya berputar-putar sampai tak begitu bisa saya sadari lagi. Barangkali jalarannya begini. Pada masa Orde Baru, sebagai aktivis kemerdekaan pers, kami tahu bahwa musuh utama demokrasi adalah militerisme. Itu "M" yang pertama.

Nah, sekarang? Setelah Indonesia lumayan terbebas dari militerisme, kita menghadapi ancaman baru. Yaitu, ancaman yang berasal dari ketidakbebasan pikiran. Keengganan bahkan ketakutan terhadap kebebasan pikiran. Ini rupa-rupanya berasal dari beberapa hal. Dalam kasus Indonesia: satu, ketakutan. Ketakutan pada apa? Ketakutan bahwa kemerdekaan akan menghilangkan identitas kita sebagai "bangsa timur", "bangsa beragama", atau apapun yang kita percaya sebagai identitas kita. Sedihnya, ketakutan ini ternyata dipelihara melalui-atau menggunakan-agama. Ditambah dengan meningkatnya kekerasan atas nama agama sepuluh tahun belakangan ini. Kebetulan Indonesia mayoritas muslim. Maka, itulah "M" yang kedua: monoteisme. Saya percaya bahwa Islam maupun Kristen, yakni agama-agama monoteis, memiliki persoalan mendasar dalam kapasitas menerima perbedaan. Ini harus diakui secara jujur tanpa takut. Dua, ketidakbebasan pikiran ini datang dari kemanjaan yang dipelihara oleh kapitalisme. Kapitalisme tak bisa dilepaskan dari modernitas. Itulah "M" yang ketiga. Modernitas.

Jadilah 3M yang saya sebut sebagai ancaman terhadap dunia postmodern: Militerisme, Monoteisme, Modernisme. Hahaha. Ini autokritik sesungguhnya. Sebab, saya punya idealisasi tertentu pada militer. Saya penyuka pria dengan military-look. Tegap. Cepak. Hehe. Saya juga menikmati buah kapitalisme. Saya juga lahir dari tradisi monoteis.


Saya ingin tanya lebih detail lagi. Apa sih yang anda maksud dengan modernisme itu?

Sebetulnya terminologi yang tepat adalah modernitas. Atau pemikiran modern. Bilangan Fu juga bercerita tentang persoalan lingkungan. Rusaknya lingkungan karena eksploitasi dari manusia modern yang kelewat batas. Dalam skala besar: pemanasan global. Tapi, novel kan harus mengambil skala yang lebih kecil dan terfokus. Maka saya bercerita tentang eksploitasi penambangan gunung gamping di pantai selatan Jawa.

Apa alasan ekspolitasi? Ekonomi! Alasan ekonomi semata. Nah, inilah alasan yang sangat khas datang bersama modernitas dan konconya, kapitalisme. Manusia memandang dunia dari sudut kepentingan ekonomi belaka. Dari sudut kepentingan dirinya belaka. Manusia modern tak punya rasa hormat pada alam.

Sederhananya begini. Dulu, ketika masih hidup dengan "takhayul" tentang roh-roh penunggu bumi, manusia bersikap hormat pada alam. Masyarakat adat biasanya tidak berburu atau menebang pohon kelewat batas. Mereka permisi sebelum masuk hutan. Nah, manusia modern-yang telah berpikir rasional dan tak lagi takut pada takhayul-kehilangan rasa hormat itu. Jika dulu manusia tradisional melihat alam sebagai subyek, kini alam semata-mata obyek. Dulu bumi harus disajeni, kini bumi hanya untuk dieksploitasi. Manusia modern telah demikian sombong.

Kritik saya yang terutama adalah bahwa pemikiran modern yang terlalu mengagungkan rasio atau akal telah terlampau jauh meremehkan nilai-nilai tradisi, yang sesungguhnya sangat positif terhadap alam, dan juga telah merendahkan bumi. Ah, kita juga tahu, dalam perdebatan filsafat, bahwa rasio itu tak lepas dari kepentingan. Tak lepas dari libido, kata Freud. Tak lepas dari kekuasaan. Akal sehat itu tidak sehat-sehat amat. Kerusakan bumi menunjukkan bahwa rasio telah menjadi alat dari kehendak berkuasa saja.

Nah, dari penjelasan anda tadi, apa sebenarnya yang ingin anda tawarkan dalam mengritik modernisme ini?

Tawaran saya: spiritualisme kritis! Manusia tak hanya punya kepentingan jahat. Manusia juga punya kepentingan baik. Sama seperti manusia tak hanya punya nafsu rendah, tapi juga nafsu luhur. Kita switch, kita alihkan saja. Jadikan akal instrumental itu alat dari kehendak baik. Apa yang mendesak sekarang? Menyelamatkan bumi! Bukan menyelamati akhirat! Hal yang paling utama dari kesadaran modern sesungguhnya adalah kemampuan kritis. Inilah yang patut disyukuri tiada habis dari modernitas, buah rasio. Ini yang saya kira harus kita genjot. Kita kritik diri kita. Kita kritik nafsu-nafsu berkuasa kita. Karena itu, saya menawarkan "spiritualisme kritis."

Kita tahu, ketika rasionalitas berkembang, mereka mencurigai habis-habisan agama. Tuhan sudah mati, kata Nietzsche. Tapi, kesalahan kaum sekularis-dengan menampik agama-adalah justru membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis. Karena itu, kita butuh merebut kembali agama. Dan menafsirkannya kembali dengan lebih terbuka. Kita harus lebih belajar dari agama-agama bumi. Yaitu, sekali lagi, untuk menyelamatkan dunia lebih daripada mendahulukan akhirat.

Anda juga mengritik monotheisme. Apa yang salah dengan konsep ini?

Menurut saya, ada yang salah dengan slogan monoteis ini: kami mencari akhirat, bukan dunia. Dalam Bilangan Fu, saya khususnya menyoroti secara prihatin kesombongan monoteisme atas agama-agama lokal. Monoteisme-entah Kristen entah Islam-merendahkan agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Padahal, sesungguhnya agama-agama lokal ini memiliki penghormatan yang luar biasa pada alam. Dikotomi monoteis atas dunia dan akhirat harus dikaji ulang.

Salah satu contoh yang pantas membuat kita prihatin adalah, dua tahun lalu, segerombol pemuda dengan atribut Pemuda Persatuan Islam (Persis) di Jakarta memangkasi sebuah beringin tua di Harmoni. Alasannya karena pohon itu dianggap keramat, bahkan jalur busway pun tak boleh merobohkannya. Pemerintah kota juga mempertahankan pohon itu karena nilainya bagi lingkungan.

Ada sebuah cerpen yang sangat puitis dari Marguerite Yourcenar tentang seorang rahib Kristen Ortodoks yang menghanguskan hutan demi mengusir jin dan peri. Pada akhirnya jin dan peri itu bersembunyi di gua pada sebuah bukit cadas. Untuk memenjarakan mereka, sang rahib mendirikan gereja menutup mulut gua itu. Tapi, Perawan Maria membebaskan peri dan jin itu dari balik jubahnya sebagai burung-burung layang-layang. Buat saya: agama tak berhasil membebaskan manusia. Manusia memanjakan nafsu berkuasanya dengan agama, tapi yang suci memberikan kasihnya.


Mbak Ayu, setting dan tokoh dalam novel ini tentang pemanjat tebing. Kenapa anda mengambil setting dan tokoh tentang itu? Kenapa si akunya bukan perempuan?

Saya belum siap bercerita tentang diri saya sendiri. Hahaha… Saya masih ingin menyembunyikan pribadi saya. Hehehe…. Saya kira penulis justru leluasa untuk menjadi bukan dirinya.

Sesungguhnya awal cerita ini sangat pribadi dan sederhana. Yaitu, kisah masa lalu kekasih saya, Erik Prasetya. Ia memiliki sebuah periode sangat bahagia di masa mudanya, ketika ia menjadi pemanjat tebing, memiliki sahabat, sesama pemanjat, yang ia sayangi, serta kekasih yang ia cintai. Mereka membangun persahabatan yang istimewa antar tiga manusia. Sahabat itu mati dalam kecelakaan di tebing. Setelah itu, hubungan dia dan kekasihnya tak bisa sama lagi. Saya terkesan dengan hubungan yang puitis itu dan tragedi yang mengakhirinya. Betapa rentan manusia.

Tapi, sisa cerita dan pergulatan pemikirannya adalah bagian saya sendiri. Saya menulisnya di masa setelah reformasi. Keprihatinan saya adalah gangguan atas kedamaian dan hak sipil dari gerombolan yang memakai nama agama. Jadi, keprihatinan saya adalah ini: reformasi memberi kita kemerdekaan, tapi masyarakat tidak siap dengan kemerdekaan itu. Dan agama dipakai untuk menolak kemerdekaan.

Saya punya kesan novel Bilangan Fu dibanding novel Saman, sepertinya hanya bisa dipahami oleh kalangan terbatas karena soal tema yang diangkatnya cukup berat, orisinil, dan gaya bahasanya juga lebih berat dan penuh data, tidak secair seperti novel Saman. Apakah anda sengaja memilih seperti ini?

Saya kok tidak begitu sepakat. Struktur ceritanya sebetulnya sangat padat dan sederhana. Lebih sederhana daripada Saman ataupun Larung. Yaitu, tentang cinta segitiga yang istimewa. Tentang usaha menyelamatkan kawasan karst atau gamping. Memang Saman lebih manis. Karena si "aku" penceritanya adalah perempuan lugu yang sedang jatuh cinta dan melankoli. Larung lebih gelap karena karakter yang memiliki sejenis kegilaan. Bilangan Fu diceritakan oleh karakter yang sinis dan skeptis: Yuda. Memang ia punya cara pandang yang khas dan suka mengomentari banyak hal. Tapi, Yuda yang membuat struktur cerita yang sederhana menjadi tidak biasa. Yuda yang membuat hal sehari-hari jadi nampak aneh.

Mbak, kenapa sih judul novelnya Bilangan Fu? Banyak yang bertanya soal judul ini. Terus, apa sih Bilangan Fu itu?

Semula saya ingin menamainya Jalur 13. Semula ceritanya adalah jalur pemanjatan maut berangka 13. Angka yang dianggap sial. Lucunya, angka 13-yang dianggap sial di Barat ini-jika diurai dan dijumlah sebagai 1+3 hasilnya adalah 4. Yaitu Tsi, angka sial di Cina. Hehehe.

Saya semula memang ingin bermain-main dengan sebuah bilangan yang dianggap angker. Tradisi membuat saya berputar-putar pada bilangan 13. Ternyata akhirnya saya berakhir dengan sebuah bilangan yang memiliki properti 0 dan 1 sekaligus. Bilangan ketiga belas dalam sistem bilangan berbasis 12, bukan berbasis 10. Ada banyak hal menarik mengenai perbedaan bilangan berbasis 12 dan 10 ini. Semenarik fakta bahwa jari
kita sepuluh dan fakta bahwa bumi mengelilingi matahari dalam 12 bulan!

Apapun, bilangan fu adalah bilangan yang metaforis, bukan matematis. Spiritual, bukan rasional. Ia merupakan kritik bahwa pengertian kita tentang Tuhan yang satu dalam monoteisme terlalu matematis. Ketika monoteisme dirumuskan, orang belum mengenal bilangan 0. Konsekuensinya, 1 yang dimaksud bisa sama dengan konsep mengenai 0, yaitu yang penuh sekaligus kosong, tidak terbatas, tidak rasional.

Kenapa "Fu"?

Semula karena ada alat musik tiup yang bernama Fu. Tapi, perhatikan, bunyi "fu", juga "hu", dan bunyi bersuara bilabial adalah bunyi dasar. Bilabial adalah bunyi konsonan yang dibuat dari aliran udara menggetarkan dua bibir. Kalau kita bernafas keras, kita mengeluarkan bunyi yang mirip ini. Buat saya, itu bunyi nafas. Bunyi kehidupan. Ya.
Bunyi hidup tapi bukan bunyi nafsu.

Berbeda dari "ma", seperti dalam "mama" atau "makan"; "pa", seperti dalam "papa" atau "pangan"; "da" seperti dalam "dada". "Ma", "pa", dan "da" adalah bunyi libido. Saya
tulis di Bilangan Fu, "ma" dan "pa" adalah bunyi perut, yang mencintai rasa kenyang. "Fu", atau variasinya "hu", dalah bunyi hidung, yang dari sana manusia bernafas. Fu adalah bunyi ruh.

Dalam novel ini juga banyak tersaji tentang cerita rakyat dan pewayangan. Apakah anda punya tendensi ingin menafsir ulang cerita-cerita tersebut?

Ya. Bagi saya cerita rakyat dan pewayangan, seperti juga kitab suci, terlalu kerap ditafsirkan dengan penyederhanaan berlebihan. Saya ingin menyumbang dalam tafsir yang seharusnya lebih kompleks.

Misalnya, saya ingat, ada seorang guru SD yang protes terhadap cerita rakyat. Menurut dia cerita rakyat itu bukan cerita anak-anak. Contohnya cerita Sangkuriang, yang bercerita tentang hubungan seks. Lha! Memang, cerita rakyat bukan cerita anak-anak. Tapi, bukan berarti tidak boleh diperkenalkan kepada anak-anak juga. Keistimewaan legenda adalah karena ia bisa disampaikan sebagai cerita segala umur, termasuk anak-anak.

Tetapi, di lapisan berikutnya ia mengandung bahan dan data yang lebih kompleks. Kita harus memelihara kekayaan itu. Lagi pula, setelah berumur, saya tahu dan percaya tak ada yang sungguh-sungguh baru di dunia ini. Jadi, kenapa tidak menggarap tema-tema klasik?

Berapa lama anda menyelesaikan novel ini?

Empat tahun penuh kegagalan. Setelah itu, sembilan bulan menuliskannya dalam bentuk yang sekarang ini dengan sangat lancar. Dalam empat tahun sebelumnya, sejak akhir 2003, saya mencoba menulis dan terus merasa gagal. Saya berlatih panjat tebing, penelusuran gua, dan pelbagai lain. Begitu banyak waktu, tenaga, dan uang yang saya habiskan, sesungguhnya.

Tapi saya puas. Saya merasa seperti pemanjat bersih. Yaitu, yang tidak memaksakan ide pada cerita. Seperti tidak memaksakan bor dan paku pada gunung batu. Saya merasa memanjat dengan jalur yang disediakan alam dan dengan peralatan yang tidak merusak tebing.

Mbak, apa saja hambatan dan tantangan yang dialami ketika menulis novel ini?

Tantangannya, saya tidak ingin mengulangi Saman dan Larung. Saman dan Larung ditulis di masa Suharto yang otoriter. Karena itu, saya ingin membebaskan diri dari linearitas bercerita. Dalam keduanya, saya ingin bercerita yang tidak lurus tidak padat, melainkan longgar. Bilangan Fu tidak. Saya ingin kembali kepada cerita yang sederhana. Apalagi di masa yang khaos dan ribut ini, saya ingin kembali kepada plot yang lurus. Ternyata tidak mudah memberi makna baru pada kesederhanaan.


Pertanyaan terakhir mbak. Adakah perasaan "terbebani" karena khawatir novel ini tidak sebagus atau tidak sesukses novel Saman?

Tidak. Sukses itu selalu separuh nasib. Nasib tidak bisa dipaksakan. Saman sukses karena dia yang pertama di zamannya. Dia pemberontakan. Dia menghantar pada masa perubahan. Dia diluncurkan sepuluh hari sebelum Suharto jatuh! Dia membawa gosip pula.

Selain itu, saya yakin bahwa Bilangan Fu lebih bagus daripada Saman. Paling tidak, saya lebih puas terhadap Bilangan Fu dibanding Saman. Secara struktur dia lebih kompak, lebih padat. Secara isi dia lebih berbobot. Saya juga senang bisa melibatkan gambar dari banyak khasanah, bisa memasukkan berita-berita koran yang absurd.

Memang, sekali lagi Bilangan Fu tidak manis dan lembut seperti Saman. Tapi, itulah hidup. Seperti anggur atau keju. Saya bertambah umur. Saya tidak bisa terus-menerus lembut seperti keju muda. Saya tak bisa terus-menerus manis atau jualan manis.

Friday, July 18, 2008

Irshad Manji dan Muslim Refusenik

April lalu, Irshad Manji berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya ini dalam rangka penerbitan bukunya dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Buku yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul The Trouble with Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith ini sudah diterjemahkan dalam 30an bahasa di dunia. Karyanya ini mengguncang jagad pemikiran keislaman dan dianggap mengancam para otoritas keislaman karena gayanya yang blak-blakan tentang persoalan-persoalan Islam.

Hal ini diakui oleh Dr. Khaleel Mohammed, seorang Imam yang belajar Ilmu Syari’ah di Muhamad bin Saud University Riyadh dan sekarang menjadi Professor Islam di San Diego State University. Dia mengatakan dalam pengantar buku Irshad Manji: The Trouble with Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith bahwa semestinya dia membenci Irshad Manji. Karena Manji telah mengancam posisi dia sebagai Imam lewat pemikiran-pemikiran yang kritis tentang Islam. Bila umat Islam menerima pemikiran Manji maka peran dia sebagai Imam yang mempunyai peran penting dalam menggawangi dan merumuskan ajaran Islam, akan selesai dan tidak berguna lagi. Selain itu, kata Mohammed, Manji juga mengancam posisinya sebagai laki-laki karena Manji terang-terangan mengakui kalau dirinya adalah seorang lesbian, yang menurutnya, status itu jelas-jelas dilaknat Allah.

Namun Mohammed buru-buru menyadari kalau ia tak sepatutnya membenci Manji. Lewat proses kegelisahan yang cukup panjang akhirnya Mohammed mengakui kalau apa yang dilakukan Manji selama ini lewat gebrakan pemikirannya yang selalu mengajak umat Islam untuk bersikap terbuka, toleransi, mengkritik kalangan Islam radikal, dan menentang penindasan, termasuk penindasan-penindasan yang dirasionalisasikan oleh para imam, sheikh, mullah, professor dan siapapun dengan berani berijtihad, adalah benar adanya.

Meski Mohammed menegaskan bahwa dia sendiri tak sepenuhnya setuju dengan pemikiran Manji, namun karena ajaran Islam itu sangat menghargai kebebasan berpikir maka usaha dan pemikiran Manji harus dipahami sebagai salah satu bentuk ijtihad dirinya yang meski dipuji dan dihargai. Apalagi tindakan Manji selama ini karena didasarkan pada ayat Alquran yang mengatakan: ” Wahai orang-orang yang beriman! jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapa dan kaum kerabatmu..."(Quran, 4:135)

Pada dasarnya Manji bukanlah berlatar belakang studi Islam. Tetapi ia mempunyai riwayat hidup yang menarik dalam keluarganya yang mempengaruhi pemikiran dan pilihan hidupnya. Sebagai seorang lesbian, ia tidak merasa ”berdosa” atas pilihan orientasi seksualnya meski ia tahu bahwa agamanya tidak memberi tempat pada pilihannya itu. Pertanyaannya: jika Tuhan yang Maha Tahu dan Maha berkuasa tidak ingin menjadikan aku seorang lesbian, kenapa Tuhan tidak menciptakan orang lain untuk menggantikan posisiku? Bukankah Tuhan sangat bisa dengan keMaha Kuasaanya menjadikanku untuk tidak menjadi seorang lesbian?

Manji menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas British Columbia dalam bidang Sejarah Ide. Di tahun 1990, dia mendapatkan penghargaan Governor General's Silver Medal untuk lulusan bidang kemanusiaan. Kemudian bekerja di Parlemen Kanada menjadi asisten legislatif, sekretaris media di Pemerintah Ontario dan menjadi penulis naskah pidato untuk pemimpin New Democratic Party. Di usia 24 tahun, ia menjadi editor nasional untuk Ottawa Cittizen, dan menjadi anggota termuda sebagai editor di Canadian daily. Ia juga menjadi host dan produser untuk beberapa acara televisi dan memenangkan Gemini, penghargaan bergengsi televisi di Canada. Tahun 2002, ia menjadi penulis di Hart House Universitas Toronto, dari sinilah Manji mulai menulis buku The Trouble with Islam Today yang membuatnya kontrovesial. Sekarang ia menetap di New York dan memegang Moral Courage Project, sebuah lembaga non profit yang diperuntukkan untuk pemberdayaan anak-anak muda seluruh dunia.

Dalam pencarian keislamannya, Manji menemukan banyak kesalahpahaman yang terjadi di dalam umat Islam saat ini dalam memahami ajaran Islam yang semestinya. Hal ini, menurut Manji, dikarenakan penafsiran Islam yang literer dan dogmatis yang diajarkan oleh para imam dan otoritas keislaman lainnya. Inilah yang membuat, istilah dia, The Trouble with Islam today. Karena itu Manji berseru keras agar umat Islam harus berani berijtihad, membuka & menafsirkan ajaran Islam kembali dengan pemikirannya sendiri yang sesuai dengan konteks dan persoalan yang dihadapi sekarang ini.

Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, Manji sangat nyaring menggaungkan pentingnya ijtihad di kalangan umat Islam saat ini. Meski Manji bukanlah seorang sarjana muslim yang sengaja dan secara spesifik belajar tentang Islam namun keberhasilan dia adalah dia telah dengan jujur dan berani serta bersikap untuk mengungkapkan sesuatu yang salah yang dirasakan seorang muslim tentang Islam yang "dipraktekkan" dalam masyarakat saat ini.

Karena itu, ia menyebut dirinya sebagai Muslim Refusenik. Identitas ini bukan berarti ia menolak untuk menjadi muslim tapi ia menolak bergabung dengan sebuah pasukan robot atas nama Allah, menentang penjajahan otoritas dan pemahaman serta penafsiran Islam yang dominan sekarang ini yang disebarkan oleh para mullah, imam, sheikh dan lain-lain. Islam yang menyebarkan kebencian kepada yang lain, Islam yang menghalalkan kekerasan hanya karena berharap bertemu bidadari dan masuk surga, Islam yang tidak ramah dengan perempuan untuk melanggengkan patriarkhi, Islam yang menolak hak asasi manusia dan sekulerasiasi untuk menegakkan teokrasi dan lain-lain.

Istilah Refusenik berasal dari kalangan Yahudi-Soviet yang memperjuangkan kebebasan pribadi dan kebebasan beragama. Pemerintah Komunis saat itu menindas dan menghalagi perjuangan dan hak mereka. Mereka menolak untuk pindah ke Israel dan akhirnya dihukum berat bahkan ada yang dibunuh. Namun perjuangan mereka mendapatkan kemenangan dengan tumbangnya kekuasaan Soviet.

Manji meyakini bahwa apa yang dilakukannya selama ini akan mendapatkan hasilnya. Hal ini terbukti dengan karyanya telah diterbitkan dimana-mana dan Manji pun diundang ke pelbagai belahan dunia. Ia berharap umat Islam tidak akan terbelenggu lagi dengan pemahaman-pemahaman literer yang membuat Islam ini terpuruk dan tidak beradab. Manji masih lantang bersuara sampai sekarang.

Sangat jarang menemukan orang yang berani seperti Manji di tengah konstelasi umat Islam saat ini. Karena pemikirannya yang dianggap mengancam itulah ia mendapat banyak cercaan dan ancaman termasuk diancam dibunuh dari kalangan Islam yang tidak setuju dengannya. Bahkan The New York Times menyebut Manji sebagai “mimpi buruk Osama bin Laden”. Namun Manji tidak takut mati karena ia punya keyakinan bahwa meski raganya mati tapi gagasan dan pemikiran tetap akan hidup dan tetap diteruskan oleh orang-orang yang setuju dengannya. Selamat datang Irshad Manji!

** Dimuat di Media Indonesia tanggal 25 April 2008

Monday, June 23, 2008

Pelurusan Fakta Tragedi Berdarah Monas

Saya muat dalam blog saya ini tulisan tentang pelurusan fakta seputar tragedi berdarah Monas. Sekarang ini isunya sangat simpang siur dan ada upaya pemutarbalikkan fakta dan fitnah keji terhadap AKKBB. Lihatlah bagaimana nama saya dipakai dalam email fitnah yang disebar kemana-mana tanpa saya bisa menghentikannya. email itu bilang kalau aksi damai AKKBB memang dalam rangka mengalihkan isu BBM. Subhanallah, keji sekali orang yang membuat email tersebut. kalau tidak ada penyerangan terhadap aksi kami yang damai ini, mana mungkin aksi kami diliput secara besar-besaran di media. Saya hanya bisa berdoa yang terbaik untuk yang menulis dan menyebar email itu agar sadar dengan perbuatan kejinya ini.

Lihatlah juga komentar-komentar di blog saya ini, luar biasa kasar dan tidak beradabnya. Terus terang, saya jadi sedih kalau umat kita seperti ini. tapi saya biarkan saja karena saya yakin semua ini dalam proses belajar menjadi manusia yang baik.

Oh ya, artikel pendek ini ditulis oleh saidiman, yang pada aksi tersebut, menjadi dinamisator aksi damai peringatan hari Pancasila. Maafkan saya teman-teman, saya belum bisa & mampu menulis panjang dan berefleksi dengan peristiwa berdarah kemarin di blog ini.

----

Tragedi Monas, 1 Juni 2008, berupa penyerangan kelompok Front Pembela Islam (FPI) kepada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah menjadi bahan perbincangan publik yang terus bergulir tak tentu arah. Tulisan ini ingin sedikit memberi klarifikasi terhadap kesimpangsiuran berita yang mulai cenderung salah arah tersebut.

Penyerangan, Bukan Bentrok

Beberapa media tidak segan-segan menyebut tragedi ini “bentrokan” antara massa FPI dan AKKBB. Istilah bentrokan sungguh menyesatkan karena itu mengandaikan AKKBB juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.

Faktanya, FPI menyerang massa AKKBB. Saat itu, acara belum dimulai. Sebagian massa AKKBB berada di pelataran Monas menunggu aksi longmarch yang akan dimulai dari kawasan belakang stasiun Gambir. Sambil menunggu massa AKKBB yang lain, massa yang ada di pelataran Monas tersebut duduk-duduk. Ketika massa FPI mendekat, massa AKKBB diperintahkan untuk duduk. Saya sendiri yang menyampaikan kepada massa untuk tidak terprovokasi, karena kami melihat massa FPI semakin dekat dan berteriak-teriak sambil mengancung-acungkan pentungan. Saya lalu meminta massa untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Belum sempat lagu kebangsaan itu dinyanyikan, massa FPI sudah menyerbu. Mereka memukul dengan pentungan bambu, meninju, menendang, menginjak-injak, sambil melontarkan sumpah serapah. Saya masih sempat menyeru massa AKKBB untuk tetap duduk, sebab kesepakatan kita, aksi ini adalah aksi damai. Kalau ada serangan fisik, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Massa AKKBB memang patuh kepada kesepakatan, tidak ada satupun massa yang melakukan perlawanan. Tetapi karena serangan begitu massif, akhirnya massa AKKBB bubar menyelematkan diri. Ibu-ibu menangis, anak-anak menjerit ketakutan, puluhan orang menderita luka.

Tidak Ada Provokasi

Beberapa hari setelah tragedi, muncul pemberitaan bahwa massa AKKBB melakukan provokasi terlebih dahulu melalui orasi yang menyatakan bahwa massa penyerang itu adalah “laskar setan atau iblis.” Itu adalah dusta besar. Faktanya, acara belum dimulai. Orasi belum dilaksanakan. Yang ada hanyalah seruan kepada peserta AKKBB untuk duduk, untuk tidak terprovokasi, dan untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Dan tidak pernah ada bukti bahwa orasi provokasi benar-benar dilakukan oleh AKKBB.

Patut dicatat beberapa pernyataan dalam orasi-orasi pemimpin serangan FPI pada saat serangan telah dilakukan. Alfian Tanjung mengatakan di depan massa FPI: “Saya bangga dengan Anda semua yang telah melibas mereka dengan cepat.” Indikasi bahwa aksi ini dilakukan secara terencana dan dengan restu Riziq Shihab bisa dilihat dari pernyataan Alfian Tanjung selanjutnya: “Pada pertemuan terakhir kita dengan Habib Riziq, dia memegang tangan saya, “Ustadz Alfian, hari minggu siang kita perang.” Pada kesempatan itu, Alfian juga mengatakan bahwa mereka baru saja menang satu kosong, dan mereka akan terus menang sampai 1000 kosong.

Menjelang bubar, Munarman menyampaikan kepada massanya bahwa aksi mereka hari itu belum apa-apa: “Kita belum memenangkan pertempuran… Berikutnya kita akan datangi tempat-tempat mereka. Kita akan datangi yang namanya Goenawan Mohamad. Kita akan datangi yang namanya Asmara Nababan. Munarman juga menyampaikan: “Sudah ada penyampaian baik dari polisi maupun intelijen kita yang menyatakan konsentrasi massa pembela-pembela Ahmadiyah itu sudah bubar. Tidak ada kegiatan di HI dan di depan RRI.”

Bukti-bukti orasi ini sangat penting untuk melihat bahwa FPI memang melakukan serangan secara terencana dan bukan insidental.

Senjata Api

Ada foto yang beredar tentang seorang berbaju putih yang mengangkat pistol. Ini, oleh beberapa berita, disebut sebagai provokasi dari AKKBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa aksi hari itu adalah aksi Apel Akbar Peringatan 63 Tahun Pancasila dengan tema “Satu Indonesia untuk Semua.” Sejak awal, aksi AKKBB adalah aksi damai. Jangankan memprovokasi, kita bahkan sepakat bahwa jika ada serangan, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Tidak pernah ada instruksi bagi peserta aksi untuk membawa senjata tajam. Fakta bahwa banyak peserta aksi adalah ibu-ibu dan anak-anak adalah bukti bahwa aksi ini memang dirancang dalam format damai.

Ada anggapan bahwa si pembawa pistol adalah massa AKKBB karena mengenakan pita merah putih di lengan bajunya. Yang harus diketahui adalah bahwa panitia aksi hari itu sama sekali tidak menyediakan atribut pita merah putih yang dipasang di lengan baju. Panitia hanya menyediakan kalung pita merah putih yang hanya dipakai oleh para perangkat dan simpul-simpul aksi. Aksi ini sendiri bersifat umum karena mengundang siapa saja melalui media massa dan pengumuman internet. Penggunaan atribut pita merah putih di lengan baju dilakukan pada aksi AKKBB sebelumnya, 6 Mei 2008. Tetapi pada 1 Juni 2008, panitia tidak menyediakan atribut serupa.

Ada pernyataan Munarman yang menarik. Dia mengatakan: “Kami tidak bisa dibohongi karena sudah menyusupkan orang kami di tengah-tengah mereka….” (Sabili No. 25 Th. XV).

Keluar Rute

Massa AKKBB juga dianggap menyalahi pemberitahuan kepada pihak polisi karena tidak patuh kepada rute awal, yakni belakang stasiun gambir kemudian menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI). AKKBB dianggap melanggar karena masuk ke pelataran Monas.

Faktanya, rencana aksi AKKBB akan dimulai pukul 14.00 WIB. Penyerangan yang dilakukan FPI di dalam pelataran Monas adalah pukul 13.15 WIB. Perlu diketahui adalah bahwa massa AKKBB yang ada di pelataran Monas tersebut tidak sedang melakukan aksi, melainkan bersiap-siap menuju tempat dimulainya aksi, yakni belakang stasiun Gambir. Massa yang diperkirakan hadir pada aksi peringatan Pancasila tersebut adalah sekitar 10.000 orang. Massa ini belum berkumpul pada satu titik secara utuh, mereka masih berpencar di sekitar Monas, karena hari itu memang Monas sangat ramai. Massa AKKBB masih menunggu dimulainya aksi. Massa AKKBB masih bergerombol di banyak sekali tempat di sekitar Monas. Salah satu kumpulan massa yang terbesar adalah di tempat di mana massa FPI menyerang tersebut. Massa AKKBB masih ada di banyak tempat, sebagian besar masih dalam perjalanan. Tidak benar aksi keluar dari rute, sebab aksi belum dimulai.

Menipu Peserta

Berita terakhir yang banyak beredar bahwa AKKBB telah menipu massa anak-anak dan ibu-ibu yang diajak untuk berwisata ke Dufan, tetapi kemudian diarahkan menjadi peserta aksi. Ini juga adalah dusta.

Faktanya, aksi peringatan Pancasila ini sudah diberitakan melalui tidak kurang dari delapan media cetak. Pemberitahuan ini juga ditambah dengan pengumuman di pelbagai mailing list. Dan tidak pernah keluar bukti bahwa para peserta itu ditipu. Yang terjadi adalah upaya untuk memfitnah aksi AKKBB ini dengan pelbagai cara.

Pengalihan Isu BBM

Fitnah yang paling keji dan menggelikan adalah ketika tragedi Monas disebut sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sengaja dilakukan oleh AKKBB. Fitnah ini sangat keji, karena peserta aksi AKKBB yang prihatin terhadap gejala pengabaian dasar negara, Pancasila, kemudian tanpa bukti disebut untuk mengalihkan isu.

Faktanya, jika tragedi ini disebut sebagai pengalihan isu, maka sesungguhnya yang patut disebut sebagai pelaku pengalihan isu adalah massa penyerang. Inisiatif menyerang ada di tangan FPI. Kalau mereka tidak melakukan gerakan serangan, maka barangkali isu kenaikan harga BBM akan tetap jadi perbincangan. Sekali lagi, AKKBB adalah korban dari sebuah inisiatif serangan dari pihak FPI.(www.saidiman.wordpress.com)

Tuesday, June 17, 2008

Indonesia

Ini catatan pinggir mas goen di Majalah Tempo minggu ini. Tulisan ini bisa jadi renungan kita bersama ketika membicarakan soal keindonesiaan kita. selamat membaca.
--------

Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”

Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai “Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.

Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2008.

Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.

Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.

Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut “bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.

Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.

Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.

Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, “gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: “gotong-royong” itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang “kekeluargaan”.

Artinya, “gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan “kekeluargaan”. Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--“yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, “yang Islam dan yang Kristen”, “yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai “egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?

Goenawan Mohamad