Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Saturday, December 22, 2007

KH. Ilyas Ruhiyat, Guruku, Telah Tiada

Selasa (18/12) jam 16.30 saya mendapat sms dari Pak Abdul Khobir, salah seorang menantu KH. Ilyas Ruhiyat yang juga guru saya di SMA dulu: “Innalillahi wainna ilaihi roji’un, telah wafat bapak kita tercinta Pak Ilyas Ruhiyat hari ini di Cipasung Tasikmalaya. Mohon dimaafkan semua kesalahan dan kekhilafannya”. Saya langsung membalas: Allahummaghfirlahu warhamhu….

KH Ilyas Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung dan mantan Rais ‘Am PBNU, meninggal dunia di usia 73 tahun 11 bulan. Ia meninggal karena sakit stroke dan penyakit komplikasi lainnya. Setelah sempat dirawat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama 40 hari dan kemudian dipulangkan ke rumahnya Cipasung karena dianggap kondisinya membaik. Namun kondisi itu hanya berlangsung dua minggu. Dengan didampingi dua putrinya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu serta beberapa santrinya, beliau menghembuskan nafas terakhir.

Di mata para santrinya dan kalangan nahdhiyin, pak Ilyas (sejak di pesantren saya selalu memanggilnya Bapak) merupakan kiai besar atau dalam istilah sunda ajeungan, yang penuh kharisma dan sangat bewibawa. Pembawaannya yang kalem, nada bicaranya yang sangat datar dan senyumnya yang selalu tersungging di bibirnya merupakan ciri khas beliau. Dalam kepribadiaannya itu tersimpan ketegasan dan kekonsistenannya dalam bersikap. Sejarah mencatat bagaimana sikap beliau yang tidak mau terkooptasi kekuasaan saat beliau menjadi Rais ‘Am mendampingi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Muktamar di Cipasung tahun 1995. Saat itu, negara begitu kuat mengintervensi semua ormas termasuk NU. Di tangan pak Ilyas, NU bisa tetap bersikap independen meski terus dikuyek kuyek. Pak Ilyas pun dikenal sebagai pribadi yang tidak haus kekuasaan dan posisi. Meski ditawarkan untuk tetap menjabat Rais ‘Am, tapi ia lebih memilih berhenti, konsentrasi ke pesantren, dan menyerahkan posisi itu kepada KH. Sahal Mahfoudz.

Pak Ilyas memang tidak dikenal sebagai kiai yang banyak menulis, melontarkan pendapat di media, atau sering menyampaikan pemikiran-pemikirannya dalam seminar-seminar dan Konferensi namun, mengutip tulisan Ulil Abshar Abdalla di milis Jaringan Islam Liberal, pak Ilyas adalah sebuah mazhab tersendiri. Gaya kekiaian pak Ilyas adalah salah satu di antara corak kekiaian yang berkembang dalam tubuh NU. Pesantren Cipasung yang diasuh olehnya merupakan contoh pelaksanaan dari prinsip yang dikenal dan dihayati dalam NU, al-muhafazah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi 'l-jadid al-aslah, memelihara yang lama yang baik, menyerap yang baru yang lebih baik.

Saya mengamini pernyataan Ulil ini. Pak Ilyas tidak pernah alergi dan sangat terbuka menerima gagasan progressif dan baru yang datang dari luar. Apalagi gagasan itu untuk memajukan pemikiran santrinya dan kesejahteraan masyarakat di sekitar pesantren. Setiap tamu dari kalangan mana pun, NU atau non NU, Islam atau non Islam, pasti disambutnya dengan ramah. Makanya tak aneh bila di lingkungan Pesantren Cipasung banyak santri dan pengurus pesantren, termasuk anak-anaknya pak Ilyas, yang aktif di LSM-LSM yang bergerak dalam pemikiran dan pemberdayaan masyarakat. Di sini, santri dikondisikan tak hanya belajar mengaji saja tapi juga dituntut berpikir kritis dan menjadi aktivis.

Saya beruntung karena selama saya nyantri di Cipasung enam tahun saya tinggal di rumah beliau, di Asrama Esa. Saya bisa melihat secara langsung bagaimana pak Ilyas menjalankan kehidupan rumah tangganya, mendidik dan memperlakukan anak-anaknya serta “mencuri” dengar setiap pembicaraan dengan tamu-tamunya. Sebagai santri yang masih junior, saya belum banyak mengerti dan belum sempat diajar ngaji langsung olehnya. Sebagaimana layaknya kyai besar, pak Ilyas hanya memegang santri kelas advent dan pengajian khusus kyai-kyai seluruh Tasikmalaya. Hubungan saya dengannya seperti ayah dan anak. Kalau saya dianggap “nakal” olehnya pasti saya dimarahi langsung.

Ibu Hj Dedeh Fuadah, istri pak Ilyas yang meninggal enam bulan lalu (allahumaghfirlaha), buat saya sudah seperti ibu sendiri. Beliaulah yang menjadi guru mengaji pertama saya di pesantren ini. Kepada isterinya ini, pak Ilyas sangat mencintai dan menyayanginya sampai akhir hayatnya.

Sebagai seorang ayah, saya melihat, Pak Ilyas merupakan figur ayah yang moderat dan toleran bahkan sangat moderen untuk ukuran kyai NU. Biasanya seorang kyai besar yang memiliki pesantren besar seperti beliau ini “memaksa” anak-anaknya hanya belajar di pesantren dan kuliah di sekolah agama misalnya IAIN atau perguruan tinggi di Timur Tengah, agar menguasai ilmu-ilmu agama supaya bisa melanjutkan posisinya. Atau untuk anak perempuannya, dijodohkan atau dianjurkan menikah dengan anak kyai besar dan pintar mengaji. Tradisi seperti ini biasa kita lihat dalam pola pendidikan dan cara pernikahan di keluarga pesantren-pesantren besar di NU.

Namun hal itu tidak terjadi dalam keluarga pak Ilyas. Anaknya yang pertama, Acep Zam Zam Noor dikenal sebagai seniman, pelukis dan penyair besar lulusan seni rupa ITB. Ia menikah dengan perempuan dari keluarga yang tak berbasis pesantren. Dua anak perempuannya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu kuliah di IKIP Bandung dan bersuami bukan berlatar belakang pendidikan pesantren. Meski tak menguasai kitab kuning dan hanya berpendidikan sekuler, anak-anak dan menantunya kini bahu membahu memajukan Pesantren Cipasung.

Satu hal lagi kesan mendalam saya ketika nyantri di Cipasung adalah hubungan yang sangat baik antara Pesantren Cipasung dan umat Ahmadiyah. Hal ini dikarenakan sikap pluralis dan toleran pak Ilyas dalam membina hubungan dengan masyarakat sekitarnya termasuk dengan umat Ahmadiyah. Sekitar 500 meter dari pesantren Cipasung berdiri komplek pemukiman Ahmadiyah. Dulu, saya sering iseng main ke tempat itu. Ketika Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, pemukiman ini juga dijadikan tempat menginap bagi sebagian peserta muktamar. Bila Ahmadiyah dianggap sesat dan salah, semestinya dari dulu pak Ilyas dan pesantren Cipasung sudah menyesatkannya dan berdakwah untuk mengembalikan akidah umat Ahmadiyah di situ. Tapi hal itu tak terjadi. Malah saya melihat hubungan antara mereka dari dulu sangat harmonis. Bahkan ada kerabat dekat pak Ilyas dari turunan ayahnya yang menjadi kaum Ahmadi.

Namun sekarang hubungan baik yang sudah terjalin lama itu dihancurkan dengan adanya penyerangan oleh kelompok yang merasa akidah dan dirinya paling benar. Ironisnya penyerangan kaum Ahmadi saat itu dilakukan ketika keluarga besar Cipasung sedang dirundung duka karena Ibu Hj Dedeh Fuadah, isteri tercinta pak Ilyas meninggal Juni lalu. Ini betul-betul memperlihatkan bahwa yang melakukan penyerangan itu adalah bukanlah orang Tasikmalaya atau masyarakat sekitarnya. Saya perlu menyinggung hal ini karena untuk mengingatkan kembali sikap pak Ilyas yang sangat toleran terhadap umat Ahmadiyah di saat kelompok ini sekarang sedang dalam proses penghabisan oleh kelompok-kelompok yang merasa paling benar.

Kini kita kehilangan ajeungan yang menjadi panutan untuk semuanya. Ribuan orang berduyun-duyun menghantar kepergiannya. Proses pemakamannya dilakukan dengan estafet dari mesjid ke komplek pemakaman yang berjarak 300 meter dan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Beberapa orang bersaksi bahwa langit pun ikut serta menghantarkan kepergiannya ke rumah abadinya. Terlihat di langit ada pelangi yang sangat indah, meski saat itu hujan tak turun.

Rabu malam kemarin saya mendapat sms dari Pak Khobir lagi: Semoga anak-anak dan cucu-cucunya bisa meneruskan perjuangan beliau.” Saya kira, tak hanya anak dan cucunya yang harus meneruskan perjuangannya, kita juga wajib turut meneruskannya dan mencontoh sikap dan tindakannya untuk kelangsungan hidup bangsa ini.

Tuesday, December 11, 2007

Menjadi Perempuan Baik-Baik

Bertrand Russell, sang filosof dari Inggris, pernah menulis satu artikel tentang Bahaya menjadi Manusia baik-baik. Menurut Russell, manusia baik-baik berbahaya karena kehilangan kedirian dan kekritisan dirinya. Manusia diatur oleh diluar dirinya, manusia yang ditundukkan oleh moralitas yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita harus jaim (jaga image, jaga citra diri) untuk menutupi kedirian kita. Akhirnya kita bisa menjadi hipokrit supaya tetap terjaga citranya di mata publik.

Tiba-tiba aku gelisah dengan diriku: apakah aku termasuk perempuan baik-baik? Sebenarnya pertanyaan ini biasa-biasa aja dan sedikit norak. Tapi untuk situasiku sekarang yang kebetulan aku berstatus perempuan dan ditengah munculnya kembali RUU Porno akan disahkan, trend perda Syariah yang mewajibkan perempuan menutup tubuhnya dan tidak keluar malam dll, ujug-ujug soal ini menjadi krusial. Betulkah aku telah menjadi perempuan baik-baik? Aku sangat perduli dengan istilah “baik-baik” ini sekarang.

Lazimnya, tak mesti perempuan yang menjadi baik, lelaki pun harus baik. Tapi coba perhatikan di sekeliling kita. Tuntutan yang menyerukan agar menjadi manusia yang baik lebih banyak diperuntukkan kepada yang berjenis kelamin perempuan. Baca kitab suci, baca nasihat ulama, dengar ceramah agama, lebih banyak anjuran dan kewajiban yang dikhususkan buat perempuan.

Sejak kecil pun aku selalu diwanti-wanti untuk menjadi perempuan baik, almaratu sholihah. Sehingga aku, dibanding dengan saudaraku yang laki-laki, banyak diwanti-wanti untuk tidak bolehnya dari pada bolehnya. Kata nenekku, perempuan itu banyak pamalinya. Makanya dalam Islam misalnya akhirnya perempuan harus ”ditutupi” supaya tidak macam-macam, supaya terlindungi, atau tidak ”menggoda” ke lawan jenisnya.

Menurutku, banyaknya aturan terhadap perempuan untuk menjadi baik-baik tidak sesuai dengan imbalannya. Kalau pun masuk surga, perempuan cuma jadi pendamping suami atau malah jadi bidadari dari lelaki yang masuk surga. Tidak independen dan tidak bebas lagi layaknya lelaki yang masuk surga dengan mendapat banyak bidadari minimal 40 bidadari, karena ujung-ujungnya tetap menjadi ”milik” lelaki. Hahaha...Betulkah? nanti kita buktikan di surga. Kalau aku sudah gila begini, aku berpikir, mending aku hidup dan menikmati surga dunia aja. Persoalannya, adakah surga dunia? Ya, kita nikmati dan rasakan aja surga menurut persepsi kita sekarang ini.

Ditengah kegelisahan itu, aku mengsms beberapa teman. Aku menanyakan persepsi teman-temanku soal apa itu perempuan baik-baik. Jawabannya ada yang serius dan ada yang main-main. Responnya malah banyak yang mengkhawatirkanku. Kamu kenapa, Nong? Ada apa, Nong? Dan lain-lain. Seakan-akan aku lagi punya persoalan serius banget. Padahal aku biasa-biasa aja, cuma sekedar gelisah. Hidup kan kadang seperti ini. Dinamika hidup, hehehe...

Tapi kesimpulan dari jawaban teman-temanku: perempuan baik-baik adalah ukuran, definisi dan konstruksi lelaki dengan memakai aturan agama dan aturan lain-lain, wow!

Inilah jawaban sms teman-temanku. Terima kasih atas replynya:
Dian Islamiati Fatwa (temanku di Melbourne, dia ini liberal abiz deh meski bapaknya konservatif): Baiknya tergantung konteks. Pake jilbab di Banten akan dibilang baik kalau di Aussie bisa dicurigai militant.

Sarah ”Aci” Santi (teman baikku di Freedom Institute. Aku banyak belajar hidup darinya): Istilah itu cuma definisi sosial. Bentukan budaya dalam satu sisi tidak adil pada perempuan karena ekspetasi yang berlebihan terhadap perempuan. So pertanyaannya kalau gitu perempuan boleh keluar dari definisi itu? Tetap ada koridor etika, Nong. Koridor itu buatku adalah hati hatimu, nurani. Maka sering-sering tengok diri sendiri dan berdialog dengan hatimu.

Trisno S. Sutanto (teman gendutku yang senang minum bir dan makan celeng. orangnya cerdas dan kalau sudah menulis, bagus. Katanya dia Kristen Liberal): Istilah itu dari lelaki dan tergantung kebutuhan, baik-baik di ranjang, di dapur, punya dan melihara anak, sopan berpakaian (pake jilbab), kerja domestik dll. Seharusnya perempuan sendiri yang menetukan tapi agama dan masyarakat kan milik lelaki.

Ayu Utami: Di Utan Kayu, banyak plang kos-kosan isinya ”hanya menerima wanita baik-baik”, kalau kamu pasti ga bisa masuk di kosan itu. (apa maksudnya coba?)

Goenawan Mohamad (Wartawan senior sekaligus filosof, Suhu saya dalam menjalani hidup ini): Perempuan baik-baik adalah perempuan yang menyerah kepada ukuran ”baik” yang berkuasa di masyarakat.

Martin Sinaga (Pendeta yang sangat liberal, yang tidak mau kehilangan Tuhannya): terjemahan kata itu adalah ”perempuan dengan integritas”. Kalau liberal ya konsisten liberal, kalau puritan ya tetaplah puritan.

Ucu Agustin (penulis dan filmmaker otodidak, gaya hidupnya menjadikan hidupku lebih hidup): Teh Nong perempuan baik-baik. Semua perempuan itu baik. Yang jahat dan salah pasti lelaki, hehe...itu sih kuyakin sudah lama.

Hidayat ”Wedhatama” (Temanku yang arif dan bijaksana dalam menjalani hidup): Saat nurani telah menjadi imam bagi setiap orang, maka tak ada yang lebih berhak menjawab pertanyaan moral selain diri yang bersangkutan.

Ari ”ape” Perdana (laki-laki yang baik, yang hidupnya selalu lurus): Nong, di sebelah rumahku ada kos dengan plang ”menerima wanita baik-baik”. Jadi menurutku, perempuan baik-baik itu yang diterima di kost itu, hahaha....

Aku tidak mau menjadi perempuan baik-baik bila ”berbahaya” seperti yang digambarkan Russell. Bila aku memilih definisi mas Goen, aku sekarang berproses tidak menyerah dan mencoba keluar dari ukuran yang sudah terdefinisikan dan terkonstruksi itu. Bisakah itu? waktu yang akan menjawabnya. Kalau pun aku kalah, ngga apa-apa. Yang penting aku sudah mencobanya sebagai ijtihad hidupku dan tahapan hidup yang harus aku jalani. Jadi teman-teman, menurutmu apa yang dimaksud dengan perempuan baik-baik itu?

Thursday, December 6, 2007

Nabi Itu Monogami

Terbitnya buku ini tak kalah kontroversinya dengan poligami Aa Gym beberapa waktu lalu yang berakibat pesantren dan usaha bisnisnya makin sepi. Meski penulisnya menolak kalau ia menulis buku ini bukan lah karena faktor itu. Konon saking kontroversinya, buku ini sempat ditarik dari peredaran karena membuat gerah aktivis dan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski yang memberi pengantar buku ini adalah istri pertama Presiden partai tersebut, Sri Rahayu Tifatul Sembiring. Wajar saja karena buku ini ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan yang merupakan salah seorang anggota Majelis Syuro PKS. Majelis ini menempati posisi tertinggi dalam struktur partai yang berideologi Islam ini. Sementara sudah jadi rahasia umum kalau ikhwan partai ini lazim melaksanakan praktek poligami dengan tujuan untuk perluasan dakwah Islam. Mereka juga meyakini bila poligami merupakan solusi ideal relasi suami istri bila sang suami ”tergoda.”

Di sinilah menarik dan beraninya buku ini. Isinya memang benar-benar menelanjangi praktek poligami yang banyak menyengsarakan kaum istri dan anak serta lebih khusus lagi kata penulis, berakibat buruk pada dakwah Islam. Artinya penulis mendekonstruksi pemahaman dan keyakinan sebagian besar koleganya di partai. Dalam pendahuluannya, penulis mengakui bahwa sebenarnya tema ini merupakan tema yang selalu dia hindari karena supersensitif bahkan hipersensitif. Menurutnya, menulis masalah poligami bukanlah wilayah aman untuk mengungkapkannya. Keputusan penulis untuk tetap menulis tema ini, tentulah sangat tidak populer. Bahkan cenderung menentang arus, atau mungkin juga kebijakan partai.

Sedari awal penulis menekankan bahwa ia menulis buku ini bukan dalam rangka menolak hukum atau ajaran Islam tentang poligami. Yang ia tolak adalah praktek poligami itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak fakta dan kasus yang akhirnya ia sendiri punya kesimpulan kalau poligami itu bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan keluarga tapi malah menghancurkan institusi keluarga khususnya perempuan dan anak. Meski penulis mengakui pada kasus-kasus tertentu seperti menolong janda dan anak korban konflik, poligami tetaplah menjadi solusi. Tapi kenyataannya sangat jarang suami yang berpoligami karena alasan tersebut. Mayoritas berpoligami karena perempuan yang akan dijadikan istri selanjutnya itu lebih muda, lebih menarik, lebih pintar dan lebih segalanya dibanding istri pertamanya. Buku ini banyak mengungkap data dan fakta yang didasarkan pada kasus-kasus praktek poligami yang memang menjadi kecenderungan partai dimana penulis terlibat dan dari pengaduan para kliennya karena profesinya sebagai konsultan pernikahan dan keluarga di Jogja Family Center (JFC).

Karena itulah penulis menyarankan agar suami membahagiakan dan memaksimalkan diri dengan satu istri. Dari situ, penulis mengeksplorasi argumen-argumen doktrin Islam tentang monogami yang menurut saya argumen tersebut mendekonstruksi argumen tentang poligami dalam Islam.

Seperti diketahui, biasanya para pelaku poligami membenarkan perbuatannya tersebut pada dua hal: Alquran surat al-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami sampai empat dan mengikuti Sunnah Nabi. Padahal kata penulis, bila kita melihat kehidupan keluarga Nabi secara cermat, sesungguhnya Nabi itu melakukan monogami. Karena dalam kurun waktu kehidupan rumah tangga Nabi, Nabi itu sangat monogami. Kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah itu berlangsung 25 tahun, sementara Nabi mempraktekan poligami itu hanya 10 tahun. Itu pun setelah Khadijah wafat dan kebanyakan pernikahannya itu lebih dikarenakan menolong janda-janda sahabat beliau yang meninggal akibat perang untuk membela Islam. (hal xviii)

Sementara ayat Alquran yang menjadi acuan poligami itu pun titik tekannya pada sikap suami yang bisa berlaku adil, bukan pada bolehnya praktek poligami tersebut. Sikap adil susah sekali ukurannya karena sangat melibatkan perasaan, tidak hanya kepuasan materi dan seksual semata. Anugerah perasaan inilah yang merupakan salah satu kelebihan manusia. Seperti yang diulas dengan bagus oleh Bintu Syathi Aisyah Abdurrahman dalam bukunya Istri-istri Nabi, kehidupan istri-istri Nabi saja tak sepenuhnya harmonis, malah cenderung penuh intrik dan saling cemburu karena mereka saling bersaing untuk memperebutkan perhatian Nabi. Untuk sekualitas lelaki seperti Nabi saja, yang banyak diberi kelebihan oleh Allah, Beliau cukup kerepotan mengelola perasaan dan menghadapi isteri-isterinya. Apalagi untuk manusia biasa seperti kita semua. Karena itu kata penulis, kita ini bukan Nabi, isteri kita pun bukan Aisyah. Makanya jangan coba-coba berpoligami. (hal 238)

Ada juga yang berargumen berpoligami itu karena untuk menghindari zina. Istilahnya, dari pada selingkuh kan lebih baik poligami. Menurut penulis, kok bisa poligami dibandingkan dan disejajarkan dengan zina (selingkuh). Penyejajaran seperti ini kata penulis, merupakan cara berpikir yang tak nyambung, dan ungkapan tersebut tidak pada tempatnya sebagai alasan untuk melakukan poligami. Ia menyodorkan beberapa pilihan selain poligami. Misalnya dari pada suami berpoligami lebih baik berpuasa untuk menjaga diri atau konsentrasi dan fokus ke isteri atau onani dan masturbasi atau berkebiri atau berlari-lari untuk membuang energi atau bertobat setiap hari atau aktif dalam kegiatan berorganisasi atau segera naik haji atau banyak pilihan erbuatan yang lebih baik dan positif. Jadi bagi penulis, suami tak mesti berpoligami, atau lebih ekstrim lagi berselingkuh, karena pilihan untuk tetap beristri satu tetap yang paling realistis. (hal.99)

Penulis mengakui, banyak yang bertanya kenapa ia tak berpoligami. Jawabannya karena ingin bahagia dengan satu istri. Dengan memarodikan lagu Aa Gym, penulis menjawab:

Jagalah istri, jangan kau sakiti
Sayangi istri, amanah ilahi
Bila diri kian bersih, satu isteri terasa lebih
Bila bisa jaga diri, tidak perlu menikah lagi

Bila suami berpoligami
Dakwah akan terbebani
Demarketing menjadi jadi
Dakwah bisa dibenci

Jagalah istri, jangan khianati
Jagalah diri, tak perlu poligami


Buku ini jelas-jelas diperuntukkan untuk suami baik yang punya niat berpoligami atau tetap monogami. Bagi yang berniat poligami, setelah membaca buku ini pasti tak akan jadi menambah istrinya. Bagi yang setia dengan satu istri, pasti akan semakin membahagiakan istrinya. Bagi yang sudah berpoligami, ada dua kemungkinan: membenarkan atau menolak mentah-mentah isi buku ini.

Tentu saja buku ini tak hanya layak dibaca para suami atau lelaki meski isinya memang lebih banyak diperuntukkan untuk kaum Adam. Bagi perempuan pun, buku ini sangat bermanfaat karena banyak kiat dan nasihat agar para istri tidak dipoligami. Sayang sekali, bukunya sangat sulit untuk didapatkan sekarang. Salut untuk Ustadz Cahyadi...

Tulisan ini dimuat di majalah GATRA, 5 Desember 2007

Tuesday, November 20, 2007

Andrea

Namanya Andrea Azalia Ardhani-Wibowo. Panggilan sayangnya Dea atau Ea. Ada ceritanya kenapa anakku aku beri nama Andrea. Sehari sebelum aku melahirkan ketika aku berangkat ke RS. Bunda untuk operasi Ceasar, aku mendengar lagu The Corrs. Terus terang aku gugup dan takut mau melakukan operasi ini. Seumur hidup aku belum pernah sakit yang serius dan merasakan tinggal di rumah sakit. Kalaupun aku nginap di RS itu pun nungguin yang sakit misalnya ketika teh neng dan umi di rawat di rumah sakit. Ketika dokterku memutuskan aku ga bisa melahirkan normal dan harus dicesar, ih kebayang deh alat-alat dan kamar operasi yang serem.

Di saat nervous seperti itu, aku merasa tenang dan damai ketika mendengarkan lagu-lagu The Corrs. Aku ngefans banget ama grup musik bersaudara ini, yang personnilnya cantik-cantik –yang ganteng satu-- dan kemampuannya yang oke, ini menurutku yang awam dengan musik. Apalagi si vokalisnya yang bernama Andrea. Nama yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari tersisih karena moment tiba-tiba ini. Ujug-ujug aku ingin menamakan anakku seperti vokalis the Corrs yang menurutku nama itu genderless, bisa untuk laki-laki dan cantik untuk perempuan. Sewaktu aku beritahu nama anakku ke teman-teman di Utan Kayu, mereka khususnya Ging Ginanjar, langsung heboh kalau anakku bernama Andrea Harono, plesetan dari Andreas Harsono, yang menekuni jurnalisme sastrawi sekarang www.andreasharsono.blogspot.com . Hehe..aku cuma mesem-mesem aja mendengar plesetan itu.

Lain lagi respon orang tuaku khususnya Ema, istri abahku sekarang. Dia protes karena nama anakku tidak islami. Kok namanya tidak ada Siti-nya atau islamnya sama sekali seperti Aisyah, Fatimah, Mahmadah seperti ibunya? Padahal Azalia itu berasal dari kata Arab yang artinya suci, azali he..he..he.

Proses melahirkan Andrea aku rekam utuh dengan minta bantuan suster yang membantu operasiku. Ketika aku memperlihatkan ke keluargaku saat mereka menengokku di RS, Abahku menangis tersedu-sedu melihat film itu. Ia teringat umiku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu dan karena kengeriannya melihat perutku “dibuka” dan berdarah-darah. Abahku tadinya merupakan seorang figur bapak yang sangat patriarkhi, sangat keras, prototype suami kyai-jawara, yang tak pernah perduli dengan kesulitan & kerepotan yang dialami istrinya. Baginya isteri itu harus merawat, melayani suami meski umiku sangat kerepotan dengan anak-anaknya dan sejuta kegiatan rumah tangga lainnya. Belum lagi kegiatan umi di luar sebagai guru. Abahku juga sangat berjarak dan tidak pernah dekat dengan anak-anaknya. Semuanya sungkan dan takut kepada abah. Kalau ada keinginan apa-apa, kami selalu menyampaikannya ke umi.

Tapi setelah umiku sakit terserang stroke, sifat-sifat abahku berubah total. Abah menjadi sangat egaliter dan sangat memahami kemauan umi dan anak-anaknya. Apalagi setelah umiku meninggal, abah sangat mengerti dan menghormati pemikiran anak-anaknya. Beliau hanya Tut wuri Handayani aja, setiap tindakan & keputusan anak-anaknya merupakan tanggung jawab anak-anaknya dan tidak pernah mengintervensinya.

Pernah ada wartawan salah satu majalah Islam datang ke Abah. Ia hendak wawancara abahku berkaitan dengan pemikiran dan keterlibatanku di JIL. Si wartawan ini sebelumnya mewawancarai dan mengambil foto-fotoku. Aku tak mengira kalau laporan tentang JIL itu sampai harus melibatkan abahku. Selama ini, di rumah dan di hadapan Abah karena aku sangat menghormati abah, aku selalu memakai kerudung. Dengan membawa foto-fotoku yang tak berjilbab, si wartawan ini cerita ke abahku kalau aku di Jakarta sudah melepas jilbab dengan bukti foto-foto yang dibawanya dan juga tulisanku serta transkrip wawancaraku. Abahku dengan enteng menjawab: “Abah bangga punya anak seperti Nong. Ngga sia-sia abah nyekolahin dia tinggi dan jauh. Dia punya cita-cita dan idealisme yang berdasar pendidikan dan hasil pergulatannya selama ini. Abah ngga akan pernah mempersoalkan Nong selama dia bisa mempertanggungjawabkannya bahkan abah akan selalu dukung anak abah ini.” Saya ngebayangin mungkin wartawan ini lemes dengar kata-kata abah ini.

Kembali ke anakku. Kini, Deaku berusia 3 tahun 3 bulan. Dia sudah bisa diajak ngobrol dan makin memahami kondisi mamanya. Namun sifat manjanya makin menjadi-jadi, apalagi bila menjelang tidur. Aku selalu menemaninya tidur meski proses untuk tidur bareng aku sulitnya luar biasa. Berbeda kalau ditidurin mbaknya, tidurnya cepat banget. Denganku, tak cukup dengan membacakan buku-buku cerita, dengerin musik lullaby atau nonton film-filmnya sambil dia muter-muter lari-lari di tempat tidur dan aku menerangkan isi film itu, bahkan terkadang minta digendong pakai kain panjang keliling taman di apartemenku lantai 4. Padahal berat badannya sudah hampir 18 kg. Kadang kalau dia udah bete banget karena susah tidur, dia maksa minta nenen (bayangin, udah usia 3 tahun lebih masih minta ngenyot payudara mamanya. Apa yang didapatkan wong air susunya udah ga ada lagi. Duh anakku!). Meski kegiatan-kegiatan menjelang tidur itu melelahkan tapi aku sangat menikmatinya. Yah, kadang-kadang aku cape karena seharian penuh dengan kegiatan tapi untuk Deaku, aku enjoy banget.

Sebelum aku berangkat kerja, aku juga mengantarkan dia sekolah. Sekarang dia sekolah tiap hari. Udah hampir dua bulan ini dia ngelakoni rutinitas seperti itu. Kadang-kadang ia ngambek ngga mau sekolah, mungkin karena bosen. Sejak usia setahun, dea aku “sekolahin” di Tumble tot Ambassador. Sebelumnya 2 kali seminggu kemudian bertambah di tahun berikutnya 3 kali seminggu. Bila ngambek ngga mau sekolah, maunya ikut ke kantor. Untung kantorku ngga ketat-ketat banget dan sangat family care. Jadi aku bisa leluasa mengajaknya. Menjelang tidur siang, anakku aku pulangkan dan aku kembali dengan aktivitas kantor dan kegiatanku. Begitulah kehidupan aku dan anakku satu-satunya, Andrea.

Monday, September 24, 2007

Bubar

Sekarang ini lagi ramai di milis-milis tuntutan pembubaran Komunitas Utan Kayu yang ditandatangani oleh Muzakir HS dan Elisia Purba atas nama Garda Depan Pembebasan. Dua nama ini tak pernah kedengaran sebelumnya, begitu juga organisasinya. Saya ngga tahu, apakah saya yang kuper selama ini atau memang mereka yang tidak terkenal namanya. Kata Guntur, mereka orang gila..(jangan gitulah gun..) Tapi saya penasaran juga. makanya saya cari-cari namanya di google dan di yahoo, nama-nama itu tak ketahuan. Yang saya tahu cuma Garda Kemerdekaan, yang kebetulan saya ikut mendirikannya, dan Garda Bangsa, yang punya PKB Gus Dur.

Saya ngga tahu, apakah tuntutan ini telah diajukan ke polisi atau aparat yang terkait atau hanya sekedar gertakan aja. Saya juga belum dengar pernyataan ini ada konferensi persnya atau ngga.

Teman-teman, sebelum saya berkomentar lebih lanjut, silahkan baca tuntutan mereka itu:

Bubarkan Komunitas Utan Kayu!
(1) Seniman Garda Depan Pembebasan (GDP) dengan ini mendesak kepada Pemerintah untuk membubarkan Komunitas Utan Kayu (KUK).
(2) Kami mengimbau pihak kepolisian supaya menutup areal di jalan Utan Kayu 68H itu agar tidak digunakan bagi kegiatan kesenian yang mengancam martabat bangsa.
Telah diketahui luas, bahwa KUK adalah tempat penyebaran ide-ide liberalisme yang mengutamakan humanisme universil dengan mendatangkan seniman-seniman asing secara besar-besaran. KUK juga menjadi tempat berkumpulnya kelompok Islam Liberal dan bekas-bekas tapol G30S/PKI yang ateis dan Marxis.
(3) Kami menuntut agar dominasi KUK dalam bidang sastra harus diakhiri.
(4) Kami menuntut agar Goenawan Muhammad diusut.
(5) Kami menuntut agar Harian Kompas memecat Hasif Amini sebagai redaktur budaya dan diganti oleh Saut Situmorang yang jelas-jelas berprinsip "sastra untuk rakyat tertindas".
(6) Kami menuntut agar Koran Tempo memecat Nirwan Dewanto sebagai redaktur budaya dan diganti oleh sastrawan yang ditunjuk oleh Saut Situmorang serta DEWAN penandatangan Manifesto Ode Kampung.
(7) Kami menuntut agar jurnal Kalam dilarang terbit.
Bersama ini pula kami menyerukan apabila Polisi gagal bertindak, para seniman boemipoetera yang progresif mengambil alih areal Jalan Utan Kayu 6H, termasuk stasiun radio dan teater, dan membuang jauh-jauh buku-buku liberalisme dan marxisme-leninisme dari perpustakaannnya.
SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!!!
GARDA DEPAN PEMBEBASAN (Mudzakir H.S. Ketua & Elisia Purba, Sekretaris I)

Gimana setelah baca tuntutan ini teman-teman? Mengerikan kan? Main bubar, main pecat, main ambil alih dan main buang (he..he..he..kayak syair lagu dangdut Kucing Garong). Memangnya mereka ini siapa? Gimana kalau mereka megang negara ini ya? Tak terbayangkan deh diktatornya dan fasisnya mereka itu.. Kata Mariana Amiruddin, teman saya di Jurnal Perempuan, "gila nih orang. Orde Baru banget sih, pake bawa-bawa PKI segala. Gaya-gayanya persis kayak FBR or FPI yang bisanya main gertak. Indonesia mundur seribu langkah kalau begini terus."

Perhatikan kata-katanya, mereka cuma bisa menuntut dan menuntut, bukan bekerja, baca, berpikir, menulis dan berkarya untuk meruntuhkan dominasi (kalau memang ada dominasi) TUK. Mestinya mereka bersaing dong dengan karya, bukan minta bantuan polisi atau aparat pemerintah untuk membubarkan KUK. Duh, pegel!

Saya ingat ketika Jaringan Islam Liberal (JIL) dituntut untuk bubar dan diusir dari Utan Kayu. Saya dan teman-teman serta didukung banyak pihak melawan dan menghadapinya. Meski pihak mereka berbondong-bondong bawa pasukan dengan mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran, kami tidak takut karena kami juga punya Tuhan dan kebenaran kami. Bagi kami, tak ada seorang pun yang berhak membubarkan dan mengusir kami. Kami tak pernah melakukan onar, kejahatan kriminal dan kejahatan-kejahatan lain yang melanggar hukum. Kami, di JIL, pekerjaannya hanya membaca, berpikir, menulis, dan berkarya, memproduksi ide dan gagasan sesuai dengan kemampuan dan kebisaan kami. Apakah itu salah? Soal bahwa pemikiran kami dianggap berbeda, mestinya itu saja yang dicounter. Toh kami memakai forum yang terbuka. Mereka yang tidak setuju bisa melakukan cara-cara yang baik untuk mengekspresikan ketidak setujuannya. Lihat saja di toko buku, begitu banyak buku yang tidak setuju dan mengkritik JIL, begitu juga dikhutbah-khutbah Jumat atau pengajian. Kami pun diancam dibunuh lewat telepon atau sms. Respon kami? Kami tak pernah marah, mencak-mencak bahkan menyerang siapapun. Alhamdulillah, kami biasa-biasa aja tuh.

Begitu juga dengan Teater Utan Kayu dan KUK secara umum. Jadi buat yang tidak setuju dengan KUK atau TUK, pakailah cara-cara yang elegan dan berbudaya (maksudnya apa ya?). Berkaryalah! Seperti kata mas Goen (sapaan akrab Goenawan Mohamad) dalam tulisannya ketika meresponi orang-orang yang tidak setuju terhadap TUK: kalau cara mengkritiknya ke TUK seperti sekarang ini misalnya bikin majalah Boemipoetra yang bahasanya kacau balau dan vulgarnya ga karuan; nyebarin fitnah di milis-milis, ”maaf kami sekarang sedang sibuk bekerja dan berkarya.” saya membenarkan itu, Komunitas Utan Kayu itu memang ngga pernah sepi dari bekerja dan berkarya. Kalau ngga percaya, datanglah ke Utan Kayu. Hidup mas Goen!

Wednesday, September 5, 2007

Penghargaan

Duh, lama juga aku tak mengisi blogku ini. Malu rasanya dan terbebani juga bila blog ini isinya cuma itu-itu aja. Membosankan. Bukannya ngga mau ngisi, saking banyaknya yang mau aku ceritakan dan kutulis di blog ini malah jadinya tertunda-tunda terus. Karena kerjaanlah, ngurus anaklah, banyak ngelamun, banyak masalah tapi yang utama adalah malasnya itu loh. Padahal internet di kantor selalu on line.

Baiklah, aku mulai lagi nulis di blog ini dengan bercerita tentang Penghargaan Achmad Bakrie yang diselenggarakan 14 Agustus lalu. Basi memang, tapi ga apa-apa. Yang jelas Ahmad Sahal, yang sekarang lagi belajar di Upen Amrik, penasaran ingin tahu tentang acara ini. Abis katanya heboh sih karena Romo Magnis, teman baik sahal sekaligus masternya di STF, menolak menerima penghargaan itu.

Aku senang banget akhirnya Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2007 berjalan sukses. Di tengah ramainya sms yang memboikot acara ini, ternyata yang datang ke acara ini banyak juga. Yang menggembirakan lagi, teman-teman dekat pun yang tadinya aku anggap akan memboikot, ternyata hadir dan mengucapkan selamat. Duh, lega banget.

Awalnya, di internal Freedom Institute pun ada perdebatan apakah penyelenggaraan acara ini perlu diadakan atau nggak. Hal ini dikarenakan kami juga ingin mengikuti persepsi publik bahwa kami sensitif terhadap korban Lapindo. Tapi kami akhirnya memutuskan bahwa tradisi penghargaan harus diteruskan dan dilestarikan karena penghargaan ini tak ada kaitannya dengan soal korban Lapindo atau apapun. Meski tentu saja ada konsekuensinya yaitu kontroversi di sana sini. Bukankan hidup ini lebih indah dan menarik bila ada kontroversi? Aha! Itu pertanyaan yang tak releven sama sekali :-) sssttt...terus terang, pelajaran inilah yang aku dapatkan dalam menjalani hidup.

PAB tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang sudah ditulis di atas sebabnya adalah adanya kasus lumpur Sidoarjo yang melibatkan salah satu perusahaan Bakrie, PT. Lapindo. Freedom Institute dianggap terkait erat karena lembaga ini sejak awal didukung oleh Pak Aburizal Bakrie dan nama penghargaannya pun didedikasikan kepada (alm) Achmad Bakrie, ayahanda pak Aburizal.

Tak pelak, acara ini pun dilumpuri dengan isu Lapindo. Teman-teman aktivis yang pro korban menganggap Freedom Institute betul-betul tidak memihak dan sensitif terhadap korban. Secara pribadi aku menganggap pengaitan kasus lumpur Lapindo dan PAB Freedom Institute tidak relevan sama sekali. Buatku, penghargaan terhadap orang-orang berilmu harus terus kita lestarikan dan tradisikan. Apalagi kita tahu tradisi penghargaan untuk kalangan pemikir di Indonesia masih sangat langka. Alangkah sayangnya bila penghargaan ini harus dihentikan gara-gara kasus Lapindo. Tokh, kasus Lapindo pun sekarang ini sedang terus menerus dicarikan jalan keluar dan penyelesaian yang terbaik untuk para korban lumpur tersebut.

Bahkan Freedom Institute dan keluarga Bakrie ingin penghargaan ini terus diperluas ke pelbagai bidang ilmu. Makanya tahun ini ada penambahan 2 yaitu sains dan teknologi. Padahal awalnya cuma 2 kategori yaitu untuk pemikiran sosial dan kesusateraan, terus 2 tahun berikutnya ditambah untuk kedokteran.

Akhirnya, tak ada manusia yang sempurna, tapi kita selalu berusaha menuju ke kesempurnaan itu. Saya kira pak Aburizal dan keluarga pun seperti itu. Beliau memberikan hartanya untuk penghargaan ini dalam rangka menuju ke kesempurnaan itu. Kita tak bisa menolak niat baik dan kebaikan orang untuk melakukan pekerjaan yang mulia.

Terima kasih kepada mas Putu Wijaya yang luar biasa tegarnya ditengah gempuran sms-sms yang memintanya menolak penghargaan ini. Suatu keputusan yang sangat sulit untuknya dan aku selalu gelisah karena takut mas Putu tiba-tiba menolaknya. Kepada pak Jorga Ibrahim yang aku banyak belajar dari pengetahuan & kebijakannya, pak Sangkot Marzuki yang sangat sulit dihubungi dan kepada Pak Hasil Sembiring dari BB Padi yang telah mengajak wisata padi. Untuk Romo Magnis, aku juga salut dan sangat menghargai sikapnya. Kepada teman-teman semuanya di Freedom Institute, Bigguns, tim fotografer, dokter Priyo, dokter Agus, pak Sucipto serta timnya dan semua teman-teman yang hadir di acara PAB. Terima kasih banyak. Semoga penyelenggaraan PAB tahun depan akan semakin baik dan penghargaannya bertambah.

Thursday, June 14, 2007

Kangen Umi

Malam-malam ini aku sering didatangi Umi, panggilanku untuk ibuku, yang telah wafat 4 tahun lalu. Sebelum-sebelumnya, Umi sering datang menyapaku tapi tak sesering sekarang. Ia datang, membelai rambutku, mengecup keningku dan membesarkan hatiku. Memang selama ini, bila aku kangen dan merasa pusing dengan persoalanku, dia pasti datang dalam mimpiku. Aku ingat, ketika Umi masih hidup, permintaannya bila meninggal dan kemudian datang menyapaku, aku harus mengirim doa dan membaca surat Yasin untuknya. Aku selalu memenuhi permintaannya. Meski tanpa itupun, aku selalu mendoakan dan mengingatnya.

Kemarin aku berziarah di makamnya. Aku bersimpuh dan merasakan benar-benar kangen padanya. "Aku ingin menyusulmu, Umi..tapi sekarang anakmu punya tanggung jawab yang besar: harus membesarkan dan membahagiakan cucumu. Aku mohon dan berharap, dampingi aku terus meski secara fisik umi tak di sisiku. terima kasih selalu menengok dan menyapaku."

Aku yakin, Umi sudah bahagia di alam sana dan akan selalu hidup untukku. Allahummagfirlaha, warhamha... Umi, Nong kangen banget..

Friday, June 8, 2007

When They Say Your Husband is a Terrorist

This article about Rahayuningtyas. She is the wife of Arif Sunarso or Arismunandar alias Zulkarnaen alias Daud. Arif Sunarso is said to be a chief commander of the Jemaah Islamiyah (JI) and is one of the key suspects in the Bali bomb case who is still a fugitive to this day.

It is close to seven fifteen in the evening when I set out from the hotel with my husband and a friend who is a journalist. Our destination is a simple house located behind the Pondok Pesantren Al-Mukmin, an Islamic boarding school in Ngruki, Cemani, Sukoharjo Regency, Central Java. The fence gate is shut when I arrive at the house. Inside, I can see a woman praying. This house—right in front of the residence of Ustadz Wahyuddin, Assistant Director of the Al-Mukmin Ngruki boarding school—is the home of Rahayuningtyas, known to her friends as Ning. She is the wife of Arif Sunarso or Arismunandar alias Zulkarnaen alias Daud. Arif Sunarso is said to be a chief commander of the Jemaah Islamiyah (JI) and is one of the key suspects in the Bali bomb case who is still a fugitive to this day.

The house actually belongs to Ning’s mother, Ny. Aminah Sugiarti, a widow. Before Ning returned home to this house, she and Arif lived in rented houses and moved several times. No one from the house responds to my repeated knocking on the gate. It happens to be the time of shalat Isya (the Muslim evening prayer). A number of people who have just finished praying at the Mosque pass us by. Some of them take a moment to stop and greet us, asking, “Who are you looking for?” and I answer that I want to meet with Mbak Ning. Since the gate is not locked, I summon the courage to enter the yard and call out a greeting directly before the door to the house. The person who comes out is Ny. Aminah, a woman in her fifties. She greets us warmly and asks us to come in.

We enter the front room, which resembles a hall screened by a curtain of cloth with a brown floral motif. There is not a single table or chair in the space. The only piece of furniture is a small wardrobe with a mirror that is pressed against the wall. An ordinary motorcycle helmet lies on top of the wardrobe. My first impression upon entering the house is that it is has never been maintained or repaired. Nonetheless, the size of the house, which is wedged next to the girls’ dormitory of the Al Mukmin Ngruki boarding school, is reasonably large—covering at least eighty square meters and containing several rooms. Here and there, the plasterboard of the house looks broken down or perforated, as do some parts of the roof.

The interior walls are no longer clean; the white color of their paint has turned brown-ish. Luckily, not much of the surface has as yet peeled off. The single window of the house gapes open because its glass has been broken. In the living room, a gray carpet measuring no more than five square meters serves as a place for receiving guests. A space on the left side of the house, probably intended as a garage, appears badly neglected, decorated in dust and spider webs. The doors of the rooms have evidently never been painted, and they look very dim and dingy.

We chat briefly with Ny. Aminah, introducing ourselves, and I explain my reason for wanting to meet Ning. Then Ning herself comes in from an inner room, carrying a tray of water and cakes. She is accompanied by her two youngest children, Amaturrachim (five), and Abdurrachman (three). In fact, Ning and Arif have six children, three of whom—Abdullah (twelve), Yahya ( ten), and Amaturrachman (nine)—have been entrusted to the care of Arif’s parents in Gebang, Masaran, Sragen, Central Java, while the eldest, Maryam (fourteen) has been sent to stay with Ning’s older brother, Dr. Yusuf, in an Islamic boarding school in Bekasi. Ning, the third of four siblings, was born in Wonosobo, on 6 March 1969, of Ny. Aminah Sugiarti and the late Hasyim BA. Hasyim, an activist in the Komando Jihad (Konji) with Abdullah Sungkar, was imprisoned under Suharto’s New Order until the end of his life. His status was ambiguous: there never was a trial.

When I first see Ning, I am surprised. This is because, long before I came to this house, I had heard that Ning always wore the cadar (the full head-to-toe Islamic veil) and that she was a very introverted person. According a Tempo reporter some time before, she was only willing to receive journalists from behind a hijab, the gauze panel of the cadar that hides a woman’s face but allows her to see out. Because of that story, I had originally planned to wear a cadar myself. As it turned out, I could not find these clothes before my departure for Solo, and I am wearing only an ordinary long jilbab (Islamic head scarf)—and fortunately Ning is not wearing a cadar, just an ordinary jilbab; and she is willing to receive male visitors. Ning assents and has no objection when I propose that we talk together, in company, in the living room. I am here with my husband and a Tempo news correspondent (male) who came with me to Solo. Also present is Haris, Ning’s youngest sibling—a reserved and mysterious young man—and their mother, who intermittently jumps into the conversation and adds to Ning’s replies. I am struck by the smoothness of Ning’s face; wrapped in a white jilbab and lit by the beam of a 10 watt bulb, she looks fresh and bright for her thirty-two years. There is nothing in her appearance to suggest that she is facing serious problems: having a husband who ‘people say’ is a chief commander of JI which took an active role in the Bali bombing, and is, to date, a fugitive from the police. Her face is cheerful, and she continually laughs as she talks and answers my questions.

Because of these first impressions, I am moved to ask about Ning’s current circumstances of no longer wearing a cadar. I am curious to learn why she wore a cadar in the past, and then let it go. At first she is reluctant to reply. But finally she does answer. “I am already grown up, have six children and no longer feel beautiful. I don’t attract the attention of men the way I used to. Besides, I don’t want people to think I’m self-righteous [paling benar] by wearing a cadar. Because being self-righteous is evil. My experience when I wore a cadar was that people were afraid of me and didn’t want to talk to me.” But when she stopped wearing the cadar she could talk with her neighbors. In fact, for the last three months, she has been working as a teacher at one of the kindergartens in the Ngruki area. In this new environment, there is no one who knows that she is the wife of a JI command leader. “The only one who knows about my problems is the school principal, the one who hired me,” she says.

Stroking the heads of the two children who have begun to doze in her lap, she continues her story. “I started wearing a cadar when I was eighteen, when I was still a mustami’ (auditor or listener) at the Mu’alimat Pesantren Ngruki.” Ning tells me repeatedly that she has never received formal education except for elementary school. When she finished elementary school she entered the Pesantren Ngruki, which was behind her house, but only as an informal student.
“Coming back to the cadar,” I said, “were there any outside pressures, for example, in your environment?”
“No! Wearing a veil is a teaching and a rule from Allah that Muslim women must follow. Especially if her position is not that of a slave,” she says. She believes that in Islam, women are aurat [an Islamic concept for a part of the body that may not be exposed during a ritual; also a term for genitals] and, for this reason, must be covered and guarded. At first, she only wore a regular jilbab to cover her head, like others. She decided to wear the cadar when she returned home from Bandung, after meeting with some friends who wore cadars. She confesses that before she decided to adopt the cadar, she had to read many books to convince her to take this decision. What is more, Ning felt she was coming of age (akil baligh)–a time when many of the men she knew were proposing marriage to her. But strangely, she says, laughing, she chose Arif as a husband, someone she barely knew beforehand, a year after she began to wear the cadar. Indeed, after they married, her husband strongly supported her in continuing to wear the cadar.

Ning was introduced to Arif by her brother, Dr. Yusuf. It was in 1988: Arif came over to her brother’s house in Bekasi, just for a friendly visit. Ning happened to be there at the same time. Arif’s taciturn, simple and intelligent manner captured the interest of Yusuf’s wife, Dewi, in arranging a marriage between him and Ning. Her husband agreed with the idea. At last, Ning and Arif were brought together. The reason why Ning wanted to marry Arif, aside from her brother’s encouragement, was that she saw at once Arif’s character as a man who was clever and responsible. Two days later they were wed, in a menikah sirri ceremony in the home of Ning’s mother.

The word sirri comes from the Arabic word meaning ‘secret’. But it is widely understood in Indonesia to refer to a marriage that does not involve the officials of the Bureau of Religious Affairs (Kantor Urusan Agama), where Indonesians must register their marriages; in other words, a couple married in a sirri wedding do not register their marriage in the civil records. This kind of wedding is usually performed by individuals who come from the same group and are married directly by their imam (mosque leader) or each moslem’s community leaders. Or it is performed by a couple who do not wish to deal with the complications of the bureaucracy. From the perspective of the teachings of Islam, the sirri wedding is legal provided that there are two witnesses and the bride is married by a wali (a male who is legally responsible for her, usually her father or her relative). In the case of Ning and Arif, Ning was married by her brother, as her legal guardian; the witnesses were several teachers from the Pesantren Ngruki such as Ustadz Wahyuddin, who is now the director of the school. Their wedding was attended only by Ning’s family; Arif’s parents in Sragen were not advised of their son’s wedding at all. None of their neighbors was aware that they got married. Truly sirri...

Two days after the wedding, Ning’s adventures began. As Arif’s wife, she was always moving from place to place, following the rhythm of her husband’s livelihood as a trader. Wherever her husband went, Ning followed. Although Ning does not seem open to elaborating further, Ny. Aminah says that she never knew for certain where her daughter and son-in-law were. If she ever asked Arif about this when they dropped in to visit in Ngruki, his answer was always, “They are safe who live on God’s earth” (Mereka aman tinggal di Bumi Allah). Ny. Aminah knew about the lives of her daughter, son-in-law and grandchildren’s only through the letters Ning sent, postmarked from various places: Lampung, Batam, Sumatra, Malaysia, Riyadh, Jeddah, Kuwait, and even, once, Germany. Ning interrupts her mother. “That was just the postmark. I asked friends to mail the letters from those places. But I was still in Indonesia: in Lampung, Batam, Sumatra, Jakarta and most of all, East Java.”

I ask her why their whereabouts must be kept secret from her mother. Ning does not answer. She just explains that her husband had to make a living to support his family, selling Muslim clothing and scented oils in many different places. In Surabaya, she says, she had a small warung (street stall). As if to make this explanation more convincing, she adds, “My neighbors know about that. You can ask them, you know! (Bisa dicek kok!)” Now the warung has fallen to pieces, she says, because it was destroyed by officers looking for traces of her husband. Not a single family document was saved, including her children’s birth certificates. “Everything was lost,” she says softly.

As a wife facing allegations that her husband is a commando leader of Jemaah Islamiyah, a terrorist organization that is now a focus of worldwide attention, and that he is known by the name of Zulkarnaen, Ning is bewildered. Each time she hears these things, she says, she feels as if she is watching a cartoon film. Ning claims that she is not shocked or amazed. She says it’s like seeing and hearing a fantasy, a fictional reality like an animated film. She knows only that her husband did business. Her husband never told her anything about his outside activities. Arif is the quiet type of husband. Ning admits that as a family they often moved from place to place and that her husband often went away for long periods. As his wife, she could only obey and support whatever he was doing, including helping him in his trade. About her husband’s many aliases, Ning is evasive. She says that his real name is simply Arif; Sunarso was his name when he was a boy. The name ‘Zulkarnaen’ is a pen name of her eldest child, Maryam, who likes to write. ‘Zulkarnaen’ means a person who possesses the weapons of knowledge and religion (dien).

Today Ning does not know where her husband is; there has been no contact between them. She says that the last time she saw her husband was on the fourth or fifth day of the Muslim month of Syawal, at Lebaran in the year 2002. At the time Ning was at her brother’s place in Bekasi, because she had been sick throughout the fasting month. Arif visited her there. A policeman happened to come by, but because he did not know Arif’s face, Arif was not arrested. Ning also says that it was she who asked her husband to get away, because she had a premonition that her husband was going to be implicated in the Bali bombing case. “I dreamed there was someone being chased. In the dream the person’s face was not clearly visible. It was only after Arif left that it became clear that the one being chased was him,” she says. At first, her husband did not want to flee; he wanted to hold out with the family. Even when the Bali bombing case was at its height of public attention, they were able to make a round trip to Surabaya twice. Arif also managed to bring his three children to his parents in Sragen, Central Java because Ning was ill and needed intensive treatment in Jakarta.

Ning is not worried about her husband’s situation. She always remembers the message he left when he departed, “It is enough to have God as our protector, because He is the best protector possible” (Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, karena Dia sebaik-baiknya pelindung). Ning would also acquiesce if her husband were to marry again in his place of refuge. As a faithful Muslim, she accepts polygamy, because as she sees it, “I cannot forbid what is already permitted in the Koran.” She has also never blamed her husband for what he has done. Even if it is true that her husband did what the authorities have accused him of doing, and even if what he did is a violation in the eyes of the law, as far as Ning is concerned, her husband is carrying out a task that is holy and true according to the Qur’an and the Hadis [traditional collection of stories about the words and deeds of the Prophet and providing guidance on religious questions –Ed.].

Currently, Ning is able to take care of only her two youngest children, although it is her desire that all of her children to be raised and educated under her own guidance. Ning will educate her children in religious schools, like those she and her husband attended before them. For Ning, children are seeds. A mother must be able to nurture these seeds so that they may grow into human beings who can carry out God’s mandate to become caliph on earth (melaksanakan amanah Allah menjadi khalifah di bumi). But what are the twists of fate, conditions and problems that prevent her from creating a family that is whole? Her husband has gone, who knows where, and four of her children are not by her side. Closing this night of talk, Ning gently says, “Me, I feel as if I am sailing, cast ashore, left behind by my husband and children” (Saya ini seperti berlayar yang terdampar dengan ditinggal suami dan anak-anak.) Ning’s two children are by now fast asleep in her lap. I know there is much about her husband that Ning has left unsaid. There is still much I would like to ask, but the night is getting late. So I take my leave, carrying with me a warehouse full of mystery about the shared life of Ning and Arif: a couple forever wandering from place to place, carried by their conviction in one goal: to become a human being who can carry out the mandate of establishing the law of Islam on the face of this earth—even if it must be achieved by violent means and sacrifices that create victims because of that conviction.

Reference : Latitude July 2003

Wednesday, May 9, 2007

Terorisme dan Demokratisasi di Indonesia

Apa yang tersisa dari tragedi WTC 11 September 2001 dan rentetan pemboman yang terjadi di Indonesia? Jawabannya, terorisme! Siapa yang mengira, kalau Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam dan Islamnya dikenal sebagai Islam yang moderat dengan representasi ormas NU dan Muhamadiyah, ternyata sekarang dikenal sebagai sarang teroris. Dan ini sudah terbukti setelah tragedi Bali, tragedi terdahsyat yang dilakukan teroris setelah tragedi WTC 2001 dan beberapa peristiwa pemboman lainnya.

Tentu saja, rentetan pemboman ini merupakan pukulan yang dahsyat untuk Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indosesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di Indonesia.

Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting bila bisa menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Hal ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya bahkan cenderung menolak demokrasi.

Negara Muslim dan Demokrasi
HARUS diakui, di tengah arus meningkatnya jumlah rezim demokratis atau yang semakin demokratis pada akhir abad ke-20, kecenderungan melegakan itu tidak terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim. Negara-negara Muslim ini umumnya dianggap tidak memiliki pengalaman demokrasi yang memadai, dan, menurut Adrian Karatnycky, masih paling resisten terhadap penyebaran demokrasi (1999).

Hal ini terungkap, misalnya, dalam penelitian Bill Lidle dan Saiful Mujani pada tahun 1997/1998 terhadap seluruh (48) negara Muslim. Penelitian itu menemukan bahwa hanya tiga negara (Mali, Banglades, dan Siprus) atau 8,7 persen yang dapat dikategorikan demokratis. Sementara, negara semidemokratis cukup besar (sekitar 30 persen), termasuk Indonesia. Proporsi paling besar adalah otoritarianisme/ sultanisme, sekitar 60,9 persen. Selain itu, proporsi negara-negara Muslim yang mempunyai rezim paling represif di dunia sangat besar, lebih dari separuhnya (2000).

Namun, di balik kecenderungan ini, sebenarnya peran Islam dalam politik di negara-negara Muslim mulai mengalami perubahan secara signifikan sejak tahun 1970-an. Kelompok-kelompok Islam tidak lagi menjadi sekadar unsur reaktif dalam komunitas politik, namun mulai tampil sebagai sumber inisiatif bagi perkembangan dan perubahan politik. Gerakan-gerakan mereka menyuarakan aspirasi yang menghendaki partisipasi yang lebih besar dalam proses politik dan terwujudnya masyarakat yang lebih islami.

Yang mengejutkan, dalam menghadapi tantangan bagaimana menerapkan konsep dan struktur Islam ke dalam realitas sosial-politik modern yang terpengaruh Barat, gerakan demokratisasi di dunia Islam berlangsung dalam kerangka sistem negara yang sudah ada (kecuali kasus revolusi Islam Iran). Sehingga aspirasi ganda itu, Islamisasi dan demokratisasi, membentuk kerangka bagi hampir seluruh isu penting di dunia Islam dewasa ini (Esposito & Voll:1999).

Kecenderungan ini menempatkan negara-negara Muslim menjadi arena perbincangan yang paling menggairahkan mengenai tema-tema demokrasi, termasuk di Indonesia. Para cendekiawan Muslim bergerak aktif dalam banyak kelompok dan organisasi yang menuntut demokratisasi, dan sering menyatakan, ciri utama gerakan politik Islam adalah karakter demokratis dan pluralis mereka. Mereka lazimnya berpendapat, demokrasi adalah sebuah ide universal. Tidak ada versi demokrasi yang khas Islam, meski nilai dan prinsip Islam amat mendukung gagasan universal tentang demokrasi. Dari perspektif perbandingan, kedalaman dan keluasan keterlibatan Muslim dengan literatur mengenai demokrasi dan modernitas itu amat luar biasa. Sejak akhir tahun 1980-an, negara-negara Muslim menjadi tempat utama bagi perdebatan yang hidup mengenai demokrasi dan gagasan-gagasan pluralisme.

Terorisme menjadi Isu Utama
Namun, disadari atau tidak, belakangan ini telah terjadi pergeseran besar dalam wacana politik di Indonesia. Jika selama dua dasawarsa lalu isu demokrasi dan seluruh turunannya seperti hak asasi manusia, civil society, pluralisme, dan penghargaan terhadap kelompok minoritas menjadi topik utama dalam hampir setiap forum dan karya akademik, trend ini telah digantikan oleh isu terorisme. Pergeseran ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kampanye besar-besaran politik luar negeri Amerika Serikat (AS) untuk memerangi terorisme (war on terrorism).

Persoalannya adalah, isu terorisme ini menempatkan negara-negara Muslim pada posisi yang tidak mudah, termasuk Indonesia, terutama dalam kerangka proses demokratisasi.

Pertama, pada tataran wacana, perbincangan mengenai tema-tema demokrasi mengalami stagnasi. Padahal, untuk mengukuhkan proses demokratisasi, perbincangan dan perdebatan di ruang publik amat dibutuhkan untuk mengontestasi pemikiran dan alternatif pemikiran guna menemukan tata cara, prosedur, dan nilai-nilai demokrasi. Hal ini menjadi penting dalam rangka melakukan penataan seluruh perangkat yang menyokong sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Sayang, saat ini perdebatan seperti itu relatif telah terhenti dan diganti isu terorisme yang tak banyak memberi manfaat bagi proses demokratisasi.

Kedua, kampanye perang terhadap terorisme menimbulkan kesulitan bagi pemerintah Indonesia untuk menyusun kebijakan politik dalam negeri. Dalam tataran ide, pemerintah setuju dengan kampanye itu, karena terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak identik dengan negara dan agama tertentu, sehingga terorisme menjadi musuh bersama semua negara. Namun, karena sejak awal terbangun citra, terorisme terkait erat dengan Islam radikal (dan ini tidak lepas dari kampanye AS), maka banyak pemerintah negara-negara Islam mengalami kesulitan menentukan kebijakan terhadap kalangan Muslim.

Kesulitan ini terjadi karena negara-negara Muslim memiliki ketergantungan amat besar di bidang ekonomi, politik, dan militer terhadap AS. Sementara, pemerintah negara-negara Muslim juga tidak mungkin begitu saja mengabaikan kekuatan politik Muslim domestik dan bersedia menuruti kehendak AS untuk memerangi kelompok-kelompok Islam radikal di dalam negeri. Karena, kekuatan politik Muslim di negara-negara itu cukup kuat meski tidak selalu menentukan. Akibatnya, muncul beragam tindakan yang berbeda di masing-masing negara, khususnya Asia Tenggara.

Ketiga, isu terorisme telah menjadikan isu-isu tentang kelompok minoritas Muslim di banyak negara non-Muslim menjadi terabaikan. Beberapa rezim seolah menjadi pembonceng gratisan (free rider) dan menggunakan isu terorisme untuk menekan kaum minoritas Muslim. Misalnya, Vladimir Putin seolah mendapat pembenaran untuk menghancurkan kaum Muslim di Chechnya. Israel seolah mendapat alasan bahwa yang mereka lawan bukan sebuah bangsa Palestina yang menuntut hak, tetapi perang melawan kaum Muslim teroris. Demikian juga yang terjadi di Xinjiang, Cina; di Moro, Filipina; dan di Singapura.

Memang, di negara-negara itu konflik yang melibatkan kaum minoritas Muslim telah terjadi sejak lama. Namun, konflik itu menjadi berbeda ketika Pemerintah AS bersedia memberi bantuan keuangan dan militer untuk memerangi terorisme. Dalam hal ini, AS tidak lagi menekankan isu-isu demokratisasi dan HAM sebagai landasan kebijakan politik luar negerinya.

Keempat, isu terorisme seakan dijadikan alasan pembenaran bagi beberapa rezim untuk memberlakukan undang-undang yang cenderung antidemokrasi. Misalnya, Pemerintah Malaysia (dan Singapura) menggunakan Internal Security Act untuk menangkap beberapa aktivis Islam garis keras. Juga Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.

Pemberlakuan undang-undang seperti ini dikhawatirkan akan mematikan kebebasan pers dan kebebasan publik karena rezim biasanya mempunyai tafsir resmi yang monopolistik tentang siapa saja dan tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai teroris dan terorisme. Tafsir resmi seperti ini, jika disalahgunakan, akan dapat dipergunakan untuk menangkap para aktivis gerakan mahasiswa, kelompok oposisi, cendekiawan kritis, aktivis Muslim, dan siapa saja yang dianggap oleh rezim dapat mengganggu stabilitas negara.

Kelima, isu terorisme menjadi semacam undangan menarik bagi militer untuk masuk dan bermain dalam wilayah politik. Dalam hal ini, pemberlakuan undang-undang antiteroris memberi kesempatan kepada militer sebagai satu-satunya kekuatan politik domestik yang dapat diandalkan untuk menanggulangi terorisme, karena militer memiliki kekuatan senjata dan keterampilan tempur.

Sebenarnya, dilema demokratisasi di dunia Muslim ini tidak akan makin berlarut jika dilakukan dua hal.

Pertama, harus dibedakan antara terorisme dan radikalisme karena perlakuan terhadap keduanya berbeda. Terorisme harus diperangi dan dibasmi karena mengganggu keamanan dan stabilitas politik. Sedangkan radikalisme (agama) cukup dihadapi dengan penegakan hukum karena menyangkut pemahaman keagamaan tertentu yang diekspresikan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok yang memiliki pemahaman berbeda.

Kedua, AS seharusnya dapat mendudukkan persoalan secara proporsional saat menggalang semua kekuatan internasional untuk mendukung kebijakannya memerangi terorisme. Orang akan sulit memahami keterkaitan antara perang melawan terorisme dengan serangan AS ke Irak. Perang melawan terorisme pasti diamini semua negara, tetapi serangan ke Irak sampai saat ini hanya tinggal Inggris yang mendukung. Demikian juga dengan kebijakan Pemerintah AS yang memperlama pengurusan visa bagi penduduk negara-negara Muslim. Dalam hal ini, AS tidak mampu merumuskan secara tepat pemahaman tentang terorisme dalam bentuk kebijakan operasional.

Sangat disayangkan jika proses demokratisasi di dunia Islam khususnya Indonesia tidak berlangsung secara meyakinkan hanya karena isu terorisme yang kini menjadi satu-satunya isu politik global. Padahal, jika demokratisasi ini berlangsung mulus, kita akan menyaksikan sebuah tatanan politik global yang berkeadaban, dan tentu saja sangat mengesankan.

** Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Program of Global Youth Exchange, Japan Government, Japan, Februari 2003. Lihat tulisan terkait : Terorisme dan Islam Warna Warni

Friday, April 27, 2007

Surga Kartini

Dalam tulisan ini saya mencoba memunculkan kembali pemikiran keagamaan Kartini yang, menurut saya, sangat liberal. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus tentang pemikiran keagamaan Kartini. Yang paling bagus adalah buku TH. Sumartana tentang Agama dan Iman menurut Kartini. Saya bangga, merasa terwakili dan sangat terinspirasi bila membaca pergolakannya yang ia ungkapkan lewat surat-surat tentang Tuhan, surga, neraka, takdir, dan bagaimana ia berislam.

Di tengah kesepiannya dalam pingitan, pandangan-pandangan dia tentang tema-tema keagamaan itu begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted. Baginya berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Sehingga doktrin dan ritual diwariskan begitu saja.

Namun jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, “tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: Mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?’” Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga ‘sesuatu’ yang menurutnya tak dia pahami dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia mengerti. Kata Kartini, “jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap–kami merasa kegelapan–tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”(Surat, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon)

Sikap keislaman seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Meski ia diperlakukan tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, namun pandangan dia tentang Tuhan sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan seperti saya, yang kadang menggugat Tuhan karena menciptakan saya berjenis kelamin perempuan. Kartini melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif.

Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurutnya bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menerus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari. Makanya tak heran, meski dia dikungkung, namun pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melaui tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia.

Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik dibanding metafisik. Kata Kartini, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia.”

Saya sepenuhnya setuju dengan pandangan Kartini ini. Buat saya, surga dan neraka ada di dunia, di diri kita. Dengan mencipta surga di dunia, kita mendapat motivasi yang luar biasa menjalani hidup ini, sesulit apapun, seperti hidup yang dialami Kartini. Meski ia hidup di era feodalisme jawa yang sangat kuat, yang mengagungkan superioritas laki-laki, yang tak memberi tempat dan kebebasan untuk perempuan, tapi ia masih bisa mencipta pemikiran-pemikiran cerdas yang tak akan pernah tuntas dikupas sepanjang masa. Kita tahu, di dunia nyata, mungkin hidup Kartini bagai di neraka: dipingit, tak bisa sekolah, dipoligami, tak ada kebebasan dll. Namun di dunia ide dan cita-cita, Kartini telah menemukan surganya.

Reference : www.islamlib.com, 30 April 2007

Friday, April 20, 2007

Membangun Fikih yang Pro-Perempuan

Judul Buku: Hal-hal yang tak terpikirkan
tentang isu-isu Keperempuanan dalam Islam

Penulis: Syafiq Hasyim
Penerbit: Mizan, Februari 2001

Judul Buku: Fiqh Perempuan
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

Penulis: KH. Husein Muhammad
Pengantar: KH. MA. Sahal Mahfudh
Dr. Andree Feillard
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir, M.A.
Penerbit: Rahima, LKiS, The Ford Foundation; April 2001

Kedua buku ini mencoba membicarakan problematik posisi perempuan dalam Islam. Selama ini sebagian ulama dianggap cenderung menafsirkan hadis yang merugikan perempuan sehingga terbentuk "fikih patriarki".

BENARKAH seorang perempuan tak boleh menjadi pemimpin negara? Kontroversi tentang apakah seorang perempuan boleh menjadi pemimpin negara masih saja terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Masih hangat dalam ingatan kita saat Megawati mencuat namanya sebagai calon presiden. Padahal, sebagai ketua partai yang menang di Pemilu 1999, mestinya ia memperoleh posisi itu. Namun, yang terjadi adalah penolakan yang keras, khususnya dari kalangan Islam. Bukti dari penolakan itu misalnya deras bertebaran selebaran dalil-dalil Alquran dan hadis yang mengharamkan perempuan menjadi presiden. Mereka memunculkan kembali hadis-hadis dan cerita-cerita masa lalu tentang jeleknya bila perempuan menjadi presiden. Umat tersedot untuk meyakini bahwa perempuan memang tak pantas dan tak layak menjadi pemimpin negara. Tak hanya itu. Di kalangan parlemen, politisi muslim yang tergabung dalam Poros Tengah membangun aliansi kekuatan menolak perempuan menjadi presiden. Istilah ABM (asal bukan Mega) kemudian menjadi populer hingga akhirnya Megawati kandas menjadi presiden.

Halal atau haramnya perempuan menjadi pemimpin adalah perdebatan kalangan ulama sejak dulu. Ini disebabkan oleh perbedaan para ulama dalam menafsirkan Alquran. Sayangnya, dari dulu sampai saat ini, penafsiran Alquran didominasi oleh cara pandang laki-laki, yang akhirnya lebih menguntungkan kepentingan laki-laki dan merugikan perempuan. Begitu juga dengan hadis, yang menjadi sumber ajaran kedua setelah Alquran. Yang dimunculkan sebagian ulama adalah hadis-hadis yang misoginis (hadis yang merendahkan perempuan).

Bangunan dan hasil pemikiran atau ijtihad para ulama klasik terhadap penafsiran Alquran dan hadis atau biasa disebut fikih menjadi landasan legal-formal umat Islam dalam beribadah dan berkehidupan sosial. Dalam fikih itulah semua kehidupan umat Islam diatur, dari kehidupan pribadi seperti nikah, puasa, zakat, salat, dan khitan, hingga kehidupan sosial dan politik. Akibat dari kecenderungan menafsirkan Alquran oleh sebagian ulama yang didominasi laki-laki, dan hadis yang diambil adalah hadis-hadis misoginis—meminjam istilah Syafiq Hasyim—fikih menjadi fikih patriarki.

Karena itulah dua buku yang masing-masing berjudul Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam karya Syafiq Hasyim dan Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender karya K.H. Husein Muhammad mencoba memunculkan kembali dan mengkritik persoalan-persoalan perempuan yang selama ini "tak terpikirkan" yang tertuang dalam fikih. Biasanya kritik atau dekonstruksi terhadap persoalan perempuan langsung menukik pada persoalan teologi, seperti yang sudah dikerjakan oleh Rifaat Hasan, pemikir perempuan Islam asal Pakistan. Padahal, fikih selama ini tidak lagi dipandang sebagai kerja intelektual yang memiliki kenisbian kebenaran dan kontekstual serta memiliki makna substansial dan rasional yang dikembangkan, tapi telah menjadi agama dengan kesakralan dan keabadian maknanya (Husein: hlm. xxiv).

Karena kesakralan dan keabadiannya itu, umat Islam tidak berani mengutak-atik rumusan fikih itu dan bersikap nrimo saja. Padahal, banyak persoalan perempuan dalam fikih, seperti yang ditunjukkan oleh dua penulis dalam dua buku ini, yang melakukan distorsi pesan-pesan kearifan dan kerahmatan agama. Pesan dan rahmat agama itu sebenarnya memperlihatkan kepada umatnya makna-makna humanitas universal dan ajaran-ajaran agama yang memberi makna humanitas kontekstual.

K.H. Husein, misalnya, mencontohkan tentang kepemimpinan perempuan dalam sebuah negara. Dalam fikih, hampir semua sepakat bahwa kepemimpinan perempuan tidak dibolehkan. Ini merujuk pada QS An-Nisa: 34, bahwa "Laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain." Posisi laki-laki dalam ayat ini sangat superior karena kata qawwam dan melebihkan. Kalangan mufasir seperti Ar-Razi, Ibnu Katsir, dan az-Zamakhsyari berpendapat superioritas laki-laki di situ mutlak adanya. Ar-Razi dalam tafsirnya, At-Tafsir al-Kabir, juz X 88, mengatakan kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan, pikiran, akal (al-'ilm) dan kemampuan (al-qudrah). Artinya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna dibandingkan dengan perempuan.

Menurut K.H. Husein, semua superioritas yang dimutlakkan tadi kini tak dapat dipertahankan lagi. Ini bukan saja karena hal itu dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial telah membantahnya. Sekarang, telah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan melakukan peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik laki-laki. Karena itu, karakteristik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa, melainkan merupakan produk dari sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis. Apalagi Alquran telah merekam kepemimpinan perempuan dalam cerita Ratu Balqis yang sukses secara gemilang memerintah negerinya, Saba' (Husein: 21).

Banyak hal menarik yang akan kita dapatkan dalam kedua buku ini. Pertanyaan yang cukup sensitif antara lain mengenai boleh-tidaknya perempuan menjadi imam di tengah makmum lelaki, boleh-tidaknya perempuan berazan di masjid seperti layaknya laki-laki, tentang khitan perempuan, batasan aurat, dan pemakaian jilbab. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan kita temukan di kedua buku ini.

Dalam buku Syafiq, kita akan menemukan berbagai macam pendapat dari kalangan ulama tradisional sampai pemikir Islam modern. Dalam setiap bab, dengan sistematis meski tidak begitu dalam, Syafiq merunut tokoh demi tokoh untuk menjelaskan setiap persoalan perempuan secara tematis dan historis. Dalam penutup tulisannya, Syafiq memberikan alternatif cara membaca fikih yang membebaskan, bukan fikih patriarki, yakni dengan meminjam metode aliran filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure, yaitu tazamuni (sinkroni) dan istqathi (diakroni). Dan Syafiq lebih memilih cara baca istqathi karena cara baca model itu, khususnya dalam konteks fikih, menggunakan makna-makna yang dikandung oleh teks-teks fikih masa lalu sebagai pengetahuan sejarah makna, bukan sebagai pengikat makna. Cara baca seperti itu diharapkan akan mengembangkan makna-makna teks fikih yang sesuai dengan kebutuhan sekarang, bukan kebutuhan masa lalu (Hasyim: 266).

Sementara itu, dalam buku K.H. Hussein, kita akan menemukan pergulatan dirinya sebagai kiai pesantren yang terganggu karena "agama" menjadi salah satu faktor penyebab ketidakadilan terhadap perempuan. Dengan bahasa pesantren yang menjadi gaya tulisannya ini, K.H. Husein mencoba membentuk sebuah pemikiran yang cukup utuh dan sistematis mengenai fikih perempuan dalam perspektif keadilan gender. Menariknya, buku ini disusun ala sistematik tematis fikih klasik: fikih ibadah, fikih pernikahan, sosial kemasyarakatan. Sebagai orang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning yang cukup kuat, K.H. Husein mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis.

Dua buku ini merupakan karya yang saling melengkapi dan memperkaya wacana Islam dalam kajian fikih. Pemikiran dan pendapat yang diulas di dalamnya memberikan nuansa dan masukan baru untuk ritual-ritual yang biasa dilakukan umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk sebuah awal, apalagi untuk Indonesia, kedua buku ini cukup berhasil membangun fikih yang pro-perempuan.

Reference: Majalan TEMPO NO. 22/XXX/30 Juli - 5 Agustus 2001