Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Wednesday, August 29, 2018

Poligami Tak Semudah Memuntahkan Sperma ke Lubang Baru


Setiap memasuki dunia pernikahan maka selalu ucapannya adalah semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah dan rahmah. Tujuan pernikahan memang untuk meraih hidup yang sakinah (tenang) dalam balutan mawaddah (Cinta) dan rahmah (kasih sayang), bukan hanya sekedar menyalurkan kebutuhan biologis saja.

Namun baru baru ini di media sosial ramai curhat kekecewaan Dian Rose, istri penyanyi Opick. Ia kecewa suaminya menikah lagi secara diam-diam dengan perempuan yang cukup dekat dengan keluarganya. Dian dan Opick telah menikah selama 17 tahun dan telah dikaruniai 6 putra/i.

Tentu saja saya sangat memahami dan memaklumi kekecewaan dan kemarahan Dian sebagai seorang istri yang telah dikhianati suaminya ini. Meski sang suami berargumen bahwa poligami dibolehkan oleh agama tapi saya sepenuhnya setuju dengan pernyataan Dian bahwa "Poligami ngga semudah memuntahkan spermamu pada lubang yang baru". Saya mengamini sepenuhnya pernyataan ini.


Syaratnya berat

Dalam doktrin Islam baik itu Alquran maupun Hadis, poligami memang disebutkan secara terang benderang. Tapi saya malah memahaminya perilaku ini dilarang karena syaratnya sangat berat yaitu harus bisa bersikap adil. Bahkan karena sulitnya berlaku adil maka Alquran menyarankan agar beristri satu saja.

Juga dalam kenyataannya, kebanyakan suami yang melakukan poligami dimulainya dengan melakukan kebohongan sehingga mengakibatkan kekerasan kepada anggota keluarga baik istri maupun anak-anaknya. Ini juga yang terjadi pada poligami yang dilakukan oleh Opick bila kita baca curahan hatinya yang viral itu.

KH. Husein Muhamad dalam bukunya berjudul "Ijtihad Kyai Husein" menyebut ada tiga pandangan terhadap poligami. Pertama, poligami adalah Sunnah alias mengikuti perilaku nabi Muhamad. Keadilan yang eksplisit disebut dalam Alquran cenderung diabaikannya atau hanya sebatas argumen verbal belaka.

Kedua, pandangan yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang ketat. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak. Perbedaan pandangan ini berkaitan dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 3: "Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat, jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Pak Quraish Syihab adalah seorang ulama yang bisa dianggap mewakili pandangan kedua. Menurutnya, ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan poligami. Ayat tersebut hanya bicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.

Merujuk pada pernikahan Nabi Muhamad secara utuh
 
Kata Pak Quraish, bila kita belajar dan merujuk pada pernikahan Nabi Muhamad secara utuh, beliau menikah monogami (satu istri) dengan Khadijah selama 25 tahun. Kehidupan poligami Nabi hanya 8 tahun. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak yang diteladani?
Bahkan dengan terang-terangan Nabi tidak mengizinkan puterinya, Fatimah, dimadu oleh suaminya, Ali bin Thalib. Ali pun taat dan hidup monogami sampai Fatimah wafat. Alasan Nabi melarang Ali mempoligami puterinya karena itu menyakiti hati puterinya, bila hati puterinya sakit maka beliau juga sakit.

Argumen di atas merupakan salah satu argumen dari pandangan ketiga yang menolak perilaku poligami. Dengan memberikan dalil-dalil yang berasal dari penafsiran atas ayat-ayatnya Alquran dan Hadis menyatakan bahwa Islam memilih sistem monogami. Tidak ada ayat Alquran yang mengapresiasi perilaku poligami, apalagi mengaitkan poligami dengan ukuran ketakwaan seseorang. Dalam ayat di atas jelas dan tegas menolak poligami "Yang demikian itu (monogami) lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Jadi pernyataan Dian Rose yang mengatakan bahwa poligami ngga semudah memuntahkan sperma pada lubang yang baru itu adalah benar adanya. Dan semestinya keluarga harus dirawat dan dibangun agar terwujud suasana mawaddah, penuh cinta dan kasih sayang tanpa ada kekerasan karena godaan lubang baru.


Tulisan ini dimuat di https://www.dw.com/id/poligami-tak-semudah-memuntahkan-sperma-ke-lubang-baru/a-40249889

Thursday, August 18, 2016

JILBAB, KEWAJIBAN ATAU BUKAN?

Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.

Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak,charshaf di Turki, hijâbdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.

Jilbab Pra-Islam

Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb sepertitif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran,konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02)
Tradisi penggunaan kerudung pun sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria. Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda bila bepergian ke tempat umum harus menggunakan kerudung. Dan kalau merunut lebih jauh mengenai konsep ini, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, maka persoalan pertama yang mereka alami adalah begaimana menutup kemaluan mereka (aurat) (QS. Thaha/20: 121).

Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.

Jilbab dalam Tradisi Islam

Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perem-puan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaanhijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur’an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.

Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur meru-pakan bentuk pulral dari khimar yang artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari dari kata jaib yang artinya adalah ash-shadru (dada). Jadikalimat hendakl-ah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-nya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah.

Seperti yang digambarkan oleh Al-Allamah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”.

Sementara itu Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan perempuan pada masa jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas selu-ruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan keru-dungnya mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulur-kan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka”.

Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim pada perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya berperang untuk memberikan semangat juang.

Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, kedua ayat ini juga turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis. Surat Al-Ahzab yang didalamnya terdapat ayat hijab turun setelah perang Khandaq (5 Hijriyah). Sedangkan surat An-Nur turun setelah al-Ahzab dan kondisinya saat itu sedang rawan. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk menjawab serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin Ubay dan konco-konconya, terhadap umat Islam. 

Memakai Perempuan untuk Memfitnah?

Serangan kaum munafik ini “memakai” perempuan Islam dengan cara memfitnah isteri-isteri Nabi, khususnya Siti Aisyah. Peristiwa terha-dap Siti Aisyah ini disebut peristiwa peristiwaal-ifk. Pada saat itu, peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga untuk mengakhiri-nya harus ditegaskan dengan diturun-kannya lima ayat yaitu QS. An-Nur/23: 11-16.

Ayat-ayat ini juga turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman seperti yang diceritakan di atas. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu.

Menurut Abu Syuqqah, perintah untuk mengulurkan jilbab pada ayat di atas, mengandung kesempurnaan pembedaan dan kesempurnaan keadaan ketika keluar. Dan Allah Swt telah menyebutkan alasan perintah berjilbab dan pengulurannya. Firman-Nya, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dalam hal ini, untuk membedakan perempuan merdeka dan
perempuan budak.


Ambiguitas Islam?

Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat am-biguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.

Namun menurut saya, untuk menghindari penafsiran ambigu tersebut, maka titik tekan penafsiran itu adalah etika moral ayat itu. Yaitu tidak hanya sebagai aturan dalam berpakaian saja. Sehingga tidak ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan budak, tetapi lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja (modesty) yang bisa dilakukan siapa saja.

Dalam dunia Islam, banyak buku tentang tentang hijâb ditulis, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan isu ini tidak memberikan perintah yang tersurat bagi perempuan Islam. Ini hanya membicarakan kesopanan perempuan pada umumnya dan menetapkan peraturan bagi isteri-isteri Nabi.

Seperti pernah dikemukakan Fatima Mernissi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS. Al-Ahzab/33:53 menegaskan akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak ada dikotomi publik dan privat.

Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupa-kan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pem-bakuan standar penulisan (rasm) dan bacaan (qira’at) Alqur’an. Disadari atau tidak, unsur Hellinisme-Persia ikut berpengaruh di dalam kodifikasi dan standardisasi tersebut. Sebagai contoh, riwayat Israiliyat ikut mempertebal jilid kitab Tafsir al-Thabary yang kemudian menjadi rujukan ulama pada kitab-kitab tafsir sesudahnya.

Menurut Ruth Rodded dalam bukunya Kembang Peradaban, sampai sekarang masih terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat hijâb. Perbedaan pendapat ini juga berkisar pada definisi-definisi yang tepat mengenai kata-kata tertentu (termasuk istilah hijâb), konteksnya dan apakah peraturan yang ditetapkan untuk isteri-isteri Nabi harus menjadi norma bagi semua perempuan Islam. Namun seperti yang dikatakan Harun Nasution, “Pendapat yang mengatakan hijâb itu wajib, bisa dikatakan ya. Dan yang mengatakan tidak wajib pun bisa dijawab ya. Tapi batasan-batasan aturan yang jelas mengenai hijâb ini tidak ada dalam Alqur’an dan hadits-hadits mutawatir.” (Islam Rasional, h.332)

Jilbab adalah Budaya

Nah, pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib salah satunya bisa kita temukan dalam pada karya Muhammad Sa’id  Al-Asymawi yang berjudul Haqiqatul Hijab wa Hujjiyyatul Hadits. Dalam buku tersebut, Al-Asymawi berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.”  Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.

Selama ini, kita terbiasa membaca buku atau pernyataan tentang kewajiban jilbab disertai ayat Alqur’an dan Hadis serta ancaman bila perempuan Islam tak memakainya. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.

Saya menulis artikel ini  bukan berarti saya fobia atau over estimate terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, saya sangat menghormati dan menghargainya.




JILBAB WARNA WARNI

Salah satu isu sentral dalam tema perempuan Islam selain soal khitan perempuan, poligami dan lainnya adalah tentang jilbab. Beberapa waktu lalu Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau biasa disapa Ahok, di depan  ribuan kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan pejabat struktural eselon III serta IV di lingkungan Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan soal larangan aturan pemakaian jilbab di sekolah.  Menurut Ahok, soal penggunaan jilbab merupakan hak pribadi seseorang. Sekolah tidak boleh mewajibkan siswinya untuk menggunakan jilbab. Dengan tegas Ahok mengatakan, "Anda mengimani kalau kerudung itu sebagai sesuatu yang bisa menyelamatkan Anda, ya silakan, tetapi Anda tidak bisa memaksa semua anak pakai kerudung."

Di tengah kecenderungan  semua pihak dalam hal ini pemimpin daerah yang berlomba-lomba membuat aturan pemakaian busana muslimah dengan alasan untuk melindungi perempuan, Ahok malah bersikap sebaliknya. Ahok memang bukan tokoh Islam dan mungkin sebagian orang beranggapan atau bahkan geram karena dianggap tak layak dijadikan rujukan untuk mendasarkan pemahaman kita tentang jilbab. Namun pemikiran Ahok tentang jilbab ini mengingatkan saya pada pembaharu Islam seperti  Muhamad Abduh , Gus Dur, Nurcholish Madjid,  Quraish  Shihab, Harun Nasution, dan pemikir Islam lainnya dalam melihat jilbab yang memang secara doktrin multitafsir.

Jilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak bisa kita melihatnya secara hitam putih. Di Indonesia pun jilbab mengalami evolusi dalam pemakaiannya. Dulu hanya sehelai kain yang menutup kepala atau dikenal sebagai kerudung, karena itu untuk solat perempuan di Indonesia memakai mukena. 

Tren Komunitas Hijabers

Namun terjadinya Revolusi Iran di akhir 1970-an berpengaruh dalam mengubah model pemakaian jilbab menjadi lebih tertutup. Sekarang bahkan dengan aneka warna dan gaya yang dipopulerkan oleh komunitas hijabers yang membuat berjilbab sangat modis dan fashionable.

Dalam konteks itu, saya teringat dengan tulisan Mohamad Guntur Romli tentang  Pelangi Tipologi  Jilbab (2007) untuk menjelaskan secara keseluruhan trend jilbab di masyarakat kita. Menurutnya, ada empat tipologi yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab ini. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.

Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Ini yang sekarang dikenal sebagai jilbab syar’i, jilbab yang lebar, yang menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.

Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan pun berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas.

Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama. Jilbab warna warni dan sangat menarik bisa bersanding bahkan bersaing dengan jenis busana lainnya

Jilbab model ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu. Jenis jilbab inilah yang fenomenal, digandrungi kawula muda dan kalangan kelas menengah. Apalagi dengan banyaknya selebritas yang memakai jilbab dan tampil di media massa khususnya televisi. Dan bulan Ramadan merupakan moment yang sangat sempurna untuk menampilkan jilbab modis ini dengan pelbagai model & gaya disertai panduan cara memakainya. Jilbab dan busana model ketiga ini tak bisa lagi dilihat dengan perspektif  teologis, karena dalam aturan syariat yang jumud, pakaian perempuan tidak boleh yang memancing perhatian publik.

Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Contoh di Indonesia, bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab menjadi agenda utama. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun dipaksakan pemakaiannya ketika perempuan di ruang publik. Inilah yang terjadi di Aceh, Padang, dan beberapa daerah di Indonesia yang ingin menerapkan syariat Islam. Bahkan di sekolah-sekolah negeri di Jakarta pun, ada hari tertentu yang mewajibkan siswi memakai jilbab. Inilah yang dikritik Ahok.

Keyakinan Tak Perlu Aturan

Ada juga jilbab dipakai sebagai bentuk perlawanan misalnya yang terjadi pada Revolusi Iran dimana perempuan memakai jilbab sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa yang tiran saat itu.  Juga terjadi di era Orde Baru dalam rangka melawan pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri. Saya tidak setuju dengan dua cara ekstrim ini: mewajibkan atau melarang pemakaian jilbab.  Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan, baik yang mewajibkan maupun yang melarang. Dengan pemahaman seperti ini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana, apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau sekedar budaya belaka.

Saya pribadi sangat menghargai dan menghormati apabila ada perempuan Islam yang ingin mengenakan jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakai standar pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya pandangan bahwa yang memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi model keempat untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.

Namun, buat saya, jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik dan ukuran kesolehan seseorang. Saya sendiri biasa memakainya dalam situasi dan kondisi tertentu. Jilbab sebagai produk budaya seperti halnya pakaian lainnya akan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.








Wednesday, August 10, 2016

Sunat Perempuan, Untuk Apa?


“Saat  itu usiaku mungkin sekitar 6 tahun.  Umi, panggilanku untuk  ibuku, memanggil masuk ke kamar. Hari itu bukanlah hari istimewa, biasa aja, tidak ada keramaian apa-apa di rumah. Aku masuk ke kamar Umi, dan di sana udah ada Ibu Emping, dukun paraji  (perempuan senior yang suka membantu melahirkan atau biasa dikenal sebagai dukun beranak) di kampung kami.  Aku tidak curiga dan takut ketika diminta untuk mencopot rokku dan membuka celana, karena yang meminta  itu adalah Umiku. Setelah itu, Umi mengangkat badanku dan memangkuku dan membuka kedua pahaku. Di situ aku mulai merasa ketakutan, sempat protes tidak mau dan sempat meronta mau kabur dari pangkuan Umi. Dengan sabar, Umiku menjelaskan sambil mengusap-usap rambutku, kalau aku mau disunat sebagai petanda aku bukan anak kecil lagi. Ketakutanku bertambah, aku sempat meronta tapi kedua pahaku udah telanjur dipegang kuat oleh Ibu Emping dan badanku dipeluk erat oleh Umi. Kemudian  ibu Emping mengeluarkan benda berwarna kuning yang ternyata kunyit dan mengoleskannya di ujung klitorisku. Sempat kegelian, dan eh ternyata prosesi sunatnya sudah selesai.  Umi memberiku  uang sebagai hadiah, aku girang dan langsung berlari ke warung untuk jajan dan bermain kembali bersama teman-temanku.

Begitulah proses sunat yang terjadi kepadaku. Peristiwa itu masih kuat dalam ingatanku. . Ya, saya adalah termasuk salah satu perempuan yang disunat.  Saya juga tidak mengerti untuk apa saya di sunat?  Sunat perempuan secara doktrin dalam Alquran tidak ada sama sekali, bahkan secara medis pun sangat membahayakan. Untungnya, sunat yang terjadi pada saya hanyalah simbolis, tidak ada pemotongan atau mutilasi. Tapi praktek seperti  yang terakhir ini, di beberapa daerah di Indonesia itu terjadi dan semakin meningkat.

Hal ini terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan UNICEF, Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)  yang khusus menangani anak, tentang sunat perempuan (female genital mutilation)  yang dirilis bulan Februari lalu.  Ada temuan data yang menarik dari penelitian tentang sunat perempuan yang mengatakan bahwa  Indonesia menjadi  penyumbang ketiga tertinggi  angka praktik sunat perempuan dunia setelah  Gambia, Mauritania. Tahun 2016 mencatat 200 juta perempuan dan anak perempuan mengalaminya, naik 60 juta dari data tahun 2014 yang mencatat hanya 140 juta praktik sunat di dunia. Di Indonesia, menurut penelitian itu, separuh anak perempuan usia 11 tahun ke bawah mengalami sunat. Keluarnya data ini sebetulnya ada kaitan dengan perspektif  PBB, yang menggunakan sunat perempuan  sebagai indikator apakah suatu negara memberi perlindungan terhadap anak atau tidak, bukan sekadar angka belaka. Dalam temuan ini jelas memperlihatkan bahwa sunat perempuan merupakan tindakan kekerasan (atas nama agama atau budaya) terhadap anak.

Sebagai mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentu saja hal yang biasa praktek sunat untuk anak perempuan ditemukan di daerah-daerah di Indonesia.  Andree Feillard, peneliti dari Prancis, tahun 1998 bersama Lies Marcoes, salah satu feminis Muslim senior  Indonesia pernah menulis artikel soal sunat perempuan di Indonesia untuk Jurnal Archipel (vol  56/1998). Tulisan berdasar penelitian lapangan. Dalam tulisan tersebut memperlihatkan bahwa praktik sunat perempuan di Indonesia merupakan  gabungan adat (tradisi) dan proses inisiasi atau penanda keislaman di sejumlah Nusantara. Saat penelitian dilakukan, sunat perempuan hanyalah sebagai tradisi komunal. Sunat dilakukan oleh dukun sunat dalam bentuk simbolik: ujung klitoris bayi disentuh oleh kunyit atau menggunakan alat (pisau kecil, gunting, atau jarum). Ini seperti pengalaman sunat perempuan yang saya alami, tak banyak orang yang tahu. Feillard menyebut ritual itu bersifat “rahasia kecil” antarperempuan. Namun di sejumlah daerah seperti Sulawesi Selatan, Madura, Cirebon, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat, seperti tradisi keluargaku ketika melakukan sunat untuk anak laki-laki. 

Menurut Feillard, praktik sunat perempuan di Indonesia  tidak seburuk  seperti proses sunat perempuan yang dilakukan di negara Afrika Utara utamanya Mesir, Sudan, Somalia, dan Etiopia yang yang memotong atau memutilasi seluruh vagina perempuan. Hal ini memang sangat membahayakan karena bisa mengakibatkan pendarahan, infeksi, cacat seumur hidup dan perempuan tidak akan pernah mengalami kenikmatan seksual karena dihilangkannya klitoris yang merupakan sumber kenikmatan seksual perempuan. Namun di Indonesia pun tidak semua praktik sunat perempuan dilakukan secara simbolis seperti pengalamanku atau hasil riset Andree Feillard yang saya kemukakan tadi. Di beberapa daerah misalnya di Madura, Lombok, Padang, praktik sunat perempuan dilakukan dengan cara pemotongan klitoris atau sebagian daging di vagina. Ini pernah saya temui pada teman saya yang sampai sekarang mengalami trauma berkepanjangan. 

Bagaimana sikap Pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan meresponi  tradisi  sunat perempuan yang berkembang di masyarakat? Jawabannya, respon pemerintah seperti ombak saja, mengalami  pasang surut. Di tahun 2006, Menteri Kesehatan melarang praktik sunat terhadap perempuan, alasannya secara medis  sangat membahayakan. Tapi karena adanya protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa Pemerintah tidak boleh melarang  sunat perempuan karena dalam Islam dianjurkan,  maka di bulan November 2010 dikeluarkan peraturan  tentang Sunat Perempuan yang memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat pada pasien perempuan.
Bahkan detail teknis menyunat pun disebut dalam peraturan tersebut, “Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris” bunyi pasal 4 ayat 2 huruf g. Duh, ngeri banget kang?
Peraturan ini sangat mengecewakan, karena itu banyak pihak yang menentangnya terutama kalangan aktifis perempuan. Alih-alih kementerian kesehatan menyosialisasikan bahaya sunat perempuan malah memberikan guidance cara melakukannya. Karena aturan inilah, di sejumlah rumah sakit, klinik Ibu & Anak, puskesmas ada paket sunat dan tindik untuk bayi perempuan. Namun di tahun 2013, Kementerian Kesehatan  telah mencabut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 yang mengatur tentang praktik sunat perempuan, meski sudah dilarang tapi pada kenyataannya praktik sunat perempuan masih tetap berlangsung di masyarakat.  
Bagi saya, apapun caranya praktik sunat perempuan, mau simbolis apalagi pemotongan dan mutilasi, saya sangat tidak setuju dan menentangnya. Ada banyak alasan saya menolaknya: soal kekerasan pada anak dan penghinaan pada tubuh perempuan. Selain itu juga tidak ada pendasarannya di  dalam Alquran. Memang ada anjurannya di Hadist yang isinya menganjurkan  melakukan sunat perempuan. Tapi kalau kita baca Hadis tersebut  maksud  dan tujuan sunat perempuan  bukan untuk diri perempuan tapi  untuk memberikan kemuliaan dan kenikmatan seksual  kepada sang suami dan tujuan sunat perempuan supaya perempuan  tidak liar.  Ini sungguh-sungguh keterlaluan, sangat patriarkhis dan male-egoist.  Perempuan dihilangkan haknya untuk menikmati kepuasan seksual, diatur dan dikontrol tubuhnya hanya untuk laki-laki (suami) dan ada stereotype kalau tidak disunat akan liar. Jadi, saya setuju dengan aturan pemerintah sekarang yang melarang praktik jahiliyah  itu diteruskan. Karena itu, sunat perempuan, untuk apa?  






                                                       

Keadilan untuk Korban Kekerasan Seksual



Ketika saya pertama kali membaca kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi pada YY beberapa waktu lalu, saya tak bisa tidur, saya menangis dan terus berdoa untuk YY dan para korban sepertinya. Saya akui, saya memang terlalu emosional, mungkin karena saya seorang ibu dan punya anak yang dua-duanya perempuan. Terus terang, kasus ini menjadi teror buat saya. Terbayang terus menerus wajah YY yang masih belia tak berdaya dan kesakitan karena diserang dan diperkosa 14 laki-laki, 7 di antaranya masih di bawah usia dewasa, tapi kelakuannya sadis dan tak punya nurani. Tak hanya diperkosa keroyokan, YY pun disiksa sampai meninggal dan tubuhnya yang sudah tak bernyawa itu dibuang ke jurang. 

Sedihnya lagi, peristiwa ini baru diketahui publik setelah sebulan kejadiannya. Setelah peristiwa ini ramai muncul pelbagai tulisan yang menjelaskan situasi sosial tempat kejadian perkara. Salah satunya ada yang mengatakan, di tempat peristiwanya di Rejang Lebong Bengkulu, peristiwa pemerkosaan merupakan hal yang biasa terjadi. Penyebabnya karena kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran, minuman keras dan lainnya. Bisa dibilang daerah YY adalah daerah “merah”. Minuman keras kemudian dijadikan kambing hitam karena pelaku pemerkosaan terhadap YY terjadi  setelah para pelaku melakukan pesta miras. Buat saya kondisi seperti itu tak bisa dijadikan causa prima kasus pemerkosaan itu terjadi.

Bahkan ketua komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrori Niam, berkata nyaring menyalahkan minuman keras sebagai  penyebab pemerkosaan. Tak hanya Niam, berbondong-bondong para aktifis legalisasi anti minuman keras menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk mendorong disyahkannya UU pelarangan minuman keras. Ini jelas-jelas ngawur, mengaburkan persoalan dan tidak adil untuk korban. Ada juga pernyataan dari salah satu wakil rakyat kita yang menyalahkan korban karena berjalan sendirian, ini lebih ngawur lagi. Sudah menjadi korban disalahkan lagi.

Menurut saya, persoalan miras bukanlah penyebab utama terjadinya pemerkosaan. Banyak bukti menunjukkan hal tersebut, salah satu contoh misalnya di Aceh. Daerah yang menerapkan Syariat Islam ini pastinya melarang minuman keras dan kewajiban pakaian tertutup untuk perempuan. Namun apa yang terjadi? Justeru kejadian kekerasan seksual paling tinggi kejadiannya di Aceh dibanding di daerah lainnya.

Secara keseluruhan, data yang dikumpulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sepanjang tahun 2015, tercatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya pemerkosaan. Dari tahun 2001-2012, data Komnas Perempuan menunjukkan, setiap dua jam, tiga perempuan termasuk anak perempuan di bawah umur menjadi korban kekerasan seksual. Ini benar-benar mengerikan!
Data di atas memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari keseharian banyak perempuan dalam masyarakat kita. Kenapa begitu? Karena budaya kita masih kuat dengan cara pandang maskulin yang menganggap perempuan adalah objek seks. Ini yang disebut budaya patriarkhi. Budaya patriarki ini telah menguasai dan mengungkungi cara berpikir dan bertindak, dengan tidak mengakomodasi kesetaraan jenis kelamin. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi hubungan subordinasi, dalam wujud dominasi laki-laki terhadap perempuan di berbagai level.
Pertanyaannya, apakah korban pemerkosaan seperti dalam kasus YY dan jutaan kasus pemerkosaan lainnya akan mendapat keadilan? Tentu jawabannya akan sulit untuk korban mendapat keadilan selama budaya patriarkhi masih kuat dalam masyarakat kita. Alih-alih korban dilindungi malah distigma. Bahkan kita sering mendengar tentang ketidakberpihakan pejabat publik, aparat dan perangkat hukum kepada korban.  
 
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, korban kerap malah yang dipersalahkan. Seperti dalam kasus YY misalnya disalahkan karena berjalan sendirian. Dalam banyak kasus lainnya yang disalahkan adalah cara berpakaian perempuan, yang terbuka dan dianggap menggoda. Bahkan yang paling parah lagi adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh 8 laki-laki di Aceh, alih-alih korbannya dilindungi malah dihukum cambuk. Yang lebih gila lagi, ada pernyataan dari Bupati di Aceh Barat yang mengatakan perempuan yang tidak berpakaian sesuai Syariah Islam layak diperkosa.
Ada banyak hal atau pekerjaan yang mesti diselesaikan bangsa ini terkait keadilan untuk korban. Selain bagaimana mengubah mind set, paradigm, cara pandang yang patriarkis yang sudah berakar kuat di masyarakat menjadi lebih menghargai dan menghormati perempuan, juga dibutuhkan payung hukum yang benar-benar berpihak pada korban.
Di sinilah pentingnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) secepatnya disahkan, bukan RUU pelarangan minuman keras. Dalam UU PKS ini ada upaya, cara, usaha mengubah pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuat kebijakan dan masyarakat umum tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan sekedar masalah susila. Yang paling penting lagi, UU ini mengatur proses penyidikan dan peradilan yang berpihak pada korban. Dalam UU ini dikatakan secara tegas bahwa tindakan pemerkosaan dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Karena itu pelaku kejahatan kekerasan seksual pastinya mendapatkan hukuman yang setimpal akibat perbuatannya itu. Undang-undang ini diharapkan bisa memberikan keadilan untuk korban meski kehidupan yang sudah direnggut oleh si pemerkosa tak mungkin bisa kembali.




LGBT Mulia DI Sisi Allah

Namanya Hartoyo, ia seorang gay. Hari-hari ini ia sibuk diwawancara media baik cetak, online bahkan sering nongol di TV terkait ramainya isu LGBT saat ini. Toyo, begitu kami memanggilnya, latar belakang pendidikannya sebagai sarjana peternakan di sebuah perguruan tinggi di Medan. Ia seorang muslim yang taat. Saya bersaksi, ia rajin solat dan puasa. Bahkan saking solehnya, ia pernah cerita, selepas kuliah ia ditawari kerja di peternakan babi, ia tolak meski gajinya tinggi. Alasannya buat dia babi itu haram. Makanya saya berani mengatakan Toyo ini adalah muslim yang soleh.

Ya, saya sudah bilang, Toyo seorang gay. Ia tidak takut menunjukkan ke publik tentang identitasnya yang sekarang lagi kontroversi itu. Mungkin ia sudah melewati tahap itu. Seperti kebanyakan teman-teman LGBT lainnya, di awal-awal kehidupannya ia juga gelisah dan sering mempertanyakan kondisinya karena “berbeda” dengan yang lain. Dari awal muncul rasa tertarik, ia tidak pernah merasakan desiran istimewa dengan perempuan, sebaliknya ia merasa nyaman dan deg-degan dengan lelaki. Ini membuatnya gundah dan takut. Sebagai seorang muslim, ia hapal cerita tentang Nabi Luth, ia mengerti kalau kaum gay tidak punya tempat dan dianggap “dosa” di agama yang dipeluknya. Ia tidak mau berdosa, ia takut masuk neraka maka ia berusaha mati-matian menjadi lelaki normal dan sejati, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya Toyo menjalani kondisinya sebagai gay dan tetap memilih Islam, agama yang mencap “dosa” pada kediriannya. Saya sering mengoloknya, inilah alasan kuat ia menjalani Islam dengan taat, menutupi rasa berdosanya. Ia hanya tertawa kalau saya berkomentar seperti itu.

Toyo pernah mengalami kekerasan, kekerasan dalam pengertian yang sebenarnya. Pas lagi “berduaan” dengan pacarnya, ia digrebek masyarakat dan diserahkan ke kantor polisi. Mereka dipermalukan dan dihina serendah-rendahnya derajat  sebagai manusia oleh aparat.  Ya, sama  seperti  remaja lainnya, Toyo pun punya pacar. Seperti yang saya tadi sudah bilang, Toyo seorang gay, pacarnya berjenis kelamin laki-laki. Karena kejadian itu, pacarnya trauma dan kemudian “menghilang” sampai sekarang.  Berbeda dengan pacarnya, kejadian yang menyakitkan itu malah  membuat  Toyo seperti  lahir kembali:  Ia menjadi pribadi yang kuat, menuliskan kisah pahitnya menjadi buku dan disebar luas, dan  akhirnya  bersama teman-teman yang satu visi dengannya membuat lembaga yang membantu dan menemani  orang-orang seperti dirinya, berani membuka diri dan mendampingi korban kekerasan karena dianggap tidak jelas identitasnya oleh keluarganya atau masyarakat. Di situlah terbentuk lembaga Suara Kita.

Teman-teman LGBT lainnya yang saya kenal juga punya banyak kisah seperti Toyo. Ada Widodo Budidarma, juga seorang gay pendiri dan aktifis Arus Pelangi, yang ringan tangan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Setiap bulan Ramadan, Ia berkeliling bersama teman-temannya membagikan makanan sahur untuk anak-anak jalanan & miskin di seluruh Jakarta. Saya tahu karena saya sering diajak untuk ikut. Ada beberapa teman saya,  pasangan lesbian yang ber jilbab (juga tak berjilbab) mengadopsi anak dari keluarga miskin untuk dibiayai pendidikannya. Juga ada pesantren waria di Jogja yang diasuh ibu Shinta, seorang waria senior, menjadi pengayom untuk teman-teman waria yang didiskriminasi. Dan masih bertebaran banyak cerita baik lainnya.

Saya sering bertanya, apakah teman-teman saya ini akan diazab karena LGBT sementara mereka ini sangat baik, personal dan sosial,  dan taat dengan agamanya? Saya sebagai muslim yang katanya normal karena saya hetero, merasa tidak sebaik teman-teman ini dalam beragama.  Saya tidak terima  bila teman-teman ini  dicap berdosa, diazab, harus dihancurkan, harus disembuhkan, akan masuk neraka bla bla bla sementara kondisinya itu adalah given. Buat saya, jahat sekali orang-orang selalu lantang berteriak itu atas nama agama.

Karena itu, saya terluka dan marah ketika  Mahfud MD, guru besar FH-UII Yogyakarta yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi di akun twitternya menulis bahwa "LGBT itu menjijikkan dan berbahaya." Tak berhenti di situ, dengan posisinya sekarang sebagai ketua KAHMI, ia bikin pernyataan pers  yang menegaskan sikapnya tersebut.  Saya bergaul akrab dengan teman-teman LGBT dan saya bersaksi bahwa teman-teman ini  justeru sebaliknya dari yang dinyatakan oleh Mahfud MD tersebut. Yang senyata-nyatanya berbahaya itu adalah orang-orang homophobia yang menghasut dan menyebar kebencian tentang teman-teman LGBT kepada publik dengan mengabaikan fakta sosial dan temuan sains.

Bahkan dalam Alquran tegas dikatakan  “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”.  Jelas dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tak ada pembedaan orang-orang yang mulia di sisi Allah, siapapun itu mau perempuan, laki-laki, LGBT, kulit hitam, kulit putih dll. Yang paling penting adalah umatnya itu bertakwa padaNya. Buat saya, Toyo dan teman-teman LGBT lainnya lebih mulia dari pada orang-orang yang selalu menyebar kebencian dan merasa dirinya paling benar.

 


 *tulisan ini dimuat di http://www.dw.com/id/lgbt-mulia-di-sisi-allah/a-19070695

Thursday, March 25, 2010

Mari, Bicara Fatwa Haram

Belum lama ini, Forum Santri Putri Se-Jawa Timur mengumumkan hal yang mengagetkan. Pertemuan yang bertempat di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, dan dihadiri 258 santri dari 46 pondok pesantren besar itu menyimpulkan, ada tiga hal yang perlu diharamkan.

Pertama, bekerja menjadi tukang ojek dan menjadi penumpang ojek tidak diperbolehkan bagi wanita, karena berpotensi fitnah (hal-hal yang diharamkan). Kecuali, bila saat naik ojek, tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) dan kholwah (berduaan melewati tempat sepi, yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan). Selain itu, tidak boleh memperlihatkan aurat selain dalam batas-batas yang diperbolehkan, dan tidak terjadi persentuhan kulit.

Kedua, rebonding diharamkan bagi wanita lajang. Bagi wanita bersuami, rebonding dan mengeriting rambut juga haram, kecuali seizin suami. Ketiga, pemotretan pre-wedding diharamkan bagi calon mempelai (berikut fotografer). Karena, ikhtilath dan kholwah juga bisa terjadi pada pasangan pria dan wanita yang belum bersatu secara sah menurut agama. Tak butuh waktu lama, hal ini menuai reaksi masyarakat.

SUDUTKAN WANITA?

“Pada dasarnya, umat Islam terikat oleh peraturan berdasarkan Alquran, hadis, dan fikih. Jadi, umat Islam sebaiknya taat pada dasar-dasar agama tersebut. Jika tidak sempat membacanya, taatilah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh orang-orang yang memahami hal tersebut,” kata Hasanudin, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiga fatwa tersebut di atas dikeluarkan di pesantren yang memang mempelajari aturan agama. Meski MUI belum meresmikannya, kata Hasanudin, fatwa tersebut boleh ditaati siapa pun.

Namun, Nong Darol Mahmada, Program Manager Freedom Institute dan salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), menolaknya. “Fatwa tersebut tidak jelas maksudnya dan tidak mengatur hal yang mendasar. Tiga fatwa itu tidak menjawab persoalan kemasyarakatan dan keumatan, dan cenderung hanya untuk ‘mengatur’ dan membatasi kebebasan wanita, dalam hal ini santri putri. Buktinya, selain tentang foto pre-wedding, dua fatwa lain secara spesifik hanya mengarah pada wanita,” kata lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, ini.

Nong menggarisbawahi, fatwa di atas merupakan hasil bahtsul masail (rapat) Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3). Jadi, sebenarnya hanya ditujukan untuk para santri putri di pesantren-pesantren yang menjadi anggotanya. ”Keputusan bahtsul masail-nya bukanlah merupakan fatwa yang mengikat, melainkan saran. Tetapi, karena dirilis kepada pers (dan diketahui masyarakat), maka seakan-akan berlaku untuk semua anggota masyarakat,” ucapnya.

Hasanudin menanggapi, ketiga kegiatan itu (rebonding, ojek, foto pre-wedding) dibolehkan, namun bisa mengarah pada hal-hal yang dilarang agama. “Karena itu, diatur pelaksanaannya. Sifat fatwa adalah preventif (pencegahan): mengatur sebelum kejadian yang tak diharapkan terjadi,” jelasnya. Soal anggapan bahwa fatwa hanya menyasar wanita, menurutnya karena fatwa dikeluarkan oleh santri putri. Jadi, jelas saja yang diatur adalah keselamatan para wanita.

Nong melihat ada yang agak ganjil dalam forum yang mengeluarkan fatwa ini. ”Semua pesertanya wanita (santri putri dan ustazah), tetapi narasumber dan juru bicaranya adalah para santri, ustaz, dan kiai (pria). Dalam konferensi pers terlihat, peserta wanita hanya bersikap pasif, seolah membiarkan kehidupan pribadinya diatur melalui keputusan para pria. Padahal, belum tentu pria tahu persis apa yang menjadi persoalan dan keinginan wanita,” kata Nong, menyayangkan. Kalaupun tahu, kata Nong lagi, para pria tersebut melihatnya dari sudut pandang dan keinginan pria saja.

Hasanudin mengungkapkan, rebonding bisa diharamkan karena dianggap perbuatan kebarat-baratan (mengacu pada budaya negara Barat) yang dilakukan oleh wanita tak berjilbab. ”Rebonding bisa disebut perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak baik-baik atau orang fasik, yaitu orang yang sering melakukan pelanggaran agama. Peraturan ini dikeluarkan untuk membentengi diri. Kecuali, bagi para wanita bersuami,” ungkapnya.

Dengan lugas Nong kembali menyampaikan ketidaksetujuan. “Kalau memang harus begitu, sebagai manusia, wanita tidak lagi punya kemandirian, tidak boleh memiliki keinginan dan kesenangan sendiri. Di situlah letak ketidakjelasan fatwa tersebut. Semuanya boleh, asal untuk kesenangan pria. Sifat fatwa tersebut jadi sumir,” tegas Nong.

Nong melihat, dengan keluarnya fatwa ini, berarti wanita memang masih menjadi pihak yang perlu diatur, dianggap sebagai makhluk lemah, dan menjadi nomor dua setelah pria. ”Kita masih hidup dalam sistem patriarkat yang kuat terlegitimasi dalam agama dan budaya. Para ulama yang biasanya mengeluarkan fatwa masih didominasi pemahaman agama yang konservatif dan misoginis (orang yang membenci wanita). Wanita menjadi objek, bukan subjek, yang semua nilai kehidupannya harus diatur oleh agama dan tata krama. Membuat aturan dan hukum untuk wanita seolah sangat gampang, karena tolok ukur keberhasilan aturan itu secara kasatmata gampang terukur. Misalnya, berjilbab, rambut tidak di-rebonding, tidak keluar rumah, dan lain-lain,” lanjutnya.

PERLU & TIDAK PERLU

“Dalam kitab Lisan al-Arab yang ditulis Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa makna. Makna terpentingnya adalah ‘penjelasan atas persoalan yang muskil’ dan ‘jawaban atas pertanyaan yang diajukan’,” tutur Nong. Ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang disarikan dari pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq. ”Disebutkan, fatwa adalah penjelasan dan pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian–tabyîn al-hukm al-syar’i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang tegas antara fatwa dan hukum syariat,” lanjut Nong.

”Fatwa dari seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti. Kesimpulannya, sifat fatwa tidak mengikat karena ia ‘hanyalah’ penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak mutlak, sebagaimana hukum syariat,” ungkap Nong lagi.

Namun, dalam hal ini Hasanudin berpendapat lain. ”Soal mengikat atau tidak mengikat, umat Islam sebaiknya mematuhi hukum Islam. Sesuatu yang dilarang selalu ada tingkatannya, dan hal-hal yang haram memang harus dihindari,” ujarnya.

“Akan tetapi, fatwa tidak bisa menjadi hukum publik. Karena, seperti yang dikisahkan dalam kitab Siyar A’lâm Nubalâ’ (Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi hukum negara, dan menggantungkannya di Ka’bah, dengan tegas Imam Malik menolak,” papar Nong.

Para ulama fikih klasik di zaman dahulu pun, kata Nong, tidak memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’) memiliki posisi yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.

”Hadis yang diriwayatkan Al-Darami, misalnya, menyebutkan, ‘Orang yang paling berani berfatwa berarti paling berani masuk neraka’ (bila bersalah). Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang unggul dalam hal bekal ilmu pengetahuan. Beberapa riwayat hadis menyebutkan, mereka yang mengeluarkan fatwa namun ‘tanpa ilmu’ diancam hukuman berlapis: ‘dilaknat malaikat langit dan bumi’, ‘didudukkan di atas api neraka’, dan ‘menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya’,” tutur Nong.

Nong menyayangkan fatwa saat ini, yang kebanyakan hanya memunculkan doktrin bahwa ulama adalah ahli waris nabi. Sementara, kewajiban dan kriteria sang ahli waris nabi sendiri terbenam dalam-dalam. Para ulama sekarang, katanya lagi, kurang mempertimbangkan akibat dari fatwa yang mereka keluarkan, dan sebaliknya, lebih mempertimbangkan kepentingan ulama itu sendiri.

”Kriteria ulama yang mampu berfatwa ini raib dari percakapan publik. Tak heran bila fatwa malah menimbulkan kekacauan. Maka, sudah saatnya dibenahi. Hal ini harus dimulai oleh pemerintah, karena sepanjang sejarah, majelis fatwa tak terpisah dari pemerintahan,” lanjut Nong.

Pengantar kitab Al-Majmû’ karya Imam Al-Nawawi menegaskan, pemerintah wajib menyeleksi para mufti (ahli agama) lewat ‘uji kelayakan’. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Padahal, semestinya, ungkap Nong, uji kelayakan ini perlu diterapkan pada lembaga fatwa mana pun, termasuk Majelis Ulama Indonesia. De­ngan begitu, martabat dan integritas organisasi itu pun terjaga.

Hasanudin mengatakan, kualitas kelembagaan dan latar belakang pendidikan para anggota lembaga cukup menjadi dasar yang kuat, sehingga sebuah fatwa bisa diikuti umat. Misalnya, lembaga yang mengeluarkan fatwa tersebut terdiri dari orang-orang yang memahami Alquran, hadits, dan fikih secara ilmiah.

Tetapi, Nong mengingatkan, fatwa dikeluarkan bila umat memang membutuhkan jawaban atas persoalan-persoalan tertentu. “Kalau suatu hal dianggap bukan persoalan, maka fatwa tidak bisa dikeluarkan. Lagi pula, tidak semua persoalan harus diatur dengan fatwa. Perlu kehati-hatian dalam mengeluarkannya,” kata Nong.

MENCINTAI KEINDAHAN

Presenter dan model Shahnaz Haque (38) menyetujui perlunya kehati-hatian dalam menyikapi fatwa. ”Setiap fatwa butuh sosialisasi lebih dahulu. Perlu dijelaskan mengapa fatwa perlu dikeluarkan dan bisa diterapkan dalam kondisi seperti apa,” katanya. Dengan begitu, menurut Shahnaz, fatwa tidak menjadi lelucon atau bahan tertawaan, yang akhirnya merugikan agama Islam. Contohnya, belum lama ini beredar pembicaraan, bahwa banyak ustaz sendiri yang belum mengerti arti rebonding.

”Lagi pula, apa salahnya rebonding, kalau ternyata seseorang memang jadi lebih nyaman dengan rambut lurus? Bukankah dengan demikian dia menyenangkan orang di sekitarnya?” ujar Shahnaz.

Hal itu disetujui Arzetti (38), peragawati dan model. Menurutnya, agama Islam mengutamakan hubungan pada Tuhan dan sesama. ”Salah satunya, menghormati orang lain dengan tampil rapi. Kalau seseorang merasa rapi dengan rambut lurus, tidak salah, ‘kan?” kata Arzetti. Menurutnya, fatwa penting untuk mengatur kehidupan umat. ”Tetapi, kalau foto pre-wedding diharamkan, itu berlebihan. Sebab, hal itu bisa dilakukan dengan pakaian sopan dan pose yang baik. Apalagi niatnya untuk mengabadikan kenangan,” lanjutnya.

Nong menambahkan, pengemudi dan penumpang ojek tak perlu diatur. ”Karena, alasan dilakukan hal itu sudah terang benderang, yaitu mencari penghasilan karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain. Dan, naik ojek sekarang ini telah menjadi alternatif terbaik untuk menembus kemacetan lalu lintas secara cepat,” katanya.

Kata Hasanudin, jika kita peduli pada ajaran Islam, setiap fatwa adalah penting, walaupun selalu ada pengecualian. Menjadi pengendara ojek sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian buat keluarga, tentu dibolehkan. ”Tetapi, usahakan mencari penumpang wanita. Jika menjadi penumpang ojek, berusahalah mencari yang pengendaranya wanita. Semua fatwa haram itu ada dasarnya. Jika dibaca secara utuh, kita akan mengerti tujuannya,” sambungnya.

Mengenai fatwa yang menyatakan bahwa ojek itu haram, Shahnaz menganggap kurang relevan, karena sarana transportasi masih jauh dari memadai. Padahal, tak ada agama yang bermaksud menyulitkan umatnya. Arzetti pun berpendapat, jika ojek dilarang untuk wanita, angkutan umum mana pun bisa jadi difatwa-haramkan juga. Karena, di setiap ruang publik, besar kemungkinan orang bersentuhan dengan orang lain yang bukan muhrimnya.

”Islam mencintai keindahan. Islam adalah agama yang ‘mudah’, maka sebaiknya janganlah dibuat sulit,” kata Nong. Hasanudin menanggapi, setiap orang memang berhak untuk menyikapi setiap fatwa haram dengan cara berbeda. Namun, yang perlu diingat, setiap fatwa dikeluarkan untuk menutup pintu-pintu atau sarana yang bisa membuat orang melakukan perbuatan yang dilarang.

** Penulis: Asteria Elanda

[Dari femina 7 / 2010]

Saturday, January 23, 2010

Tubuh Perempuan, Moralitas, dan Hukum di Indonesia

Film Pertaruhan adalah film antologi berisi empat cerita tentang perempuan. Film ini sebuah dokumenter karya bersama hasil workshop 'Project Change! 2008' yang merupakan program kerjasama Kalyana Shira Foundation, Dewan Kesenian Jakarta, dan The Body Shop. Sutradara terpilih dari program ini difasilitasi untuk merealisasikan film mereka lewat bendera Kalyana Shira Films dibawah pimpinan Nia Dinata.

Para sutradara dalam film ini adalah Ucu Agustin yang menggarap film Ragate Anak, Lucky Kuswandi dalam film Nona Nyonya?, Iwan Setyawan dan M Ichsan menggarap film Untuk Apa?, dan Ami Ema Susanti yang menggarap film Mengusahakan Cinta.

Menonton film ini kita bisa melihat bagaimana realitas perempuan di Indonesia dalam pelbagai aspek kehidupan. Dari mulai kalangan bawah seperti dalam film Ragate anak, kalangan agamawan dan budaya dalam film Untuk Apa?, Kalangan buruh migran dan homoseksual dalam film Mengusahakan Cinta, dan kalangan perempuan kelas menangah yang mandiri dalam film Nona Nyonya. Film ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam mengangkat persoalan perempuan. Dalam film sebelumnya kita tahu, Nia Dinata yang menjadi produser dalam film ini, juga telah mendedahkan secara apik persoalan perempuan seperti dalam film ’Berbagi Suami’ dan ’Arisan’.

Namun yang menarik dan kelebihan dari film Pertaruhan ini adalah kejadiannya berdasar pada fakta yang betul-betul riil. Seperti pengalaman saya yang terlibat dalam salah satu film di atas, sutradara tidak menyetir maupun mendramatisir sebuah fakta. Sutradara sekadar merekam kenyataan itu apa adanya. Film ini betul-betul menjadi dokumen dari persoalan-persoalan yang memang terjadi di sekitar kita. Dari film ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa persoalan perempuan selalu dikaitkan dengan persoalan tubuhnya. Tubuh seakan-akan menjadi titik sentral dari segala kewajiban dan aturan yang dikenakan pada perempuan.

Semestinya tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia sebagai ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, tidak dengan tubuh perempuan. Tubuh perempuan tidak pernah dipunyai dirinya sendiri. Perempuan kehilangan raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabel, dinilai, diobjektivikasi, termasuk dikriminalisasi melalui pelbagai aturan, baik yang berdasarkan agama maupun peraturan yang dikontrol negara seperti UU Pornografi dan perda-perda syariah yang marak sekarang ini. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk setara. Oleh karenanya, dengan rasa terancam dan terkungkung, perempuan pasif untuk mengalami kekerasan sebab ia tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikirannya, dan geraknya. Sedari itu, perempuan tidak mampu menciptakan sejarah sebagai manusia sempurna karena nilai selalu melekat pada tubuh perempuan.

Sejak lahir, perempuan dibebankan lebih sebagai penjaga moral, namun di lain sisi, publik tidak pernah mempercayai moralitas perempuan. Akibatnya, tubuh perempuan kerap dipantau oleh siapapun sepanjang hidupnya dan tubuh perempuan dijadikan indikator moralitas di masyarakat.

Seperti kalau kita melihat film Pertaruhan, misalnya dalam bagian film ”Untuk Apa?” tentang kasus khitan perempuan. Sejak awal diyakini dan dipercayai kalau perempuan tidak dikhitan maka perempuan itu akan liar dan nakal (apa hubungannya coba??). Untuk menghindari supaya perempuan tidak liar dan nakal maka harus dikhitan. Karena itu salah satu bagian tubuh perempuan dan itu merupakan sentral dari bagian tubuh perempuan yaitu vagina harus dipotong meski hanya simbolis maupun ”betulan”, bahkan di beberapa negara Islam, vaginanya dihilangkan. Padahal secara rujukan teologinya khitan tersebut hanyalah dianjurkan (sunnah) tapi secara tradisi dan budaya yang sangat patriarki menjadi kewajiban. Bahkan kalau dilihat secara medis khitan untuk perempuan tidak ada gunanya sama sekali malah sangat berbahaya karena bisa infeksi dan perempuan kehilangan dan tidak akan pernah merasakan kenikmatan berhubungan seks. Berbeda dengan khitan untuk laki-laki, secara medis pun itu disarankan dan secara teologis diwajibkan.

Begitu juga dalam bagian film ”Mengusahakan Cinta”, diceritakan bagaimana seorang laki-laki meski laki-laki tersebut sudah pernah beristri dan punya anak, tapi laki-laki itu masih mempersoalkan keperawanan calon istrinya. Padahal calon istrinya kalau pun kehilangan perawannya bukan karena intercoust dengan laki-laki lain tapi karena kesehatannya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. karena soal keperawanan penting maka tak heran bila kita melihat operasi ”keperawanan” menjadi bisnis yang marak. Di sini kita melihat bagaimana sebagian laki-laki masih menganggap keperawanan identik dengan moralitas perempuan meski perempuan itu secara moral dan tindakan sangat baik.

Masalah perawan sebagai indikator perempuan yang baik juga bisa kita lihat dalam film ”Nona Nyonya?”. Pihak rumah sakit dan sebagian besar dokter kandungan yang semestinya netral, di film ini diperlihatkan, masih menganggap "aneh" bila perempuan single mau dipepsmear (pemeriksaan dalam rahim). Pepsmear gunanya untuk mengetahui kondisi kesehatan rahim. Adanya anggapan aneh ini karena pemahaman publik yang dominan menganggap bahwa pemeriksaan pepsmear hanya diperuntukkan buat perempuan yang sudah bersuami. Sementara perempuan yang single, meski ia sudah melakukan hubungan seks atau karena keputihan atau alasan lainnya, dianggap aib, dosa dan aneh dan seakan-akan tidak punya hak untuk memeriksakan rahimnya. Sehingga akhirnya perempuan enggan memeriksakan alat reproduksinya padahal pemeriksaan tersebut sangat vital untuk kesehatan reproduksinya. Makanya tidak heran bila kita lihat dalam film ini, rumah sakit akan menanggapi secara negatif minimal dengan menanyakan hal-hal macam-macam dan bahkan yang lebih ekstrim lagi ”didakwahi” oleh dokternya.

Yang paling tragis dan ironis bila kita melihat kondisi perempuan dalam film ”Ragate Anak”. Dalam film ini kita melihat bagaimana perempuan hanya dihargai sepuluh ribu untuk tubuhnya. Padahal perempuan melakukan pekerjaan tersebut untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup di tengah lapangan kerja yang sangat sulit. Namun kita melihat di lapangan, perempuan tidak hanya sekedar tubuhnya yang tidak dihargai bahkan mereka dieksploitisir dan ”dikerjain”oleh para lelaki yang menjadi kiwir dan calo yang ”mengompas” dan memanfaatkan mereka baik raganya maupun materinya. Para lelaki itu pun berkomplot dengan aparat untuk kelancaran usaha mereka. Semestinya fungsi aparat melindungi warganya tapi kita melihat malah sebaliknya, mengkriminalkan dan tidak memfasilitasi serta melindungi warganya dalam menyediakan lapangan kerja kalau memang pekerjaan PSK dianggap tidak diperbolehkan dan memalukan. Setelah adanya film ini lokasi Bolo ditutup dan ”isinya” dibiarkan terlunta-lunta. Alasannya daerah ini tidak sesuai dengan syariat dan membuat aib warga Temanggung.

Menonton film Pertaruhan, kita seperti melihat ”taman mini” persoalan perempuan di Indonesia. Harus diakui bahwa perempuan masih sangat jauh dari kondisi baik dalam mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari negara lewat hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Perundang-undangan di Indonesia buat saya masih sangat bias laki-laki. Lihat saja perundang-undangan yang ada seperti UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Politik, UU Kesehatan, UU Pornografi dan lainnya. Saya kira, teman- teman PSHK lebih ahli dalam mengeksplorasi persoalan ini. Bahkan yang terbaru ada informasi bahwa akan ada RUU Perkawinan yang isinya melegalkan suami beristri empat (poligami). Belum lagi maraknya perda-perda syariat yang isinya mendomestikasi dan menutup peran perempuan lewat kriminalisasi tubuh dengan cara "menutup" perempuan.

Fakta yang luput dan semestinya disadari oleh pembuat kebijakan adalah semestinya substansi hukum mempertimbangkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dan bukannya berlindung di balik objektivitas dan netralitas. Alih-alih untuk melindungi perempuan, aturan-aturan yang ada seperti UU Pornografi, perda-perda syariah bahkan fatwa ulama yang keluar akhir-akhir ini tentang perempuan malah sebaliknya, mengkriminalkan perempuan.

Kenyataan ini menjadi tantangan buat kita semua untuk melakukan dan bekerja lebih baik dan keras lagi untuk kesetaraan dan keadilan buat perempuan. Kalangan civil society harus berusaha keras dengan konsolidasi dan kerja sama terus menerus memberi masukan dan pressure kepada pembuat kebijakan seperti DPR dan pemerintah agar bisa merumuskan dan merevisi UU dan kebijakan yang pro perempuan. wallahu'alam bissawab

** tulisan ini sebagai pengantar diskusi Film Pertaruhan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 12 Februari 2009

Wednesday, October 14, 2009

lebaran di rumah Mbah

Lebaran di rumah mbah di banten asik banget: kumpul dengan semua keluarga, bermain di kampung, kebun dan pantai, ziarah ke rumah umi, kejar2 ayam dan bebek..pokoknya seru abizz


Monday, August 10, 2009

Andrea Birthday

hari minggu tanggal 9 agustus lalu, tepat andrea berusia 5 tahun. seperti biasa dia nagih untuk meniup lilin ultahnya yang ia minta jauh2 hari selain ia bilang akan bobo sendiri kalau udah 5 tahun, berangkat sekolah sendiri, makan sendiri pokoknya semuanya sendiri. buat andrea, life begin at fifth hehehe.

andrea memang hobi tiup lilin. sehari sebelumnya lilin ultah salihara aja yg banyak itu ditiupnya :) untuk menemaninya tiup liln dan sedikit merayakan ultahnya saya undang sepupu2nya plus nabila. serunya lagi abis tiup lilin anak2 yg lucu ini pada langusng ingin berenang, byyuuurrr

selamat ulang tahun anakku, moga panjang umur, selalu kuat menjalani hidup ini dan kamu selalu mendapat yang terbaik untuk hidupmu, aminnn ya robbal 'alamin..