Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Friday, April 27, 2007

Surga Kartini

Dalam tulisan ini saya mencoba memunculkan kembali pemikiran keagamaan Kartini yang, menurut saya, sangat liberal. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus tentang pemikiran keagamaan Kartini. Yang paling bagus adalah buku TH. Sumartana tentang Agama dan Iman menurut Kartini. Saya bangga, merasa terwakili dan sangat terinspirasi bila membaca pergolakannya yang ia ungkapkan lewat surat-surat tentang Tuhan, surga, neraka, takdir, dan bagaimana ia berislam.

Di tengah kesepiannya dalam pingitan, pandangan-pandangan dia tentang tema-tema keagamaan itu begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted. Baginya berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Sehingga doktrin dan ritual diwariskan begitu saja.

Namun jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, “tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: Mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?’” Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga ‘sesuatu’ yang menurutnya tak dia pahami dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia mengerti. Kata Kartini, “jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap–kami merasa kegelapan–tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”(Surat, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon)

Sikap keislaman seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Meski ia diperlakukan tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, namun pandangan dia tentang Tuhan sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan seperti saya, yang kadang menggugat Tuhan karena menciptakan saya berjenis kelamin perempuan. Kartini melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif.

Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurutnya bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menerus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari. Makanya tak heran, meski dia dikungkung, namun pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melaui tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia.

Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik dibanding metafisik. Kata Kartini, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia.”

Saya sepenuhnya setuju dengan pandangan Kartini ini. Buat saya, surga dan neraka ada di dunia, di diri kita. Dengan mencipta surga di dunia, kita mendapat motivasi yang luar biasa menjalani hidup ini, sesulit apapun, seperti hidup yang dialami Kartini. Meski ia hidup di era feodalisme jawa yang sangat kuat, yang mengagungkan superioritas laki-laki, yang tak memberi tempat dan kebebasan untuk perempuan, tapi ia masih bisa mencipta pemikiran-pemikiran cerdas yang tak akan pernah tuntas dikupas sepanjang masa. Kita tahu, di dunia nyata, mungkin hidup Kartini bagai di neraka: dipingit, tak bisa sekolah, dipoligami, tak ada kebebasan dll. Namun di dunia ide dan cita-cita, Kartini telah menemukan surganya.

Reference : www.islamlib.com, 30 April 2007

Friday, April 20, 2007

Membangun Fikih yang Pro-Perempuan

Judul Buku: Hal-hal yang tak terpikirkan
tentang isu-isu Keperempuanan dalam Islam

Penulis: Syafiq Hasyim
Penerbit: Mizan, Februari 2001

Judul Buku: Fiqh Perempuan
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

Penulis: KH. Husein Muhammad
Pengantar: KH. MA. Sahal Mahfudh
Dr. Andree Feillard
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir, M.A.
Penerbit: Rahima, LKiS, The Ford Foundation; April 2001

Kedua buku ini mencoba membicarakan problematik posisi perempuan dalam Islam. Selama ini sebagian ulama dianggap cenderung menafsirkan hadis yang merugikan perempuan sehingga terbentuk "fikih patriarki".

BENARKAH seorang perempuan tak boleh menjadi pemimpin negara? Kontroversi tentang apakah seorang perempuan boleh menjadi pemimpin negara masih saja terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Masih hangat dalam ingatan kita saat Megawati mencuat namanya sebagai calon presiden. Padahal, sebagai ketua partai yang menang di Pemilu 1999, mestinya ia memperoleh posisi itu. Namun, yang terjadi adalah penolakan yang keras, khususnya dari kalangan Islam. Bukti dari penolakan itu misalnya deras bertebaran selebaran dalil-dalil Alquran dan hadis yang mengharamkan perempuan menjadi presiden. Mereka memunculkan kembali hadis-hadis dan cerita-cerita masa lalu tentang jeleknya bila perempuan menjadi presiden. Umat tersedot untuk meyakini bahwa perempuan memang tak pantas dan tak layak menjadi pemimpin negara. Tak hanya itu. Di kalangan parlemen, politisi muslim yang tergabung dalam Poros Tengah membangun aliansi kekuatan menolak perempuan menjadi presiden. Istilah ABM (asal bukan Mega) kemudian menjadi populer hingga akhirnya Megawati kandas menjadi presiden.

Halal atau haramnya perempuan menjadi pemimpin adalah perdebatan kalangan ulama sejak dulu. Ini disebabkan oleh perbedaan para ulama dalam menafsirkan Alquran. Sayangnya, dari dulu sampai saat ini, penafsiran Alquran didominasi oleh cara pandang laki-laki, yang akhirnya lebih menguntungkan kepentingan laki-laki dan merugikan perempuan. Begitu juga dengan hadis, yang menjadi sumber ajaran kedua setelah Alquran. Yang dimunculkan sebagian ulama adalah hadis-hadis yang misoginis (hadis yang merendahkan perempuan).

Bangunan dan hasil pemikiran atau ijtihad para ulama klasik terhadap penafsiran Alquran dan hadis atau biasa disebut fikih menjadi landasan legal-formal umat Islam dalam beribadah dan berkehidupan sosial. Dalam fikih itulah semua kehidupan umat Islam diatur, dari kehidupan pribadi seperti nikah, puasa, zakat, salat, dan khitan, hingga kehidupan sosial dan politik. Akibat dari kecenderungan menafsirkan Alquran oleh sebagian ulama yang didominasi laki-laki, dan hadis yang diambil adalah hadis-hadis misoginis—meminjam istilah Syafiq Hasyim—fikih menjadi fikih patriarki.

Karena itulah dua buku yang masing-masing berjudul Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam karya Syafiq Hasyim dan Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender karya K.H. Husein Muhammad mencoba memunculkan kembali dan mengkritik persoalan-persoalan perempuan yang selama ini "tak terpikirkan" yang tertuang dalam fikih. Biasanya kritik atau dekonstruksi terhadap persoalan perempuan langsung menukik pada persoalan teologi, seperti yang sudah dikerjakan oleh Rifaat Hasan, pemikir perempuan Islam asal Pakistan. Padahal, fikih selama ini tidak lagi dipandang sebagai kerja intelektual yang memiliki kenisbian kebenaran dan kontekstual serta memiliki makna substansial dan rasional yang dikembangkan, tapi telah menjadi agama dengan kesakralan dan keabadian maknanya (Husein: hlm. xxiv).

Karena kesakralan dan keabadiannya itu, umat Islam tidak berani mengutak-atik rumusan fikih itu dan bersikap nrimo saja. Padahal, banyak persoalan perempuan dalam fikih, seperti yang ditunjukkan oleh dua penulis dalam dua buku ini, yang melakukan distorsi pesan-pesan kearifan dan kerahmatan agama. Pesan dan rahmat agama itu sebenarnya memperlihatkan kepada umatnya makna-makna humanitas universal dan ajaran-ajaran agama yang memberi makna humanitas kontekstual.

K.H. Husein, misalnya, mencontohkan tentang kepemimpinan perempuan dalam sebuah negara. Dalam fikih, hampir semua sepakat bahwa kepemimpinan perempuan tidak dibolehkan. Ini merujuk pada QS An-Nisa: 34, bahwa "Laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain." Posisi laki-laki dalam ayat ini sangat superior karena kata qawwam dan melebihkan. Kalangan mufasir seperti Ar-Razi, Ibnu Katsir, dan az-Zamakhsyari berpendapat superioritas laki-laki di situ mutlak adanya. Ar-Razi dalam tafsirnya, At-Tafsir al-Kabir, juz X 88, mengatakan kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan, pikiran, akal (al-'ilm) dan kemampuan (al-qudrah). Artinya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna dibandingkan dengan perempuan.

Menurut K.H. Husein, semua superioritas yang dimutlakkan tadi kini tak dapat dipertahankan lagi. Ini bukan saja karena hal itu dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial telah membantahnya. Sekarang, telah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan melakukan peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik laki-laki. Karena itu, karakteristik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa, melainkan merupakan produk dari sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis. Apalagi Alquran telah merekam kepemimpinan perempuan dalam cerita Ratu Balqis yang sukses secara gemilang memerintah negerinya, Saba' (Husein: 21).

Banyak hal menarik yang akan kita dapatkan dalam kedua buku ini. Pertanyaan yang cukup sensitif antara lain mengenai boleh-tidaknya perempuan menjadi imam di tengah makmum lelaki, boleh-tidaknya perempuan berazan di masjid seperti layaknya laki-laki, tentang khitan perempuan, batasan aurat, dan pemakaian jilbab. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan kita temukan di kedua buku ini.

Dalam buku Syafiq, kita akan menemukan berbagai macam pendapat dari kalangan ulama tradisional sampai pemikir Islam modern. Dalam setiap bab, dengan sistematis meski tidak begitu dalam, Syafiq merunut tokoh demi tokoh untuk menjelaskan setiap persoalan perempuan secara tematis dan historis. Dalam penutup tulisannya, Syafiq memberikan alternatif cara membaca fikih yang membebaskan, bukan fikih patriarki, yakni dengan meminjam metode aliran filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure, yaitu tazamuni (sinkroni) dan istqathi (diakroni). Dan Syafiq lebih memilih cara baca istqathi karena cara baca model itu, khususnya dalam konteks fikih, menggunakan makna-makna yang dikandung oleh teks-teks fikih masa lalu sebagai pengetahuan sejarah makna, bukan sebagai pengikat makna. Cara baca seperti itu diharapkan akan mengembangkan makna-makna teks fikih yang sesuai dengan kebutuhan sekarang, bukan kebutuhan masa lalu (Hasyim: 266).

Sementara itu, dalam buku K.H. Hussein, kita akan menemukan pergulatan dirinya sebagai kiai pesantren yang terganggu karena "agama" menjadi salah satu faktor penyebab ketidakadilan terhadap perempuan. Dengan bahasa pesantren yang menjadi gaya tulisannya ini, K.H. Husein mencoba membentuk sebuah pemikiran yang cukup utuh dan sistematis mengenai fikih perempuan dalam perspektif keadilan gender. Menariknya, buku ini disusun ala sistematik tematis fikih klasik: fikih ibadah, fikih pernikahan, sosial kemasyarakatan. Sebagai orang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning yang cukup kuat, K.H. Husein mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis.

Dua buku ini merupakan karya yang saling melengkapi dan memperkaya wacana Islam dalam kajian fikih. Pemikiran dan pendapat yang diulas di dalamnya memberikan nuansa dan masukan baru untuk ritual-ritual yang biasa dilakukan umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk sebuah awal, apalagi untuk Indonesia, kedua buku ini cukup berhasil membangun fikih yang pro-perempuan.

Reference: Majalan TEMPO NO. 22/XXX/30 Juli - 5 Agustus 2001

Sunday, April 8, 2007

Peraturan Daerah Syariat dan Perempuan

Di tengah trend peraturan daerah (perda) syariat saat ini yang terjadi di pelbagai daerah, tema perempuan kaitannya dengan syariat Islam seakan tak bisa dipisahkan. Berbicara tentang syariat Islam maka sebenarnya berbicara tentang pengaturan perempuan. Coba kita perhatikan, tak ada satu pun aturan dalam perda-perda tersebut yang tak mengatur tentang perempuan: bagaimana perempuan berpakaian, bersikap dan berperan. Karenanya saya sepakat dengan Muslim Abdurrahman dalam wawancaranya beberapa tahun lalu di website islamlib.com bahwa yang menjadi korban pertama penerapan syariat Islam adalah perempuan.

Di Indonesia, trend di atas bisa dibilang masih baru. Saya bersyukur menjadi perempuan Islam Indonesia. Terlepas dari tradisi Islam, peranan perempuan di Indonesia lebih maju dibanding negara-negara Islam. Kalau kita melihat di negara-negara yang berdasar Islam, nasib perempuan sangat memprihatinkan. Perempuan diperlakukan seperti mahluk yang lemah dan tak mempunyai akal pikiran; mahluk yang harus diatur, diarahkan dan berbahaya. Kita bisa baca pengalaman perempuan-perempuan di bawah rezim Taliban yang runtuh beberapa tahun lalu. Begitu juga di negara Arab Saudi atau Kuwait dan negara Arab lainnya. Perempuan benar-benar tidak dianggap sebagai manusia yang utuh, yang mempunyai kebebasan, pilihan, akal pikiran dan lainnya.

Pertanyaannya, benarkah perempuan dalam Islam seperti yang tercermin dalam dalam negara-negara Islam itu? Bagaimana sebenarnya Islam memosisikan perempuan?

Sebagai perempuan yang dilahirkan dari orang tua yang beragama & bertradisi Islam dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang saya peluk, tentu saya ”terganggu” dengan pemahaman Islam seperti ini. Saya tak percaya kalau agama yang saya anut mendiskriminasikan jenis kelamin saya, perempuan. Karena saya percaya tidak mungkin Allah, sang pencipta, menciptakan manusia (laki-laki & perempuan) dan kemudian bersikap tidak adil pada salah satu ciptaannya. Atas dasar itulah, saya mulai menelusuri literatur yang berkaitan tentang tema perempuan dalam Islam.

Ternyata yang saya jumpai dalam Islam, perempuan menempati posisi sangat istimewa. Apalagi kalau kita memahami bagaimana era sebelum Islam. Islam diturunkan di saat kondisi sosial sedang mengalami era kegelapan (jahiliyah) khususnya kepada perempuan. Saat itu, laki-laki memang segala-galanya, inilah yang disebut dengan sistem patriarkhi. Tidak ada penghargaan sama sekali pada perempuan. Dalam tradisi jahiliyah, terdapat tradisi menanam anak perempuan hidup-hidup (wa'du al-banât), anak perempuan tidak berhak menerima warisan bahkan sebaliknya anak perempuan seperti benda yang bisa diwariskan.

Poligami juga menjadi bagian tradisi jahiliyah itu. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, ketika Ghilan bin Salamah al-Tsaqafi masuk Islam dia memiliki istri lebih dari sepuluh. Seorang sahabat lain, Qays bin al-Harits al-Asadi memiliki delapan istri. Rasulullah Saw memerintahkannya mereka berdua untuk memilih dari istri-istrinya empat orang dan menceraikan sisanya. Ketika Rasulullah Saw ditinggal istri tercintanya, Khadijah, Khulah bint Salimah al-Hakim menga¬jukan dua calon istri sekaligus, sebagai pengganti Khadijah, yaitu, Aisyah bint Abi Bakr dan Saudah bint Zam'ah. Dari “penawaran” ini menunjukkan poligami sudah bagian dari tradisi Bangsa Arab yang mendarah daging. (Binth Syathi, Nisâ' al-Nabî: 85)

Di tengah kondisi seperti ini, jelas Islam sangat revolusioner dalam mengangkat derajat dan posisi perempuan. Alquran, kitab suci agama Islam, diwahyukan kepada Nabi Muhamad penuh dengan cita-cita sosial dalam mendobrak keterbelakangan dunia di masa ketika ia ditumbuhkan. Nabi Muhamad Saw dengan ajaran barunya berusaha melepaskan belenggu tradisi jahili pada saat itu, yaitu menaikan harkat perempuan.

Bukti sejarah mencatat gebrakan-gebrakan yang dilakukannya. Ini terlihat dalam ayat-ayat Alquran dan perilaku Nabi terhadap perempuan, baik isteri-isterinya, anak-anaknya maupun sahabatnya. Konsep perempuan dalam Al-Qur’an secara jelas dan gamblang menyatakan posisi dan peran perempuan setara dengan laki-laki. Yang dimuliakan di sisi Allah bukan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi nilai ketakwaan (QS. Al-Hujarat/49: 13). Begitu juga dalam pemberiaan pahala yang diberikan Allah terhadap amal perbuatan seseorang. Ini tidak ada perbedaan jenis kelamin. Allah hanya menilai besar kecilnya nilai amal tersebut (QS. Al-Ahzab/ 33: 35, QS. Al-Jin/72: 38, QS. Ali-Imran/3: 195, QS. An-Nisa/4: 124, QS. An-Nahl/16:97, QS. Al-Mu’min/40: 40, QS. At-Taubah/ 97: 2). Alqur’an juga jelas mengatakan perempuan adalah partner (pasangan, saudara kembar, saudara kandung). Begitu juga laki-laki adalah partner perempuan (QS. An-Nisa/4: 1, QS. An-Nahl/16: 72, QS. Al-Baqarah/2: 187, QS. Ar-Ruum/30: 21, QS. Al-A’raf/7: 189, QS. Asy-Syuara’/42:11, QS. At-Taubah/ 9: 71, QS. Al-Hujurat/ 49: 13).

Kalaupun ada nilai-nilai kuantitatif yang melebihkan keunggulan laki-laki dalam ayat-ayat Al-Qur’an, itu tidak mengurangi nilai kesetaraan. Karena ayat-ayat itu dipahami sebagai ayat yang sebenarnya punya nilai praktis atau kompromi yang sangat revolusioner dalam konteks Arab masa itu. Misalnya mengenai hak waris, saksi atau keunggulan laki-laki dalam rumah tangga. Padahal posisi perempuan pada saat itu, sangat tidak diharapkan kelahirannya (QS. At-Takwil/81: 8, QS. At-Taubah/ 9: 16, QS. An-Nahl/l6: 58-59).

Namun, dalam sepuluh tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, perempuan kembali dihadapkan pada otoritas politik yang memapankan nilai androsentrisme. Masa inilah yang menjadi jembatan berlangsungnya sejarah androsentrisme dalam Islam dan dilembagakan secara halus melalui bahasa agama yang tercantum dalam kitab tafsir, hadis, dan fikih, serta dikembangkan pada masa kekuasaan Bani Umayah dan Abasiyah, bahkan hingga sekarang. (Nasaruddin Umar, 1999).

Berbeda dengan tradisi tasauf yang jauh dari lingkaran otoritas politik, perempuan menempati tokoh sentral yang diakui ketinggian spiritualitasnya bisa melebihi laki-laki. Seperti dikatakan Ibnu Arabi, sufi sejati adalah mereka yang mengubah sifat dirinya menjadi perempuan. Hal ini disebabkan sifat jamaliyah yang dimiliki perempuan (Haidar Baqir, 2002).

Bahkan, Abu Abdurrahman as-Sulami (wafat 1021) merincikan kesalehan 82 perempuan "kekasih Tuhan" dalam bukunya, Dzikir an-Niswah al Muta’abbidat ash-Shufiyyat, yang menunjukkan kualitas spiritualitas perempuan tidak terhalang karena jenis kelaminnya.

Menurut Gamal al-Banna dalam Bukunya al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tahrîr al-Qur’ân wa Taqyîd al-Fuqâhâ’, ada dua sebab kenapa kondisi perempuan menjadi terbelenggu lagi : Pertama, kuatnya adat dan budaya Jahiliyah yang sangat merendahkan martabat perempuan, dan Islam pun tidak bisa mengubahnya secara frontal, namun perlahan-lahan dan kadang “berkompromi”. Ini misalnya terlihat dari pengkuan Umar bin Khattab Wallahi ma kunna na’idd al-nisâ’a hatta anzala Allah fîhinna mâ anzala (Sumpah, kami dulu tidak pernah peduli terhadap hak perempuan, sampai Allah memerintahkan kami untuk peduli pada hak-hak mereka).

Diriwayatkan juga seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah ditampar suaminya. Rasulullah menyuruh perempuan tersebut membalas tamparan sang suami sebagai realisasi ayat qishâsh al-Quran anna al-nafs bi al-nafs wa al-'ayna bi al-'ayn..., sekaligus bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan masyarakat Arab waktu itu bereaksi keras, bagaimana mungkin perempuan yang sebelumnya tidak dihargai sama sekali, tiba-tiba diperbolehkan membalas perlakuan sama terhadap laki-laki? Sebagai "kompromi" turun ayat, al-rijâl qawwâmûn 'alâ al-nisâ'—yang sering dipahami laki-laki berkuasa atas perempuan.

Kedua, hilangnya kebebasan dari masyarakat Islam setelah meninggalnya Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin. Kebebasan itu hilang karena dua sebab.

(1) lahirnya kekuasaan dinasti-dinasti kerajaan yang otoriter dan despotik, yang selalu mengutamakan kekerasan. Ingat penyerbuan Madinah dan perusakan Ka’bah di Makkah oleh Yazid bin Muawiyah. Kondisi ini menciptakan masyarakat ‘patriarkhi’ yang identik dengan ‘kelelakian’ ‘kejantanan’: kekerasan, dan kediktatoran

(2) lahirnya ulama-ulama fikih yang dekat dengan kekuasaan dan mereka tidak hanya sekedar ulama fikih namun juga ‘legislator’ yang membuat aturan, dan undang-undang yang berpihak pada kekuasaan. Sejak zaman ini, perempuan dikekang dan dipasung melalui aturan-aturan yang ada dalam fikih. Ketika fikih sudah menjadi undang-undang positif, maka, fikih akan kaku dan beku, padahal hal ini bertentangan dengan kodratnya sebagai pemahaman (al-fiqh) yang subur akan penafsiran dan perbedaan.

Namun ada para ahli fikih lain yang menentang kedudukan ulama fikih di atas, yaitu ulama fikih yang tugasnya mengarang buku dan mengajar. Mereka sangat menentang menjadikan fikih sebagai hukum positif, seperti Malik bin Anas yang menolak ketika Abu Manshur, seorang khalifah Abbasiah, ingin menjadikan al-Muwaththa’ karangannya dijadikan hukum positif.

Oleh karena itu menurut Khaled Abu el Fadl dalam bukunya Atas Nama Tuhan (2004), hukum Islam harus dibebaskan dari praktik ‘otoriter’ ini: mejadikan fiqh sebagai hukum positif. Karena hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character).

Namun, yang menjadi persoalan dewasa ini seperti yang saya gambarkan di atas: adanya perda-perda syariat yang memperlakukan syariat Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) berdampak pada aturan itu menjadi mapan, statis, dan tertutup sehingga tidak menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Singkatnya, hukum Islam pada era modern ini dipandang sebagai perangkat aturan (ahkâm), bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan ini berpotensi melahirkan otoritarianisme dalam memahami hukum Islam.

Semestinya perdebatan-perdebatan mengenai perempuan, haruslah diletakkan pada perdebatan fiqh; sebagai ilmu yang berusaha memahami dan menggali hukum-hukum syariat Islam. Baik perdebatan ini bersumber dari teks-teks Alquran maupun Hadis. Meski masih kuat adanya sikap misoginis dalam ajaran atau doktrin Islam seperti yang tergambar dalam Hadis namun hal itu tak menghapus nilai-nilai universal yang sangat jelas termaktub dalam Alquran. Dengan memperlakukan teks seperti ini, Islam tidak akan kehilangan semangat pembebasan terhadap perempuan. Dan perda syariat yang mengatur perempuan semestinya tak diperlukan lagi.

Referensi : Opini Koran Tempo, Sabtu 7 April 2007
my last safhah, terima kasih atas masukan dan diskusinya untuk tulisan ini..

Wednesday, April 4, 2007

Jalan Panjang menuju Pernikahan

Bulan April ini mas Hamid, koordinator Jaringan Islam Liberal, menikah. Tepatnya tanggal tujuh di Gedung Arsip Nasional. Buat saya, keputusannya ini luar biasa dan dahsyat. Tadinya saya menganggap pernikahan tidaklah penting untuknya. Sama seperti teman baik saya lainnya; mba Ayu Utami, mas Erik, dan Andy Budiman. Ternyata persoalannya bukan penting dan tidak penting, tapi belum menemukan jodoh. Iya, mas Hamid sering mengatakan itu kalau saya rewel bertanya tentang kehidupan pribadinya. Kenapa sih mas ga menikah? Kalau si ini gimana? Kalau si itu gimana? Selalu jawabnya, ah pegel, Nong. Nah, sekarang terjawab sudah siapa perempuan yang diinginkannya. Itulah Fathia Syarif. Hmmm, beruntunglah mba Fathia karena mendapatkan mas Hamid, jenis lelaki yang sedikit ada di dunia ini, yang bisa diajak apa saja dan bicara apa saja.

Sayang sekali, sampai saya berangkat ke Melbourne dan mereka menikah, saya belum pernah ketemu mba Fathia, perempuan yang dipercaya mas Hamid menemani hidupnya. Saya hanya mendengar ceritanya saja. Tiap hari saya mendengar tentangnya. Saat itu, mas Hamid memang sedang puncak-puncaknya kasmaran (semoga berada di puncak terus!). Mas Hamid berubah layaknya yang sedang kasmaran: wajahnya ceria, bersinar dan matanya berbinar-binar terus. Tak pernah terucap kata lelah atau mengeluh meski dia sering cerita kalau dia belum tidur sama sekali. Terus cerita dan cerita.

Sebelum mas Hamid ketemu dengan rumah hatinya, kita sering ngobrol soal pernikahan. Dia selalu mengeluhkan teman-temannya, termasuk saya, karena setelah menikah terus berubah. Pembelaan saya waktu itu, saya berubah karena harus toleran dan kompromi dengan teman hidup saya bila ingin langgeng. Ini bagian dari konsekuensi pilihan saya memilih suami saya, bagaimanapun dan siapapun dia. Trus mas Hamid bilang, “kalau nanti saya menikah saya ngga mau berubah. Hidup saya sih seperti ini ya pasangan kita harus terima. Kalau kamu, Nong, pegel banget.” Saya cuma tertawa kalau sudah dibilangin begitu. Apalagi kalau mas Hamid udah bilang kata pegel, hmm bikin saya kangen deh. Khas banget gitu loh!

Makanya ia sering mengingatkan lewat sms-smsnya bila saya bercerita tentang keluarga. Salah satunya smsnya kira-kira begini, “Nong, salah satu kesalahan Tuhan adalah menciptakan institusi pernikahan. Karena itu untuk menebusnya, Tuhan memberi kita Teman.” Dan saya menyetujuinya. Meski sekali-kali saya pegel karena urusan keluarga, saya beruntung punya teman-teman yang sangat baik khususnya dengan mas Hamid.

Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan. Meski saya dan mas Hamid dari segi usia, pengalaman hidup dan intelektual berbeda, tapi itu tidak menjadi alasan kami untuk tidak menjadi teman dekat yang sangat baik. Saya tak merasa sungkan untuk bercerita tentang apapun. Saya kira, bukan hanya saya yang punya perasaan istimewa berteman dengan mas Hamid seperti ini, teman-teman yang lain pun merasakan hal yang sama, merasa cocok dan trust dengannya.

Suatu hari, mas Hamid datang ke ruangan saya, duduk di sofa seperti biasa dan langsung cerita tentang mba Fathia. Dia bilang, “aku lagi nunggu Fathia nih menjawab tawaranku menikah. Dia minta waktu seminggu”

“Bener nih, mas? Apa keputusan itu ngga terlalu cepat?”, Saya bertanya serius.

“Ngga, karena aku udah merasa banyak kecocokan dengannya. Nong, dia itu JIL banget loh. Pokoknya keren deh, ngga megelin. Dan lagian ngapain lama-lama pacaran untuk seusiaku. Dari dulu, aku kan pengen menikah. Kalau dia mau menikah, aku senang banget, kalau dia inginnya pacaran saja ya kita jalan aja. Tapi kalau bisa sih aku ingin cepat menikah. Pegel nong begini terus,” tuh kan mas Hamid bilang pegel lagi.

Alhamdulillah, tawaran mas Hamid diterima. Saya ikut senang dan bahagia ketika mendengar berita ini. Saya ngebayangin keputusan mba Fathia ini berdasarkan pertimbangan kiri kanan, depan belakang, dianalisa dari berbagai perspektif: filsafat, sosiologi, politik, sejarah, agama, sholat istikharah, tanya kyai khas, dan lainnya. Intinya dia bersedia dengan mantap diperisteri dan dinikahi mas Hamid. Saya percaya, pasti ini keputusan yang luar biasa juga untuk mba Fathia.

Setelah itu, “konstelasi politik” mas Hamid berubah dengan cepat. Tiap detik selalu ada yang berubah. Awalnya dia bilang akan menikah bulan Mei. Wow, tentu saya senang karena saya sudah ada di Jakarta dan akan ikut bersibuk-sibuk ria untuk pernikahan agung mereka. Eh, seminggu saya di Melbourne, saya di sms mas Hamid kalau pernikahan mereka dimajukan bulan April. Saya sempat protes kenapa waktu pernikahannya dimajukan. Saya berharap sekali, bisa melihat dan ikut menjadi saksi pernikahan mereka. Saya sedih, mungkin karena saya terlalu kegeeran, merasa menjadi teman baiknya.

Untungnya, tak berapa lama kemudian saya disms lagi olehnya, minta tulisan untuk souvenir pernikahannya. Kesedihan saya hilang oh ternyata mas Hamid masih menganggap saya sebagai teman baiknya. Saya masih bisa terlibat dalam pernikahan mereka meski sekedar lewat tulisan ringan ini.

Terakhir, selamat ya mas Hamid, selamat ya mba Fathia. Semoga bisa menjadi pasangan yang langgeng, bisa mencipta keluarga yang sakinah (Jangan lupa, mas Hamid selalu bilang kalau niatnya berkeluarga salah satunya ingin punya anak. Duhh, arabnya ternyata belum hilang mas!), mawaddah dan penuh rahmah. Doa dan harapan yang selalu diucapkan pada setiap pasangan yang akan menikah. Saya yakin, mas Hamid dan mba Fathia bisa mewujudkan harapan ini. Separoh lebih hidup mas Hamid dihabiskan untuk menunggu pilihan hidupnya dan akan sangat terasa pendek mewujudkannya bersama mba Fathia. Seperti ucapan mas Hamid yang sering dikatakannya ke saya, pernikahan dan keluarga tak selayaknya menjadi alasan kita berubah. Mas Hamid dan mba Fathia bisa membuktikan bahwa pernikahan bukanlah kesalahan dan hukuman Tuhan, tapi bagian dari kenikmatan Tuhan. Selamat berbahagia!