Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Monday, April 20, 2009

Muslimah Feminis


Buku ini penting terutama karena ia menawarkan pembacaan baru terhadap hubungan Islam dan feminisme. Melalui penceritaan pengalaman pribadi, Neng Dara Affiah membuktikan bahwa menjadi seorang feminis tulen tidak harus menanggalkan identitas primordial. Feminisme, di sini, tidak lagi sesuatu yang asing dan datang semata-mata dari Barat, melainkan lahir dari kesadaran kultural Islam itu sendiri.

Buku ini juga penting, karena ia adalah pelopor penulisan kehidupan keagamaan tradisional yang ternyata tidak tunggal. Di dalamnya, aneka warna kehidupan keberagamaan saling berkelindan membentuk nuansa kehidupan anak manusia. Neng Dara, seorang mantan murid sekolah agama yang juga menjadi sekolah teroris Imam Samudra, membeberkan dengan sangat baik bagaimana dia mencoba mengambil ketegasan sikap di antara banyak pilihan hidup yang kadang menjebak.

Dan yang terpenting lagi buku ini ditulis oleh Neng Dara Affiah, kakakku tercinta :) selamat ya teh neng atas bukunya..

Friday, April 17, 2009

Demi Masa Depan Anak


“Aku percaya tujuan mereka mulia, tapi mungkin caranya yang kurang tepat.”

Menjadi aktivis dan gemar berdiskusi adalah kesenangan bagi Nong. Namun itu semua bukan tanpa tujuan. Tak lain, apa yang dilakukannya untuk buah hatinya. Ingin terbuka dengan puterinya, ke mana-mana dia rajin menggandeng tangan kecil bocah perempuan itu.

Dua jam sebelum Nong Darol Mahmada pulang kampung ke desa kelahirannya di Labuan, Banten, kami berbincang-bincang hangat dengannya. Blouse merah yang dikenakannya kontras dengan kulitnya yang putih. Kacamata dengan bingkai merah gradasi hitam tampak sesuai dengan busananya saat itu, celana hitamnya dan sandal bertali dengan tumit tak terlalu tinggi.

Tak terlalu ramai. Hanya beberapa meja dengan bangku-bangku yang diduduki sekumpulan orang. Kami duduk di meja bulat. Udara dingin. Sejak pagi cuaca memang tak cerah, meski tak hujan. Lampu-lampu di teras depan Salihara tak terlalu terang.

Kendati tak ada pertunjukan seni, masih ada orang yang bercengkerama di dalamnya. Sekadar bertemu sahabat, mengobrol, bahkan diskusi yang biasanya ditemani makanan ringan. Juga Nong, panggilan akrabnya, kerap mengunjungi tempat itu. Dia mengaku hobi berdiskusi dengan orang-orang yang dikenalnya. “Di sini tempatnya asyik yah buat ngobrol,” kata Nong yang sering meluangkan waktunya untuk ngobrol di luar kesibukannya di kantor.

Tak mau hanya obrolan yang omong kosong. Baginya, dengan banyak berinteraksi banyak hal yang didapatkan, mulai dari hal ringan hingga berat; mulai dari seni, sastra, film, bahkan hingga soal politik. Soal ekonomi? Dia mengaku tak terlalu mengetahui. “Aku dibesarkan di forum diskusi sejak mahasiswa,” ini alasan Nong menceritakan awal mula kebiasaan yang kini tak bisa lagi dihentikan.

Sejak menimba ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah, yang sekarang dikenal sebagai Universitas Islam Negeri Jakarta, mantan penggiat Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) itu memang kerap menyambangi forum-forum diskusi dan seminar. Sering bertemu orang dan berbagi pemikiran membuat Nong tak segan-segan mengungkapkan aspirasinya.

Salah satunya soal peristiwa 1 Juni 2008, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diserang FPI. Nong tak takut dan justru mengumpulkan saksi-saksi dan korban kekerasan untuk menuntut FPI. “Aku percaya tujuan mereka mulia, tapi mungkin caranya yang kurang tepat dan sebaiknya jangan mengutamakan kekerasan,” ungkap Nong yang menyebut FPI hanya melaksanakan perintah nahi munkar—mencegah kemunkaran—saja.

Dea kecil, puteri semata wayang Nong, saat itu mondar-mandir dengan jaket pink yang lalu dilepasnya. “Kalau di sini dia sering disebut anak sejuta umat. Dia suka menyapa semua orang,” kata Nong tertawa. Dea memang sering ikut mamanya ke mana-mana. “Pengennya selama mungkin, sehabis pulang sekolah dia kadang ikut saya,” ungkap Nong saat ditanya berapa lama waktunya dihabiskan dengan Dea

Main Film

Lalu Nong menguraikan alasannya keukeuh memprotes UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, juga perda yang mengatur soal perempuan. Dea anaknya adalah sebab penting di balik kegiatannya. “Karena anak saya perempuan, dan bukan ingin berlagak heroik,” ucapnya.

Sekarang para perempuan masih bisa bernapas lega karena di negara ini masih punya akses bekerja yang sama dengan pria, misalnya. Tatkala ada upaya mengembalikan perempuan ke ranah domestik, Nong beramsal, maka bisa jadi masa mendatang tak lagi ada kebebasan itu. “Gimana nih masa depan anak dan cucuku yang perempuan,” ujarnya.

Tiba-tiba kini Nong ikut main film. Ceritanya, Nong tak berpikir akan mendapat peran sentral dalam film dokumenter menngenai perempuan bikinan Nia Dinata, Pertaruhan, Desember tahun lalu. Saat itu sutradara Iwan Setiawan memintanya menjadi salah satu narasumber, sebab Nong cukup dipercaya mendedahkan perihal sunat perempuan yang kala itu diangkat sang sutradara.

Saat proses editing, Iwan memberitahukan bahwa di bagian ceritanya, perempuan berambut cokelat itu akan dijadikan pemeran yang dominan. “Aku awalnya seperti ngobrol biasa saja kan, karena berpikir cuma diambil secuplik,” kata Nong lalu tertawa.

Dea kembali. Merasa sedikit bosan menunggui ibunya yang masih berbincang, beberapa menit kemudian Nong meminta seorang temannya mengajak Dea bermain trik sulap.

Usia gadis kecil itu akan memasuki tahun kelima. Semakin lincah, juga semakin penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak tertebak. “Dia pernah nanya, aku keluar dari mana sih dulu (maksudnya ketika lahir?,” kata Nong yang membuatnya harus belajar menjelaskan dengan gaya berpikir anak-anak.

Dea juga pernah bertanya siapa Tuhan itu. “Aku menjawab, Tuhan itu yang menciptakan mama, Dea, dunia ini dan memeliharanya,” kata Nong yang pergelangan tangan kirinya dihiasai arloji.

Bersama Dea, Nong menghabiskan waktunya di rumah, bareng-bareng memeluk bantal. Nong juga rutin membacakan puterinya sebuha cerita sebelum tidur. Terkadang menonton film ke bioskop bersama. Mengenai perawatan tubuh, Nong mengaku melakukannya saat ada kemauan saja. Biasanya, ia hanya ingin creambath dan facial treatment. “Kalau seperti lulur yang memakan waktu lama, kayaknya labih bagus buat diskusi,” lagi dia tertawa.

Melewati hari-hari, Nong sering melakukan kegiatan berdua dengan anaknya. Sejak 2008, Nong memilih menjadi orang tua tunggal setelah berpisah dengan suaminya. “Tapi hubungan kita tetap baik, nggak sampai bermasalah seperti artis-artis di teve,” katanya sambil tertawa.

Ini terkiat soal feminis yang kerap dikabarkan kandas membina rumah tangga? “Yah mungkin tapi sebenarnya sejak awal aku berusaha memilih pasangan bukan dari dunia aktivis, biar seimbang,” katanya.

Membela Perempuan

Gemar berdiskusi, itu mengharuskan Nong sering membaca sebagai kenikmatan dan hobi. Baik karya fiksi dan nonfiksi dikonsumsinya. Utamanya terkait dengan teori-teori sosial dan isu-isu perempuan. Beberapa novel karya perempuan yang difavoritkannya antara lain Saman dan Perempuan Berkalung Sorban.

Nong juga menyukai tokoh perempuan di dunia muslim, seperti Rifaat Hasan dari Pakistan, Fetima Mernissi dari Maroko, Nawal El Saadawi dari Mesir. “Aku juga mengidolakan seorang muslimah lesbian, Irshad Manji,” tambahnya yang juga menyukai pemikir muslim seperti Hasan Hanafi dan Fazlur Rahman.

Mengenai Kartini, menurut Nong, tokoh perempuan itu memunyai keistimewaan masing-masing pada zamannya. Kartini, kata dia, sekalipun isteri utama tapi dia mau dipoligami, mungkin karena rasa cintanya terhadap ayahnya. Itu kenapa pemikiran-pemikiran Kartini lebih mengena dalam diri Nong ketimbang kesetujuannya tunduk pada feodalisme keluarga.

Tak hanya menyukai buku, Nong juga menyempatkan waktu menonton film. Terakhir ia menikmati The Reader dan The Courious Case of Benjamin Button, dua film nominasi Oscar tahun ini.

Meskipun sering bertemu dan mengobrol dengan teman-teman aktivis, kalau untuk sahabat, Nong menyebut kurang dari sepuluh. Bagi dia, sahabat adalah orang yang paling rahasia dirinya. Hingga sekitar pukul 9 malam, Nong difoto dan lalu segera berangkat ke Labuan bersama Dea. (N jacques umam/ezra sihite)

** Koran Jakarta, Minggu 12 April 2009

Monday, April 6, 2009

Dingin

masa yang panjang
menjauh
lelah, resah

berkali-kali mencari pelabuhan
bersama perahu
untuk menetap dan berlabuh

tetap tak ada arah
rasa aman menjauh
gelisah

biduk hilang
kelelahan
ada banyak kesan
yang terlihat, tersamar
tak tergeser

terus melaju
dengan ombak bergolak
pasrah oleh desiran angin
meski sudah dingin
hilang, tak tersisa


menteng, januari 2009