Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Friday, March 30, 2007

Ulang Tahun Jaringan Islam Liberal

Bulan Maret ini, tak hanya saya yang merayakan ulang tahun. Jaringan Islam Liberal (JIL), yang didirikan enam tahun lalu, juga merayakannya. Tak seperti ultah saya, sejak awal ultah JIL selalu kita rayakan. Bukan untuk merayakan JIL itu sendiri, tapi untuk merayakan dan mengingatkan pentingnya perjuangan kebebasan “berpikir” dalam beragama khususnya Islam. Tak hanya itu, kegiatan tahunan ini juga diperuntukkan sebagai ruang publik yang secara bebas mendedah dan mendiskusikan tema-tema yang dianggap ‘berbahaya” dalam perdebatan normatif dan doktrin Islam. Ruang seperti ini sangat mewah dan langka kita temukan sekarang.

Sejak awal didirikan, JIL dihadirkan untuk mengisi kelangkaan itu. Makanya tak heran bila kegiatan yang JIL lakukan “mengganggu” sebagian orang yang sudah merasa mapan dengan agamanya. Sejak awal JIL dianggap “mengancam”. Berbagai tuduhan negatif selalu ditimpakan ke JIL dan orang-orang yang terlibatnya. JIL menjadi stigma untuk orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadiran dan aktivitas JIL.

Kembali ke Ultah JIL. Setiap tahun kami berusaha selalu merayakan kegiatan tahunan ini. Meski ancaman datang menghadang dan keterbatasan dana yang kami miliki. Kegiatan ini sebisa mungkin kami rayakan dengan meriah sampai tiga hari bahkan pernah lima hari berturut-turut dengan memutar film, diskusi dan kadang ada bursa buku pilihan. Setiap tahun kami yang di JIL selalu membahas dan mendiskusikan terlebih dahulu tema dan film apa yang penting untuk kami munculkan di tiap ultah JIL. Bulan ini ultah JIL diselenggarakan dari tanggal 22 – 24 Maret dengan mengambil tema sekularisme. Menurut ceita teman-teman di JIL, peserta yang datang membludak dan antusias. Sampai-sampai Teater Utan Kayu (TUK), tempat diskusinya, tak cukup memuat banyaknya peserta yang ingin menghadiri dan menyimak diskusi JIL. Begitu juga Kedai Tempo terlihat penuh dan berdesak-desakan.


Dua tahun terakhir ini ultah JIL selalu berbarengan dengan ultah saya. Mestinya ultah JIL diselenggarakan awal Maret, persisnya tanggal 3 Maret, berbarengan dengan munculnya milis islamliberal@yahoogroups.com yang diasuh mas Luthfi.. Tahun lalu diselenggarakan pada tanggal sama seperti tahun ini karena disesuaikan dengan kedatangan TV ABC Australia yang ingin mengambil profil JIL. Mereka membuat acara Islam Indonesia dan mengambil JIL sebagai salah satu representasi Islam Indonesia http://www.abc.net.au/compass/s1765937.htm. Dan tahun ini diselenggarakan di tanggal itu karena menyesuaikan waktu TUK dan kesiapan teman-teman.

Tentu saja berbarengan ultah JIL dengan ultah saya bukan berarti JIL milik dan identik dengan saya. Ini untuk menjawab kekecewaan salah satu teman saya karena saya terlalu ‘dominan” perannya sekarang di internal JIL. Saya selalu tekankan, JIL milik semuanya bukan milik para pendirinya. Meski saya, mas ulil, mas luthfi, anick, burhan, sahal, mas Goen ngga ada, ngga terlibat dan ngga hadir di ultah JIL ternyata acara ultah JIL sukses luar biasa seperti yang diceritakan mas hamid dan novri dimilis internal kami. Ini menunjukkan JIL sekarang bukan punya siapa-siapa dan tak identik dengan siapa-siapa tapi milik semuanya. Seperti lampu yang menerangi kita, siapapun yang menikmati terangnya lampu itu tak perlu tahu siapa yang menemukan dan menciptakannya. Saya ingin JIL seperti itu. Saya yakin, JIL akan ada dan hidup terus karena banyak orang yang akan menjaga dan merawatnya.

Seperti yang sudah saya tulis di atas, di ultah sekarang saya tidak hadir. Saya merasa betul-betul kehilangan moment ini. Seperti juga mas ulil, mas luthfi, anick, sahal, mas goen dan teman-teman yang tak bisa hadir. Makanya saya meminta teman-teman JIL menceritakannya untuk kami. Saya berterima kasih pada Novri yang dengan luar biasa kerennya menceritakan ultah JIL dengan detail. Saya udah meminta izin Novri kalau laporannya akan saya muat diblog ini. Terima kasih Novri. Terima kasih Lanny, Umdah, Guntur dan mbak Ade yang dengan kerja kerasnya berhasil menyelenggarakan ultah JIL sekarang. Terima kasih kepada semua orang yang telah mendukung baik materi dan lainnya. Tak bisa saya sebutkan nama-namanya di sini, karena saking banyaknya.

Ini dia laporan Novri, selamat membaca!

Hari Pertama
Pengunjung membludak, mungkin sampai 350-an orang. Sejak jam tiga sore, mereka sudah menyemut dan minum teh botol di kedai. Ada banyak orang mungkin dari STT Jakarta ataupun STF Driyarkara. Tapi orang yang tidak kita kenal benar-benar banyak. Saya lihat lebih banyak dari tahun kemarin. Orang seakan penasaran, ada apa dengan JIL.

Tamu khusus yang diundang JIL emang dikit yang datang. Hanya ada Pak Fikri Jufri, Mas Tosca Santoso, Pak Zulkifli Lubis, Qodari, Rahman Toleng, Bu Tini Hadad, Zumrotin, Amanda, dll. Sejak awal saya sudah suruh Rusdi (operator TUK) agar nyetel liputan TV ABC Australia yang meliput ultah JIL tahun lalu tentang Islam Indonesia. Kita cuma setel yang edisi progresif yang menampilkan senyum Mas Luthfi, Syafii Anwar, Dhani Dewa, dan Nong Darol Mahmada. Film itu diluncurkan ke layar dengan volume yang sengaja dikencangkan agar ketahuan kita lagi kenduri.

Selesai menyaksikan film, Mas Hamid Basyaib, Koordinator JIL, mulai sambutan soal betapa tidak seberapanya usaha yang dilakukan JIL di tengah gelombang konservatisme di Indonesia, dan betapa beratnya merawat oase kebebasan yang kita ciptakan. JIL memang tidak kehabisan moral, tapi material memang tidak ada. Karena itu, Mas Hamid mengetuk hati orang-orang untuk juga sumbangsih material di samping moral.

Saiful Mujani atau yang akrab kami panggil kak ipung, ketua yayasan JIL, selanjutnya ngomong soal perlunya "bersedekah" gagasan untuk menjaga keseimbangan neraca moderasi Islam di Indonesia. Kalau ada yang ekstrem di kanan, harus ada yang ekstrem di kiri agar yang tenggah-tengah tetap stabil. Tapi yang lebih penting dari itu, Kak Ipung berpesan agar yang tengah-tengah ini jangan mau enak sendiri; tidak berbuat apa-apa, oportunistik.

Pak Zul pertama ingin menanya apa prestasi jil dalam beberapa tahun ini. Tapi melihat kompleksitas perkaranya, dia lebih suka melihat proses, bukan hasil. Ini masih on going process. Pendek kata, dia tetap support JIL karena menghidupkan suasasa komunitas utan kayu. Pak Fikri Jufri saya agak lupa dia ngomong apa karena waktu itu saya sedang ngobrol sama Trisno. Terakhir Bu Zumrotin yang kasih selamat, dan minta nggak banyak sambutan, tapi langsung makan-makan aja. Tentu hadirin sepakat amin... Kita makan, stok kurang, karena dipesan hanya 150 porsi. Tapi ada banyak kue dari simpatisan yang datang, dari Mbak Amanda dan Emak yang konon isteri Direktur Astra.

Tibalah saatnya diskusi. Wah, teater penuh sesak. Sampai hanya tersisa ruang setengah meter dari meja pembicara untuk tempat saya moto-moto. Mungkin banyak fans Franky B. Hardiman, Ioanes Rakhmat, dan Kak Ihsan Ali-Fauzi yang datang. Sampai-sampai, di luar pintu banyak juga yang hanya bisa liat-liat suasana diskusi di dalam. Franky bicara soal mayarakat post-secular. Ioanes hanya memberi memaparkan pendapat Berger dan satu orang lagi tetnang sekularisme. Maklum, dia baru dihubungi empat hari sebelum acara untuk menggantikan Eri Seda yang harus ke Singapura ngantar ibunya berobat. Kak Ihsan bintangnya malam itu. Penjajakan teoretis tentang sekularisme dipaparkan dengan banyak referensi dan analisis yang baik dari Kak Ihsan. Tapi waktu sesi diskusi agak kurang greget karena penanya banyak yang nggak mutu. Tapi dari sisi kuantitas pengunjung, kita menang malam itu. Jamaah bertambah, hati kita dibesarkan oleh antusiasme banyak orang...

Hari Kedua
Film Jesus Camp diputar jam 2 dan Soldier of God setelahnya. Penonton sekitar 50 orang saja. Tapi diskusi dengan Rizal “Celi” Mallarangeng, Samsurizal Panggabean dan Dick van der Meij sungguh menarik. Dick bilang ke saya kalau dia justru banyak dapat pengetahuan dari diskusi malam itu ketimbang memberi pengetahuan tentang sekularisme dalam prakteknya. Mas Celi tentulah bintang di forum apa pun. Tapi Rizal Pangabedan tak kalah menggigit dan kocaknya.

Oh ya, peserta di hari ini agak berkurang. Tapi hanya susut setengah meter dari depan meja pembicara dari pada malam sebelumnya. Tapi kualitas diskusi malam ini benar-benar punya greget. Mas Celi dapat porsi pertanyaan paling banyak tentang praktek sekularisme di Amerika dan tantangan di Indonesia dengan adanya perda-perda syariah. Seperti biasa, Celi adalah orang yang selalu optimis kalau modernisasi akan tetap memperkuat sekularisasi walau di Indonesia saat ini aspirasi agama di tingkat kultural makin menguat.

Karena dia dianggap orang dalam istana, peserta banyak juga yang berpesan agar pemerintah lebih tegas terhadap aspirasi-aspirasi syariah yang sudah mewabah di beberapa daerah. Itu terutama disampaikan Yenni Rosa Damayanti. Tapi Celi mengingatkan pentingnya bersabar, kayak ustad aja, mungkin karena sebelumnya ketemu Kiai Gontor dengan saya, dan pentingnya mempertimbangkan sensitifitas masalah. Celi juga mengingatkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemberontakan daerah dan karena itu harus lebih arif menghadapi masalah. Dia juga mengingatkan betapa perlunya tetap menghargai kompromi-kompromi sejarah yang telah dicapai para founding father kita dengan mengakomodasi nagara ketuhanan, depertemen agama, pesantren, dan undang-undang seperti perkawinan yang sebetulnya tidak ideal juga.

Syamsurizal Panggabean juga tampil memikat. Dia banyak cerita tentang kontradisksi-kontradiksi yang terjadi dalam penerapan syariah di banyak negara, dan terutama di Aceh. Kocak betul abang kita ini malam itu. Mereka yang rewel-rewel dengan syariah itu, belum sampai saja ilmunya, katanya. Dia juga mengingatkan, inilah masa di mana kita melihat Indonesia sebenarnya, dengan segenap warna-warninya sembari optimis bahwa aspirasi agama yang ngawur-ngawur di mana-mana itu tak akan mengubah apa-apa.

Pak Dick tampak puasa bicara dan tidak komentar banyak. Tampaknya, filolog ini lebih banyak ingin mendengar ketimbang berkomentar. Dan dia salut besar dengan diskusi kita dan berpesan pada saya untuk selalu mengundangnya dalam acara-acara kita.

Oh ya, Franky tampaknya terkesan betul dengan forum diskusi kita. Dia juga merasa bahwa dia merasa mendapat tempat yang betul-betul menantang untuk diskusi karena tesis-tesis dia, terutama tentang post-secular society, dan dia menganggap masyarakat Indonesia sudah sampai ke situ, banyak mendapat tantangan. Dia minta rekaman audio-visual diskusi kemarin, katanya untuk introspeksi.

Hari ke 3
Kiranya diskusi tentang sekularisme sudah berakhir dengan optimisme Celi dan Rizal Pangabean yang menyimpulkan sekularisme tetap akan berjaya dengan modernisasi. Rupanya tidak. Pada hari ketiga, keempat pembicara kita, Saiful Mujani, Gadis Arivia, Martin Sinaga, dan Dadi Darmadi benar-benar memikat. Pengunjung pun tak susut, bahkan tampak lebih banyak dari hari kedua. Jika pada hari kedua jarak yang tersisa antara pembicara dan peserta jadi satu meter, pada hari ketiga ini, jaraknya menyusut jadi 75 centi.

Iklan sponsor Tolak Angin rupanya menginspirasi Saiful Mujani untuk membuka pembicaraan. Di situ tertulis kalimat, Orang Pintar Sayang Keluarga. Nah, Saiful mengubahnya jadi Orang Sekuler (Mesti) Sayang Keluarga. Itu penting karena nasib sekularisme bergantung pada keluarga. Keluarga menentukan tingkat populasi. Dalam hitung-hitungan demografis, bagi Saiful, dalam hitungan ratusan tahun yang akan datang, sekularisme akan mati. Sebabnya sederhana, orang sekuler tidak sayang keluarga.

Sebaliknya, orang non-sekuler justru berkembang-biak dengan begitu cepat, bahkan perkembangbiakan itu tidak hanya dari satu betina, tapi dari banyak betina. Orang non-sekuler ini, taruhkan PKS, memacu jumlah populasi mereka dengan cepat. Saya jadi teringat salah satu masalah yang cukup mengkhawatirkan Israel saat ini adalah cepatnya pertumbuhan populasi orang Arab-Israel berbanding orang Israel umumnya yang sekuler, maju, dan terdidik.

Ini bukan lelucon, kira-kira begitulah Saiful mewanta-wanti. Sebab selama ini, orang sekuler tidak perhatian terhadap keluarga, sibuk dengan aktivitas mereka, malas kawin, dan kalau kawin pun, malas punya anak. Karena itu, bagi Saiful, optimisme Celi dan Rizal P sehari sebelumnya pantas untuk diragukan. Diskusi terbuka kembali. Saiful yang membuka tabir itu. Ia bagai mendapat wahyu lalu memberi fatwa tepat saat berada di meja presentasi.

Bagi saya pribadi, tesis besar Saiful itulah pusat pembicaraan yang perlu didiskusikan. Tapi Gadis Arivia yang tampil sebelum Saiful bicara soal pasca-sekularisme, hampir mirip dengan pembicaraan Franky sebelumnya. Saya merasa, Gadis bicara apa yang seharusnya, bukan apa yang seadanya. Ia berkaca pada kasus Iran dan Afganistan lewat dua novel Reding Lolita in Teheran dan Kite Runner. Tampak ia mengkhawatirkan nasib sekularisme sembari berharap kita semestinya sudah melampaui itu. Tapi uraiannya mengena pada tema malam itu, tentang tantangan sekularisme. Katanya, kita hanya ingin menjaga jernihnya kolam kita bersama untuk tetap bisa dimasuki dan direnagi oleh semua kalangan, baik yang sekuler maupun nonsekuler, yang berjilbab maupun tidak berjilbab. Tapi, di Indonesia kini, banyak indikasi ingin mencemari kolam itu.

Kita memang ingin melampaui sekularisme, tapi faktanya kita belum melampaui itu, kata Saiful. Ungkapan Saiful ini sekaligus membantah harapan Gadis dan juga tesis Franky tentang masyarakat pasca-sekularisme. Saiful menandaskan bahwa masa depan sekularisme cukup gelap. Tapi apakah kita akan menyaksikan orang-orang mengucapkan rest in peace terhadap sekularisme?

Bagi Martin, menanggapi saya yang bertanya pada Saiful yang bagi saya mengandaikan sejarah akan berjalan linear dan seakan-akan tidak ada dinamika dan perubahan orientasi pada kedua pihak, yang tumbuh sekuler dan nonsekuler, mengingatkan, studi Yudi Latif tentang Perkembangan Inteligensia Muslim Indonesia justru menunjukkan bahwa dalam seratus tahun terakhir, intelektual Islam di Indonesia justru merasa baju Islam terlalu sempit. Dia mengutip ungkapan Amien Rais. Karena itu, Martin merasa, dalam tubuh umat Islam pun ada pergulatan dalam memilih baju yang sesuai.

Selebihnya, Martin lebih fokus pada pembicaraan bagaimana pandangan dunia sekuler tumbuh dalam konteks kekristenan Indonesia sejak zaman Belanda. Untuk melompat ke masa sekarang, setelah reformasi, orang Kristen Indonesia justru menyaksikan fundamentalisme yang tidak hanya anti-sekularisme, tapi juga anti-Kristen, terutama dalam kasus-kasus kekerasan terhadap umat Kristen sejak reformasi bergulir.

Dadi Darmadi tidak banyak mengeluarkan pandangan baru. Dia hanya mengutip kekhawatiran Paus Benediktus yang tampak gundah akan sekularisme dan mengharapkan umat Katolik menemukan kembali identitas dirinya. Kediktatoran relativisme, itulah yang dilihat Paus dalam sekularisme. Selebihnya dia ngomong kurang terfokus, mungkin karena dia juga baru dihubungi untuk bicara tiga hari sebelumnya, untuk menggantikan Saiful. Eh, ternyata Saifulnya juga datang dan justru menjadi bintang yang tiada taranya malam itu.

Sesi tanya jawab dan tanggapan tidak banyak yang menarik, kecuali munculnya beberapa penanggap dari suporter Gadis Arivia dan aktivis Kapal Perempuan yang terus bilang "Jangan berwacana terus". Mari aksi! Mahasiswi filsafat UI yang cakep-cekep juga datang untuk memberi support kepada godmother mereka, Gadis Arivia. Mereka inilah yang tampaknya dapat disebut sejumput masyarakat pascasekular yang diomongin Gadis sebelumnya. Tapi mereka berada dalam samudera masyarakat antisekularisme dan mungkin juga prasekularisme.

Pendek kata, diskusi malam terakhir itu tak kalah menariknya dari malam sebelumnya, kalau bukan malah lebih menarik. Moral JIL terus terangkat, dan jemaah tampak terus bertambah. Mbak Amanda ingin acara seperti itu terus diadakan tiap bulan. Mbak Tamalia Alisyahbana juga berharap hal serupa. Saya minta Amanda mencarikan uangnya, katanya akan membantu. Intinya, JIL never die. Panjang umur Jaringan Islam Liberal...!

No comments:

Post a Comment