Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Monday, September 24, 2007

Bubar

Sekarang ini lagi ramai di milis-milis tuntutan pembubaran Komunitas Utan Kayu yang ditandatangani oleh Muzakir HS dan Elisia Purba atas nama Garda Depan Pembebasan. Dua nama ini tak pernah kedengaran sebelumnya, begitu juga organisasinya. Saya ngga tahu, apakah saya yang kuper selama ini atau memang mereka yang tidak terkenal namanya. Kata Guntur, mereka orang gila..(jangan gitulah gun..) Tapi saya penasaran juga. makanya saya cari-cari namanya di google dan di yahoo, nama-nama itu tak ketahuan. Yang saya tahu cuma Garda Kemerdekaan, yang kebetulan saya ikut mendirikannya, dan Garda Bangsa, yang punya PKB Gus Dur.

Saya ngga tahu, apakah tuntutan ini telah diajukan ke polisi atau aparat yang terkait atau hanya sekedar gertakan aja. Saya juga belum dengar pernyataan ini ada konferensi persnya atau ngga.

Teman-teman, sebelum saya berkomentar lebih lanjut, silahkan baca tuntutan mereka itu:

Bubarkan Komunitas Utan Kayu!
(1) Seniman Garda Depan Pembebasan (GDP) dengan ini mendesak kepada Pemerintah untuk membubarkan Komunitas Utan Kayu (KUK).
(2) Kami mengimbau pihak kepolisian supaya menutup areal di jalan Utan Kayu 68H itu agar tidak digunakan bagi kegiatan kesenian yang mengancam martabat bangsa.
Telah diketahui luas, bahwa KUK adalah tempat penyebaran ide-ide liberalisme yang mengutamakan humanisme universil dengan mendatangkan seniman-seniman asing secara besar-besaran. KUK juga menjadi tempat berkumpulnya kelompok Islam Liberal dan bekas-bekas tapol G30S/PKI yang ateis dan Marxis.
(3) Kami menuntut agar dominasi KUK dalam bidang sastra harus diakhiri.
(4) Kami menuntut agar Goenawan Muhammad diusut.
(5) Kami menuntut agar Harian Kompas memecat Hasif Amini sebagai redaktur budaya dan diganti oleh Saut Situmorang yang jelas-jelas berprinsip "sastra untuk rakyat tertindas".
(6) Kami menuntut agar Koran Tempo memecat Nirwan Dewanto sebagai redaktur budaya dan diganti oleh sastrawan yang ditunjuk oleh Saut Situmorang serta DEWAN penandatangan Manifesto Ode Kampung.
(7) Kami menuntut agar jurnal Kalam dilarang terbit.
Bersama ini pula kami menyerukan apabila Polisi gagal bertindak, para seniman boemipoetera yang progresif mengambil alih areal Jalan Utan Kayu 6H, termasuk stasiun radio dan teater, dan membuang jauh-jauh buku-buku liberalisme dan marxisme-leninisme dari perpustakaannnya.
SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!!!
GARDA DEPAN PEMBEBASAN (Mudzakir H.S. Ketua & Elisia Purba, Sekretaris I)

Gimana setelah baca tuntutan ini teman-teman? Mengerikan kan? Main bubar, main pecat, main ambil alih dan main buang (he..he..he..kayak syair lagu dangdut Kucing Garong). Memangnya mereka ini siapa? Gimana kalau mereka megang negara ini ya? Tak terbayangkan deh diktatornya dan fasisnya mereka itu.. Kata Mariana Amiruddin, teman saya di Jurnal Perempuan, "gila nih orang. Orde Baru banget sih, pake bawa-bawa PKI segala. Gaya-gayanya persis kayak FBR or FPI yang bisanya main gertak. Indonesia mundur seribu langkah kalau begini terus."

Perhatikan kata-katanya, mereka cuma bisa menuntut dan menuntut, bukan bekerja, baca, berpikir, menulis dan berkarya untuk meruntuhkan dominasi (kalau memang ada dominasi) TUK. Mestinya mereka bersaing dong dengan karya, bukan minta bantuan polisi atau aparat pemerintah untuk membubarkan KUK. Duh, pegel!

Saya ingat ketika Jaringan Islam Liberal (JIL) dituntut untuk bubar dan diusir dari Utan Kayu. Saya dan teman-teman serta didukung banyak pihak melawan dan menghadapinya. Meski pihak mereka berbondong-bondong bawa pasukan dengan mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran, kami tidak takut karena kami juga punya Tuhan dan kebenaran kami. Bagi kami, tak ada seorang pun yang berhak membubarkan dan mengusir kami. Kami tak pernah melakukan onar, kejahatan kriminal dan kejahatan-kejahatan lain yang melanggar hukum. Kami, di JIL, pekerjaannya hanya membaca, berpikir, menulis, dan berkarya, memproduksi ide dan gagasan sesuai dengan kemampuan dan kebisaan kami. Apakah itu salah? Soal bahwa pemikiran kami dianggap berbeda, mestinya itu saja yang dicounter. Toh kami memakai forum yang terbuka. Mereka yang tidak setuju bisa melakukan cara-cara yang baik untuk mengekspresikan ketidak setujuannya. Lihat saja di toko buku, begitu banyak buku yang tidak setuju dan mengkritik JIL, begitu juga dikhutbah-khutbah Jumat atau pengajian. Kami pun diancam dibunuh lewat telepon atau sms. Respon kami? Kami tak pernah marah, mencak-mencak bahkan menyerang siapapun. Alhamdulillah, kami biasa-biasa aja tuh.

Begitu juga dengan Teater Utan Kayu dan KUK secara umum. Jadi buat yang tidak setuju dengan KUK atau TUK, pakailah cara-cara yang elegan dan berbudaya (maksudnya apa ya?). Berkaryalah! Seperti kata mas Goen (sapaan akrab Goenawan Mohamad) dalam tulisannya ketika meresponi orang-orang yang tidak setuju terhadap TUK: kalau cara mengkritiknya ke TUK seperti sekarang ini misalnya bikin majalah Boemipoetra yang bahasanya kacau balau dan vulgarnya ga karuan; nyebarin fitnah di milis-milis, ”maaf kami sekarang sedang sibuk bekerja dan berkarya.” saya membenarkan itu, Komunitas Utan Kayu itu memang ngga pernah sepi dari bekerja dan berkarya. Kalau ngga percaya, datanglah ke Utan Kayu. Hidup mas Goen!

Wednesday, September 5, 2007

Penghargaan

Duh, lama juga aku tak mengisi blogku ini. Malu rasanya dan terbebani juga bila blog ini isinya cuma itu-itu aja. Membosankan. Bukannya ngga mau ngisi, saking banyaknya yang mau aku ceritakan dan kutulis di blog ini malah jadinya tertunda-tunda terus. Karena kerjaanlah, ngurus anaklah, banyak ngelamun, banyak masalah tapi yang utama adalah malasnya itu loh. Padahal internet di kantor selalu on line.

Baiklah, aku mulai lagi nulis di blog ini dengan bercerita tentang Penghargaan Achmad Bakrie yang diselenggarakan 14 Agustus lalu. Basi memang, tapi ga apa-apa. Yang jelas Ahmad Sahal, yang sekarang lagi belajar di Upen Amrik, penasaran ingin tahu tentang acara ini. Abis katanya heboh sih karena Romo Magnis, teman baik sahal sekaligus masternya di STF, menolak menerima penghargaan itu.

Aku senang banget akhirnya Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2007 berjalan sukses. Di tengah ramainya sms yang memboikot acara ini, ternyata yang datang ke acara ini banyak juga. Yang menggembirakan lagi, teman-teman dekat pun yang tadinya aku anggap akan memboikot, ternyata hadir dan mengucapkan selamat. Duh, lega banget.

Awalnya, di internal Freedom Institute pun ada perdebatan apakah penyelenggaraan acara ini perlu diadakan atau nggak. Hal ini dikarenakan kami juga ingin mengikuti persepsi publik bahwa kami sensitif terhadap korban Lapindo. Tapi kami akhirnya memutuskan bahwa tradisi penghargaan harus diteruskan dan dilestarikan karena penghargaan ini tak ada kaitannya dengan soal korban Lapindo atau apapun. Meski tentu saja ada konsekuensinya yaitu kontroversi di sana sini. Bukankan hidup ini lebih indah dan menarik bila ada kontroversi? Aha! Itu pertanyaan yang tak releven sama sekali :-) sssttt...terus terang, pelajaran inilah yang aku dapatkan dalam menjalani hidup.

PAB tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang sudah ditulis di atas sebabnya adalah adanya kasus lumpur Sidoarjo yang melibatkan salah satu perusahaan Bakrie, PT. Lapindo. Freedom Institute dianggap terkait erat karena lembaga ini sejak awal didukung oleh Pak Aburizal Bakrie dan nama penghargaannya pun didedikasikan kepada (alm) Achmad Bakrie, ayahanda pak Aburizal.

Tak pelak, acara ini pun dilumpuri dengan isu Lapindo. Teman-teman aktivis yang pro korban menganggap Freedom Institute betul-betul tidak memihak dan sensitif terhadap korban. Secara pribadi aku menganggap pengaitan kasus lumpur Lapindo dan PAB Freedom Institute tidak relevan sama sekali. Buatku, penghargaan terhadap orang-orang berilmu harus terus kita lestarikan dan tradisikan. Apalagi kita tahu tradisi penghargaan untuk kalangan pemikir di Indonesia masih sangat langka. Alangkah sayangnya bila penghargaan ini harus dihentikan gara-gara kasus Lapindo. Tokh, kasus Lapindo pun sekarang ini sedang terus menerus dicarikan jalan keluar dan penyelesaian yang terbaik untuk para korban lumpur tersebut.

Bahkan Freedom Institute dan keluarga Bakrie ingin penghargaan ini terus diperluas ke pelbagai bidang ilmu. Makanya tahun ini ada penambahan 2 yaitu sains dan teknologi. Padahal awalnya cuma 2 kategori yaitu untuk pemikiran sosial dan kesusateraan, terus 2 tahun berikutnya ditambah untuk kedokteran.

Akhirnya, tak ada manusia yang sempurna, tapi kita selalu berusaha menuju ke kesempurnaan itu. Saya kira pak Aburizal dan keluarga pun seperti itu. Beliau memberikan hartanya untuk penghargaan ini dalam rangka menuju ke kesempurnaan itu. Kita tak bisa menolak niat baik dan kebaikan orang untuk melakukan pekerjaan yang mulia.

Terima kasih kepada mas Putu Wijaya yang luar biasa tegarnya ditengah gempuran sms-sms yang memintanya menolak penghargaan ini. Suatu keputusan yang sangat sulit untuknya dan aku selalu gelisah karena takut mas Putu tiba-tiba menolaknya. Kepada pak Jorga Ibrahim yang aku banyak belajar dari pengetahuan & kebijakannya, pak Sangkot Marzuki yang sangat sulit dihubungi dan kepada Pak Hasil Sembiring dari BB Padi yang telah mengajak wisata padi. Untuk Romo Magnis, aku juga salut dan sangat menghargai sikapnya. Kepada teman-teman semuanya di Freedom Institute, Bigguns, tim fotografer, dokter Priyo, dokter Agus, pak Sucipto serta timnya dan semua teman-teman yang hadir di acara PAB. Terima kasih banyak. Semoga penyelenggaraan PAB tahun depan akan semakin baik dan penghargaannya bertambah.