Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Thursday, January 17, 2008

Slamet

Rabu kemarin (16/1) lagi-lagi ada berita yang menyayat hati kita semua. Slamet seorang pedagang gorengan di Pasar Badak Pandeglang Banten terpaksa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Saya sedih karena saya juga berasal dari kebupaten yang sama, Pandeglang. Saya yakin, Slamet bukannya ngga tahu kalau bunuh diri dalam agamanya itu dosa, tapi ia sudah tak tahan dengan tekanan hajat hidup yang semakin berat. Sebagai pedagang kecil pendapatannya terus menurun, sementara minyak tanah semakin sulit didapat dan harganya terus naik. Ditambah melonjaknya harga bahan-bahan pokok dagangannya: tempe, tepung terigu, tepung tapioka, sayuran dan minyak goreng.

Kita tahu, Slamet adalah satu dari ribuan pedagang makanan yang terkena dampak dari buruknya pemerintah mengatur negeri ini. Tidak pernah jelas sampai sekarang bagaimana program pemerintah membantu masyarakat miskin. Dulu saya pernah ikutan menandatangani persetujuan untuk pengurangan subsidi BBM karena akan dialihkan subsidinya ke rakyat miskin berupa kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial lainnya. Namun pada prakteknya hal itu sulit sekali. Ternyata banyak kebijakan pemerintah semakin membuat masyarakat miskin susah. Banyak slamet-slamet di negeri ini dan saya tak mampu melakukan apa-apa untuk membantu mereka.

Berita tentang Slamet dan lainnya terabaikan. Semua perhatian dan berita dicurahkan ke Soeharto, termasuk doa. Nasib Slamet semakin terpinggirkan, dan mungkin akan terlupakan. Peristiwa Slamet ini mengetuk hati kita, dan menggugah nurani bahwa hari demi hari masa depan rakyat kecil semakin tak pasti di negeri ini. Slamet adalah tumbal dari pembiaran dan ketidakpedulian, serta kesewenang-wenangan Pemerintah yang terus menerus berlangsung.

Hari Rabu siang itu saya mampir ke Utan Kayu dan bertemu dengan Mas Goen. tiba-tiba mas goen meminta saya untuk membuat acara doa dan renungan untuk Slamet. Tentu saja saya menyanggupinya meski acara dan persiapannya sangat mendadak. Saat itu juga langsung dibicarakan tehnis acaranya dan siapa aja yang akan diundang untuk memimpin doa.

Tadi malam, sekitar 50 orang hadir di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Kamis 17 Januari. Kita larut dalam kesedihan dan keprihatinan. Kematian Slamet yang tragis memanggil dan membuat kita berkumpul di Kedai Tempo. Saya terharu karena dalam waktu yang sangat mendadak dan tidak terjadwal sama sekali, tokoh-tokoh agama dan masyarakat lintas agama itu datang untuk berdoa dan menyatakan keprihatinan. Berkali-kali saya menyeka air mata saya mendengar doa dan ungkapan keprihatinan yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh agama yang memimpin doa.

Siti Musdah Mulia dari ICRP memulai dengan doa, ungkapan duka, dan keprihatinan. Selanjutnya diikuti dengan tokoh-tokoh lintas agama yang lain, Zafrullah Pontoh (JAI), Pdt Albertus Patty dari GKI, Pdt Martin Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Pdt Gomar Gultom dari PGI, Bikhu Bhadravidya dari Majelis Buddhayana Indonesia, Romo Benny Susetyo dari KWI, Romo Jus Felix Mawengkang, MSC, dan ditutup Abd Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal.

Dalam acara malam itu juga dibacakan Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang ditulis Tahun 1986 “The Death of Sukardal”, kisah tukang becak yang gantung diri karena becaknya dirampas oleh petugas. Goenawan Mohamad juga memberikan orasi: menceritakan sosok Slamet yang meninggalkan seorang istri, empat orang anak dan hutang yang belum
terbayar. Slamet memiliki hutang 5 juta dan baru terbayar 2.5 juta. Slamet tak mampu lagi membayar sisanya.

Acara tersebut ditutup pemutaran sebuah film berjudul “Kematian di Jakarta” karya Ucu Agustin yang mengisahkan kematian orang-orang terlantar di Jakarta.

Di acara itu, saya juga secara spontan meminta sumbangan untuk membantu keluarga yang ditinggalkan Slamet, minimal untuk membayar utangnya. Malam itu terkumpul dana sebesar 2 juta rupiah. Rencananya, sumbangan ini akan terus dilanjutkan pengumpulannya oleh Radio Utan Kayu Jakarta dan kemudian akan langsung diberikan ke keluarga Slamet. Semoga tak ada lagi Slamet atau Sukardal lainnya di negeri ini. Meski sepertinya harapan itu sangat sulit terjadi mengingat kondisi bangsa dan kebijakan pemerintah kita masih seperti ini.

Tuesday, January 15, 2008

Umi

Aku kangen Umi. Rasa ini membuatku selalu berdoa dan pasrah menjalani hidup, ngga ngoyo dan ambisius. Rasa ini membuatku rehat dari kelelahan mengejar keinginan hidupku yang menggebu-gebu, apapun itu.

Kemarin, aku membuka-buka kembali diaryku ketika umiku sakit. Waktu itu aku masih kuliah di IAIN sekitar tahun 1997. Umiku bersabar dan bertahan dengan kesakitannya selama 8 tahun, menurutku waktu yang sangat lama sekali untuk sebuah penderitaan, yang akhirnya di pertengahan Januari 2004 Tuhan mengakhiri kesakitannya.

Sampai sekarang, aku tak habis pikir dengan ulah Tuhan yang memberi kesakitan yang lama untuk umiku. menurutku, ini benar-benar ngga adil. sering kali aku kemukakan gugatan dan kemarahanku itu kepada Umiku bila aku bermanja-manja sambil tidur-tiduran di sampingnya ketika ia masih hidup. Jawaban umi, "Allah sayang sama Umi, Nong. Kamu jangan begitu sama Allah. Ambil hikmahnya aja." Aku tak seperti Umi, aku marah besar saat itu sama Tuhan. terus terang, aku tak pernah menemukan hikmahnya dari itu semua, selain aku melihat penderitaan umi dan kemudian kehilangan umi. Buatku kalau pun Tuhan menghukum Umiku, mestinya tak sekejam itu. Umiku orang yang sangat baik, berkorban banyak untuk ibu, saudara-saudaranya, suami dan anak-anaknya dan betul-betul mengabdi untuk masyarakatnya. kenapa Tuhan tega sama umiku?

Desember lalu, ada pidato kebudayaan D. Zawawi Imron, penyair senior dari Madura. selesai pidato, dia membacakan puisi IBU. Zawawi membacakannya dengan penuh seluruh. Aku bergetar, menangis, aku ingat Umiku.. langsung aja aku ingin mendapatkan teks puisi itu. tadi malam, puisi itu dikirimkan oleh guntur, orang Madura juga. terima kasih gun..

Ibu

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
aku ingat sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa aku bayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966
dari buku : Madura, Akulah Darahmu