Jalan Panjang menuju Pernikahan
Bulan April ini mas Hamid, koordinator Jaringan Islam Liberal, menikah. Tepatnya tanggal tujuh di Gedung Arsip Nasional. Buat saya, keputusannya ini luar biasa dan dahsyat. Tadinya saya menganggap pernikahan tidaklah penting untuknya. Sama seperti teman baik saya lainnya; mba Ayu Utami, mas Erik, dan Andy Budiman. Ternyata persoalannya bukan penting dan tidak penting, tapi belum menemukan jodoh. Iya, mas Hamid sering mengatakan itu kalau saya rewel bertanya tentang kehidupan pribadinya. Kenapa sih mas ga menikah? Kalau si ini gimana? Kalau si itu gimana? Selalu jawabnya, ah pegel, Nong. Nah, sekarang terjawab sudah siapa perempuan yang diinginkannya. Itulah Fathia Syarif. Hmmm, beruntunglah mba Fathia karena mendapatkan mas Hamid, jenis lelaki yang sedikit ada di dunia ini, yang bisa diajak apa saja dan bicara apa saja.
Sayang sekali, sampai saya berangkat ke Melbourne dan mereka menikah, saya belum pernah ketemu mba Fathia, perempuan yang dipercaya mas Hamid menemani hidupnya. Saya hanya mendengar ceritanya saja. Tiap hari saya mendengar tentangnya. Saat itu, mas Hamid memang sedang puncak-puncaknya kasmaran (semoga berada di puncak terus!). Mas Hamid berubah layaknya yang sedang kasmaran: wajahnya ceria, bersinar dan matanya berbinar-binar terus. Tak pernah terucap kata lelah atau mengeluh meski dia sering cerita kalau dia belum tidur sama sekali. Terus cerita dan cerita.
Sebelum mas Hamid ketemu dengan rumah hatinya, kita sering ngobrol soal pernikahan. Dia selalu mengeluhkan teman-temannya, termasuk saya, karena setelah menikah terus berubah. Pembelaan saya waktu itu, saya berubah karena harus toleran dan kompromi dengan teman hidup saya bila ingin langgeng. Ini bagian dari konsekuensi pilihan saya memilih suami saya, bagaimanapun dan siapapun dia. Trus mas Hamid bilang, “kalau nanti saya menikah saya ngga mau berubah. Hidup saya sih seperti ini ya pasangan kita harus terima. Kalau kamu, Nong, pegel banget.” Saya cuma tertawa kalau sudah dibilangin begitu. Apalagi kalau mas Hamid udah bilang kata pegel, hmm bikin saya kangen deh. Khas banget gitu loh!
Makanya ia sering mengingatkan lewat sms-smsnya bila saya bercerita tentang keluarga. Salah satunya smsnya kira-kira begini, “Nong, salah satu kesalahan Tuhan adalah menciptakan institusi pernikahan. Karena itu untuk menebusnya, Tuhan memberi kita Teman.” Dan saya menyetujuinya. Meski sekali-kali saya pegel karena urusan keluarga, saya beruntung punya teman-teman yang sangat baik khususnya dengan mas Hamid.
Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan. Meski saya dan mas Hamid dari segi usia, pengalaman hidup dan intelektual berbeda, tapi itu tidak menjadi alasan kami untuk tidak menjadi teman dekat yang sangat baik. Saya tak merasa sungkan untuk bercerita tentang apapun. Saya kira, bukan hanya saya yang punya perasaan istimewa berteman dengan mas Hamid seperti ini, teman-teman yang lain pun merasakan hal yang sama, merasa cocok dan trust dengannya.
Suatu hari, mas Hamid datang ke ruangan saya, duduk di sofa seperti biasa dan langsung cerita tentang mba Fathia. Dia bilang, “aku lagi nunggu Fathia nih menjawab tawaranku menikah. Dia minta waktu seminggu”
“Bener nih, mas? Apa keputusan itu ngga terlalu cepat?”, Saya bertanya serius.
“Ngga, karena aku udah merasa banyak kecocokan dengannya. Nong, dia itu JIL banget loh. Pokoknya keren deh, ngga megelin. Dan lagian ngapain lama-lama pacaran untuk seusiaku. Dari dulu, aku kan pengen menikah. Kalau dia mau menikah, aku senang banget, kalau dia inginnya pacaran saja ya kita jalan aja. Tapi kalau bisa sih aku ingin cepat menikah. Pegel nong begini terus,” tuh kan mas Hamid bilang pegel lagi.
Alhamdulillah, tawaran mas Hamid diterima. Saya ikut senang dan bahagia ketika mendengar berita ini. Saya ngebayangin keputusan mba Fathia ini berdasarkan pertimbangan kiri kanan, depan belakang, dianalisa dari berbagai perspektif: filsafat, sosiologi, politik, sejarah, agama, sholat istikharah, tanya kyai khas, dan lainnya. Intinya dia bersedia dengan mantap diperisteri dan dinikahi mas Hamid. Saya percaya, pasti ini keputusan yang luar biasa juga untuk mba Fathia.
Setelah itu, “konstelasi politik” mas Hamid berubah dengan cepat. Tiap detik selalu ada yang berubah. Awalnya dia bilang akan menikah bulan Mei. Wow, tentu saya senang karena saya sudah ada di Jakarta dan akan ikut bersibuk-sibuk ria untuk pernikahan agung mereka. Eh, seminggu saya di Melbourne, saya di sms mas Hamid kalau pernikahan mereka dimajukan bulan April. Saya sempat protes kenapa waktu pernikahannya dimajukan. Saya berharap sekali, bisa melihat dan ikut menjadi saksi pernikahan mereka. Saya sedih, mungkin karena saya terlalu kegeeran, merasa menjadi teman baiknya.
Untungnya, tak berapa lama kemudian saya disms lagi olehnya, minta tulisan untuk souvenir pernikahannya. Kesedihan saya hilang oh ternyata mas Hamid masih menganggap saya sebagai teman baiknya. Saya masih bisa terlibat dalam pernikahan mereka meski sekedar lewat tulisan ringan ini.
Terakhir, selamat ya mas Hamid, selamat ya mba Fathia. Semoga bisa menjadi pasangan yang langgeng, bisa mencipta keluarga yang sakinah (Jangan lupa, mas Hamid selalu bilang kalau niatnya berkeluarga salah satunya ingin punya anak. Duhh, arabnya ternyata belum hilang mas!), mawaddah dan penuh rahmah. Doa dan harapan yang selalu diucapkan pada setiap pasangan yang akan menikah. Saya yakin, mas Hamid dan mba Fathia bisa mewujudkan harapan ini. Separoh lebih hidup mas Hamid dihabiskan untuk menunggu pilihan hidupnya dan akan sangat terasa pendek mewujudkannya bersama mba Fathia. Seperti ucapan mas Hamid yang sering dikatakannya ke saya, pernikahan dan keluarga tak selayaknya menjadi alasan kita berubah. Mas Hamid dan mba Fathia bisa membuktikan bahwa pernikahan bukanlah kesalahan dan hukuman Tuhan, tapi bagian dari kenikmatan Tuhan. Selamat berbahagia!
Nong yth, engkau pasti sulit mengingatku. krn mungkin saja kita tak pernah bertemu. tp, tulisan-tulisanmu di blog itu menarik. Bhkn, tulisanmu tentang pernikahan mas hamid, boleh juga. yg pasti, setiap dari kita, berproses melewati jalan2 kehidupan sendiri. termasuk dlm mengintrepetasi dan mendekati 'tuhan' dan juga 'Tuhan'. Meski ada banyak yg sering kutak paham dan kuragu tentang JIL, FPI bahkan Gus Dur misalnya, tapi itu tak menghilangkan respek-ku. Kenapa, untuk hal yg sederhana saja, seperti daun kering dan jatuh atau embun, aku juga sering ragu. Two thumbs up for your blogspot.
ReplyDeletethanks ya iwan mau berkunjung ke blogku. saya setuju denganmu, kita semua berproses.
ReplyDeleteTeh Nong, apa kabar, saya sich belum baca tulisannya, tapi wbnya keren. Lihat juga ke web blogg ku teh: zenzaenal.blogspot.com
ReplyDelete