Surga Kartini
Dalam tulisan ini saya mencoba memunculkan kembali pemikiran keagamaan Kartini yang, menurut saya, sangat liberal. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus tentang pemikiran keagamaan Kartini. Yang paling bagus adalah buku TH. Sumartana tentang Agama dan Iman menurut Kartini. Saya bangga, merasa terwakili dan sangat terinspirasi bila membaca pergolakannya yang ia ungkapkan lewat surat-surat tentang Tuhan, surga, neraka, takdir, dan bagaimana ia berislam.
Di tengah kesepiannya dalam pingitan, pandangan-pandangan dia tentang tema-tema keagamaan itu begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted. Baginya berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Sehingga doktrin dan ritual diwariskan begitu saja.
Namun jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, “tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: Mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?’” Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga ‘sesuatu’ yang menurutnya tak dia pahami dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia mengerti. Kata Kartini, “jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap–kami merasa kegelapan–tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”(Surat, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon)
Sikap keislaman seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Meski ia diperlakukan tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, namun pandangan dia tentang Tuhan sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan seperti saya, yang kadang menggugat Tuhan karena menciptakan saya berjenis kelamin perempuan. Kartini melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif.
Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurutnya bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menerus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari. Makanya tak heran, meski dia dikungkung, namun pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melaui tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia.
Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik dibanding metafisik. Kata Kartini, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia.”
Saya sepenuhnya setuju dengan pandangan Kartini ini. Buat saya, surga dan neraka ada di dunia, di diri kita. Dengan mencipta surga di dunia, kita mendapat motivasi yang luar biasa menjalani hidup ini, sesulit apapun, seperti hidup yang dialami Kartini. Meski ia hidup di era feodalisme jawa yang sangat kuat, yang mengagungkan superioritas laki-laki, yang tak memberi tempat dan kebebasan untuk perempuan, tapi ia masih bisa mencipta pemikiran-pemikiran cerdas yang tak akan pernah tuntas dikupas sepanjang masa. Kita tahu, di dunia nyata, mungkin hidup Kartini bagai di neraka: dipingit, tak bisa sekolah, dipoligami, tak ada kebebasan dll. Namun di dunia ide dan cita-cita, Kartini telah menemukan surganya.
Reference : www.islamlib.com, 30 April 2007
No comments:
Post a Comment