Melbourne, Kebebasan dan Kursus Inggris
Sudah lima minggu lebih saya menikmati dan melewati hidup di Melbourne. Melbourne adalah kota multikultural dengan beragam orang, bangsa, polah, makanan dan lainnya; kota yang tiap minggunya ada pertunjukan seni, festival dari bermacam budaya dan bangsa; kota yang penuh dengan gedung-gedung cantik, modern dan juga tua; kota dengan transportasi publik yang sangat baik; kota yang dimana-mana tersedia taman yang nyaman dan terbuka untuk publik; kota yang betul-betul menghargai pentingnya keberadaan ruang publik untuk warganya; kota yang sadar dengan sejarah karenanya museum terserak dimana-mana; kota yang sungguh tertata dan terencana. Saya betul-betul menikmati kota ini. Saya beruntung bisa singgah 10 minggu lebih di kota ini dan saya masih punya lima minggu lagi untuk merambahi kota ini.
Saya bisa di sini karena bantuan dari TAF. Terima kasih saya haturkan untuk Douglas, mba Robin, John, kak Budhi, Kathleen dan teman-teman TAF lainnya. Dan juga dukungan yang penuh dan luar biasa dari mas Celi dan teman-teman Freedom Institute. Juga mas Indra yang menjaga Andrea. Karena merekalah saya di sini sekarang.
Awalnya saya tak yakin bisa pergi selama dan sejauh ini. Ketika saya mendapat kabar dari TAF kalau saya disetujui didanai ke Melbourne, saya sempat ragu, maju mundur. Bahkan sempat kepikiran belajar di Singapur saja. Lokasinya lebih dekat dan saya bisa bebas pulang kapan saja. Tapi beberapa teman menyarankan untuk tetap di Melbourne. Bahkan mas Celi bilang ‘kamu harus menikmati kebebasanmu sekarang, Nong. Kamu harus nikmati itu. Tak ada kemewahan selain kamu menikmati kesendirianmu. Kalau kamu tetap di Jakarta atau kamu milih Singapur, kamu akan tetap disibukkan dengan keluarga dan pekerjaanmu. Jadi, pergilah dan enjoy your freedom.” Meski saya sudah memilih Melbourne tapi saya tetap gamang. Aneh, kok diberi kebebasan malah seperti ini?
Tak pernah saya merasa segamang ini. Biasanya setiap saya mau pergi ke luar negeri, saya menyambut dan merayakannya dengan suka cita. Ada kebanggaan saya punya kesempatan mengenal langsung negeri lain. Saya sudah pergi ke US, Jerman, Jepang, Bangkok, London, dll dan saya antusias banget. Saya suka berpetualang dan banyak mendapat belajar hidup dengan mengunjungi tempat-tempat baru, asing, dan senang mengenal orang-orang baru. Tapi sekarang menjadi lain. Mungkin karena posisi saya sekarang sudah beda, bukan pribadi yang seperti dulu, saya sebagai ibu sekarang. Ini benar-benar sulit dan dilematis.
Saya ngga bisa ngebayangin bisa ninggalin anakku karena aku sangat dekat banget. Andrea tidak akan tidur kalau mamanya belum datang dari kantor dan aktivitas kerjanya. Meski dia harus nunggu sampai jam 12 malam karena aku sering bikin dan ngehadiri diskusi dan ‘acara’ lainnya. Dia memang anak yang betul-betul ngerti pekerjaan dan posisi mamanya. Kedekatanku dengan anakku mungkin juga karena dia masih menyusui meski usianya sudah 2,5 tahun. Keberangkatanku ke Melbourne ini dijadikan cara untuk menyapihnya. Sebenarnya dari usia 1,5 tahun aku sudah coba menyapihnya. Berbagai cara sudah dilakukan tapi ngga mempan terus. Jadi waktu itu saya ngga bisa bayangin kalau saya tak ada di sisinya. saya khawatir dia ngga bisa tidur karena saya tak disisinya, khawatir dia sakit, khawatir dia kangen dan seribu kekhawatiran lainnya. tapi anakku memang benar-benar ngerti mamanya. Duh Ea, mama kangen banget…
Akhirnya saya putuskan dan niatkan belajar bahasa inggris di Melbourne. Saya pilih Hawtorn English Language Center (HELC) www.hawtornenglish.com, milik University of Melbourne. Saya sengaja memilih tempat ini karena letaknya tak terlalu dekat dengan pusat kota Melbourne. Saya juga homestay di North Balwyn yang jaraknya lumayan jauh dari City. Tempat kosku seperti di komplek perumahan Tanjung Barat, perumahannya cukup mewah, nyaman dan akses kemana-mana sangat mudah. Lokasiku ini penting agar saya tak terlalu terhanyut mengikuti hiruk pikuk pelbagai acara di city. Dan yang terpenting lagi, di HELC ini tidak terlihat ada orang Indonesianya. Di sini banyaknya orang Korea, Cina, Jepang, Middle East, Turki, Spanish, dan beberapa orang Prancis. Ada sekitar 6000-an siswa. Beda kalau di city, dimana-mana, di setiap sudut, kita menemukan orang-orang Indonesia. Jadi saya pengennya belajar, belajar dan belajar. Supaya ngga suntuk belajar, kadang Sabtu dan Minggu serta di waktu libur saya pergi ke city, ketemu dengan teman-teman dan berpetualang dengan keramaian hiruk pikuk Melbourne.
Bila ingat tujuan saya di sini itu belajar bahasa Inggris, kadang saya merasa sesak nafas karena sampai sekarang saya kok masih belajar Inggris aja. Hey, kemana aja selama ini? Dulu-dulu saya malas banget, bukannya ngga mau dan ngga tahu kegunaannya belajar inggris ini. Cuma megelin aja gitu loh. Kalau cuma sekedar baca, ngomong dikit dan ngerti omongan orang sih aku mampu. Tapi ternyata itu tak cukup bila ingin mendapatkan banyak hal di dunia ini. Saya nyesel banget sekarang, padahal teman-temanku udah melanglang buana studi dimana-mana karena inggrisnya udah bagus. Sementara saya masih begini-begini aja. Duh, ketinggalan banget deh. Tapi udahlah, masih untung aku diberi kesempatan seperti ini. (Jangan mengeluh terus, Nong…)
Hari pertama, saya di test penempatan kelas. Speaking, listening, reading ok semua. Perfect dan kamu sudah level advance, kata mereka. Eh, pas writing saya jatuh banget nilainya karena saya menulis sesuatu yang menurut mereka, tidak ilmiah dan tidak akademis. Karena aku homesick banget, aku menulis tentang perasaan kangenku ke dea. Trus, saya juga belum pernah ikut tes IELTS jadi ngga tahu kriteria writing itu seperti apa. Mereka minta aku memilih aku mau masuk kelas mana: English for Academic purposes (EAP) 1 atau EAP 2? Saya memilih yang pertama dengan pertimbangan saya udah lama tak belajar serius bahasa Inggris dan waktuku juga tak terlalu lama di sini, cuma 10 minggu. Buatku jadinya tak terlalu ngotot ngejar dan mengikuti kelas yang sudah lanjut. Saya khawatir, jangan-jangan saya tak bisa mengikutinya kalau saya masuk di EAP 2.
Ada sekitar 15 orang di kelasku. tiga orang Spanish (manis dan cantik), satu orang Turki (itu loh mba ade, yang dibelakangku yang ngacungin tangannya), empat orang Arab Saudi (pasti cowok semua dan megelin lagi. Mereka sok-sok banget, sombong karena merasa dari negara kaya), empat orang Korea dan satu orang Cina (pokoknya wajah dan ngomongnya Cina banget). Kelas ini diajar oleh 2 orang guru namanya Ivonne dan Katryn. Dua-duanya Oz dan ngomongnya oz banget gitu loh. Beda kalau kita dengerin inggris amerika dengan inggris oz, saya ngerasa lebih susah paham omongan mereka. Pronouncitionnya banyak beda dengan inggris amerika, kadang juga ada beberapa yang lain dengan inggris british.
Karena ini kelas untuk tujuan akademis, setiap hari kita diberi kiat bagaimana cara menulis, mengambil point-poin yang disampaikan dosen atau tulisan, meresume tulisan dan juga presentasi pakai power point. Setiap hari kita disuruh nulis esai dari mulai tema yang sangat sederhana sampai tema yang lumayan sulit. Minggu pertama saya disuruh menulis tentang Indonesia. Saya coba nulis dan saya dapat pujian (nanti saya tampilkan tulisan itu diblog ini). Trus kita disuruh nulis tentang small cars, animals, colour, membandingkan sesuatu antara di negeri kita dengan Melbourne (saya pilih membandingkan transportasi publik. Nanti saya masukkan juga di blog ini), censorship, pollutin, poverty, unemployment, women discrimination (saya menulis dalam konteks masyarakat Islam).
Saya sempat merasa sedikit stress karena harus nulis dalam bahasa inggris terus. Udah gitu dengerin orang ngomong bahasa inggris terus. Trus harus ngomong inggris terus. Kan cape ya, harus mikir terus. Ini benar-benar ngga biasa dan ngga pernah seperti ini. Saya jadi ingat Sahal ketika dia pulang beberapa bulan lalu. Badan dia tambah kurus dan langsing. Ketika saya tanya kenapa dia begitu dia jawab karena dia lari terus untuk menghindari ngobrol inggris. Ah sahal, ada-ada aja. Di Jakarta atau kalau saya diminta menulis dalam bahasa inggris, saya pasti minta diterjemahin orang. Saya selalu bilang, ini kerjaan Lanny hehehe…Jadi lima minggu ini saya merasa luar biasa banget.
Padahal kondisi perasaan saya masih naik turun karena kadang masih homesick dan kadang merasa kesepian dan belum terbiasa jauh dari anak, keluarga, kerjaan dan teman-teman. Ingat kebebasan? Ternyata kita memang tak pernah merasa bebas meski kebebasan itu udah kita genggam. Hmmm.. Dalam seminggu selalu ada satu masa dimana saya merasa kangen banget ama Andrea. Ini bener-bener ngga bisa dirasionalisasi dan dialihkan ke yang lain. Tiba-tiba muncul rasa kangen banget, ingin memeluknya dan karena ngga bisa, saya akhirnya menangis keras-keras, ngga bisa ngapa-ngapain. Padahal hampir setiap malam saya selalu melihatnya (terima kasih YM). Dalam lima minggu kemarin, itu terjadi tiga kali, di kelas. Saya lari ke toilet, nangis sekencang-kencangnya supaya lega tapi tetap tak bisa ngerjain apa-apa. Duh. kok anak bisa luar biasa gitu ya?
Belajar bahasa inggris 10 minggu tentu tak berharap mendapat banyak. Waktunya sangat pendek, padahal bahasa itu kebiasaan, tuntutan dan kebutuhan. Seperti halnya makan, minum, tidur dan gituan (hehehe..yang terakhir nggalah). Saya tetap berusaha dan melakukan yang terbaik untuk inggris saya meski kadang merasa terbebani karena khawatir tak mendapatkan apa-apa dari waktu 10 minggu ini. Padahal pengorbanan dan ongkosnya sangat mahal sekali. Btw, TAF nanti marah ngga ya? Kata Sukidi, “jangan kuatir, teh Nong, nanti bisa dilanjutin di Jakarta.” Bisa kah? Semoga bisa.
No comments:
Post a Comment