JILBAB WARNA WARNI
Salah
satu isu sentral dalam tema perempuan Islam selain soal khitan perempuan,
poligami dan lainnya adalah tentang jilbab. Beberapa waktu lalu Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau biasa disapa Ahok, di depan ribuan kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK,
dan pejabat struktural eselon III serta IV di lingkungan Dinas Pendidikan DKI
Jakarta mengatakan soal larangan aturan pemakaian jilbab di sekolah. Menurut Ahok, soal penggunaan jilbab
merupakan hak pribadi seseorang. Sekolah tidak boleh mewajibkan siswinya untuk
menggunakan jilbab. Dengan tegas Ahok mengatakan, "Anda mengimani kalau
kerudung itu sebagai sesuatu yang bisa menyelamatkan Anda, ya silakan, tetapi
Anda tidak bisa memaksa semua anak pakai kerudung."
Di
tengah kecenderungan semua pihak dalam
hal ini pemimpin daerah yang berlomba-lomba membuat aturan pemakaian busana
muslimah dengan alasan untuk melindungi perempuan, Ahok malah bersikap
sebaliknya. Ahok memang bukan tokoh Islam dan mungkin sebagian orang
beranggapan atau bahkan geram karena dianggap tak layak dijadikan rujukan untuk
mendasarkan pemahaman kita tentang jilbab. Namun pemikiran Ahok tentang jilbab ini
mengingatkan saya pada pembaharu Islam seperti Muhamad Abduh , Gus Dur, Nurcholish Madjid, Quraish
Shihab, Harun Nasution, dan pemikir Islam lainnya dalam melihat jilbab
yang memang secara doktrin multitafsir.
Jilbab, secarik kain
untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak bisa kita melihatnya secara
hitam putih. Di Indonesia pun jilbab mengalami evolusi dalam pemakaiannya. Dulu
hanya sehelai kain yang menutup kepala atau dikenal sebagai kerudung, karena
itu untuk solat perempuan di Indonesia memakai mukena.
Tren Komunitas Hijabers
Namun terjadinya
Revolusi Iran di akhir 1970-an berpengaruh dalam mengubah model pemakaian
jilbab menjadi lebih tertutup. Sekarang bahkan dengan aneka warna dan gaya yang
dipopulerkan oleh komunitas hijabers yang membuat berjilbab sangat modis dan fashionable.
Dalam konteks itu, saya
teringat dengan tulisan Mohamad Guntur Romli tentang Pelangi Tipologi Jilbab (2007) untuk menjelaskan secara
keseluruhan trend jilbab di masyarakat kita. Menurutnya, ada empat tipologi
yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab ini. Tipologi ini berhubungan
dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.
Pertama,
jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan
jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup
rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke
dada. Ini yang sekarang dikenal sebagai jilbab syar’i, jilbab yang lebar, yang
menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan
berhati-hati bergaul di ruang publik.
Kedua, alasan
psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi
jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila
ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan
muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif
kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan pun berbeda dengan
model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan
gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat
luas.
Ketiga,
jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini
sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan
perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha
dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara
peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah
yang telah melampaui persoalan agama. Jilbab warna warni dan sangat menarik
bisa bersanding bahkan bersaing dengan jenis busana lainnya
Jilbab model ketiga
ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan
fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan
asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang
ditunjukkan oleh para ulama itu. Jenis jilbab inilah yang fenomenal, digandrungi
kawula muda dan kalangan kelas menengah. Apalagi dengan banyaknya selebritas
yang memakai jilbab dan tampil di media massa khususnya televisi. Dan bulan
Ramadan merupakan moment yang sangat sempurna untuk menampilkan jilbab modis
ini dengan pelbagai model & gaya disertai panduan cara memakainya. Jilbab
dan busana model ketiga ini tak bisa lagi dilihat dengan perspektif teologis, karena dalam aturan syariat yang
jumud, pakaian perempuan tidak boleh yang memancing perhatian publik.
Keempat,
jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang
menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Contoh di Indonesia,
bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan
perempuan berjilbab menjadi agenda utama. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi
menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun dipaksakan
pemakaiannya ketika perempuan di ruang publik. Inilah yang terjadi di Aceh, Padang,
dan beberapa daerah di Indonesia yang ingin menerapkan syariat Islam. Bahkan di
sekolah-sekolah negeri di Jakarta pun, ada hari tertentu yang mewajibkan siswi
memakai jilbab. Inilah yang dikritik Ahok.
Keyakinan Tak Perlu Aturan
Ada juga jilbab
dipakai sebagai bentuk perlawanan misalnya yang terjadi pada Revolusi Iran
dimana perempuan memakai jilbab sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa
yang tiran saat itu. Juga terjadi di era
Orde Baru dalam rangka melawan pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri.
Saya tidak setuju dengan dua cara ekstrim ini: mewajibkan atau melarang
pemakaian jilbab. Bila benar jilbab
berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan,
baik yang mewajibkan maupun yang melarang. Dengan pemahaman seperti ini, jilbab
akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi
keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya
khazanah busana, apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau sekedar budaya
belaka.
Saya pribadi sangat
menghargai dan menghormati apabila ada perempuan Islam yang ingin mengenakan
jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakai standar pribadi tersebut
terhadap orang lain. Misalnya pandangan bahwa yang memakai jilbab lebih soleh
dan terhormat dari yang tidak memakai. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak
perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi model keempat
untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.
Namun, buat saya,
jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai
pakaian publik dan ukuran kesolehan seseorang. Saya sendiri biasa memakainya
dalam situasi dan kondisi tertentu. Jilbab sebagai produk budaya seperti halnya
pakaian lainnya akan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.
No comments:
Post a Comment