’In the Wee Small Hours’
Teman-teman, saya muat catatan pinggir TEMPO edisi 6-12 Oktober 2008 di sini. Selamat membaca.
IZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur, seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.
Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho), ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.
Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pukul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.
Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pula. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan beberapa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru tidak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat. Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya adakah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang ”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika disandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah kita alami?
Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mungkin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia semacam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang menyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu.
Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan kedamaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendirian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberondong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah selingan dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat kedamaian hal yang lumrah.
Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Krakatau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu menutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Tahun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”. Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis sebuah sajak yang memukau, Darkness.
…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
tanpa sinar, tanpa jalur,
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…
Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementara Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya.” Angin pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam Semesta itu sendiri. She was the Universe.”
Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah sebabnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga keterbukaan.
Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain, kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi, ”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir sejenak seperti sesuatu yang abadi.
Goenawan Mohamad
Musdah Mulia dan Nikah Beda Agama
ReplyDeleteOleh : Abi Waskito 13 Oct 2008 - 7:00 pm
Akhir-akhir ini sangat banyak masalah yang dihadapi Ummat Islam Indonesia. Selesai satu persoalan, segera muncul persoalan-persoalan lain. Sementara respon kita atas masalah-masalah itu rata-rata lambat, lemah, dan sporadis. Saat suara kalangan Islam phobia bisa berpengaruh kuat mengarahkan kebijakan publik, maka suara dakwah Islam terdengar sangat lemah. Hal semacam ini terjadi berulang kali menyebabkan kekalahan-kekalahan di berbagai medan pertarungan pemikiran melawan ideologi-ideologi sekuler.
Pada gilirannya nanti, kekalahan itu semakin terakumulasi, meresap dalam, mengkristal, dan akhirnya terstrukturisasi dalam bentuk kekalahan peradaban. Di titik itu, seruan-seruan para dai seperti “angin yang membentur karang”, tidak didengar, tidak dihargai, hanya diacuhkan saja.
Saat kita merasa sepele atas serangan-serangan yang terus dilancarkan kalangan Islam phobia (apapun ideologi mereka); atau kita terlalu paranoid sehingga tidak berani berbuat apapun, meskipun sekedar bersuara; atau kita selalu berlindung di balik alasan “sekarang belum waktunya”; sebenarnya saat itu kita sedang bersungguh-sungguh menggali kekalahan Islam, sedalam-dalamnya. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Lihatlah, betapa kreatifnya para pemuda Islam saat mencari alasan, hujjah, atau dalil untuk menghindari resiko perjuangan. Mereka terus mencari-cari udzur (alasan pembenar), bahkan udzur yang sangat mustahil sekalipun; pada saat yang sama mereka mencela para munafikin Madinah yang selalu meminta udzur kepada Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam. Saat ini, kegemilangan Islam hanya tinggal retorika saja, tanpa wujud dan eksistensi. Memalukan memang; tetapi apalah artinya rasa malu ketika kita telah terbiasa menikmati hidup tanpa perasaan itu, dimanapun dan kapanpun. Allahu Akbar, walillahil hamdu.
Ya Allah, kuatkanlah diri kami, luaskanlah rahmat-Mu, lindungi kami dari kezhaliman musuh-Mu. Semata kepada-Mu kami menghiba dan mengadukan kemalangan diri. Ya Allah, tidak ada yang sia-sia dalam kesungguhan, kepedulian, dan pengorbanan, sebab Engkau tidak menyalahi janji. Rahmati kami ya Rahmaan ya Rahiim. Allahumma amin.
Propaganda ‘Nikah Beda Agama’
Tanggal 29 September 2009, pukul 19.30, TVOne menayangkan sebuah acara menarik, Islam Agama-ku. Acara ini semacam diskusi kritis menghadirkan dua narasumber yang berbeda pandangan, lalu diselingi lagu-lagu pop Muslim. Tema yang diangkat, Pernikahan Beda Agama dalam Hukum Islam. Narasumber utama, Prof. Dr. Musdah Mulia, guru besar UIN Jakarta, dan sebagai pembanding ialah Ustadz Surahman dari PKS.
Siapapun yang sering mengikuti berita-berita seputar tingkah-polah Musdah Mulia, pasti tidak merasa aneh jika dia berbicara dalam diskusi di atas. Musdah adalah salah satu “penyejuk mata” kaum Liberaliyun di Indonesia. Dia ketua tim perumus Counter Draft Kompilasi Hukum Islam (CDKHI) yang hendak mengeliminasi peranan Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dia pernah menerima penghargaan dari Menlu Amerika, Condoleeza Rice atas jasa-jasanya dalam menyerang Syariat Islam. Belum lama lalu dia melontarkan fatwa menghebohkan, katanya Islam memrbolehkan homoseksual. Tentu saja, Musdah bersama penganut agama Liberal lain, berbaris rapi “kal bunyanun marsus” menolak UU Pornografi. Perlu juga dicatat, Musdah Mulia ini mantan tokoh Fatayat NU, asal Makassar.
Teringat saran seorang ustadz di Bandung. Kalau ada orang yang sangat bandel dalam membela kesesatan, mula-mula dia harus dinasehati. Kalau tidak mempan, lakukan adu hujjah untuk menjelaskan kesesatannya. Kalau itu pun tidak mempan, ya sudah, dipegang saja kepalanya, lalu dibacakan Ayat Kursi. Bisa jadi, dia memang “kemasukan jin”, jadi harus di-ruqyah. Tapi ini hanya intermezzo, lho.
Seperti biasa, Musdah Mulia mendukung pernikahan antar agama dengan sekian banyak alasan. Bukan hanya mendukung, dia sangat bersemangat mengkritisi pandangan jumhur kaum Muslimin selama ini yang melarang nikah beda agama. Dalam diskusi itu Musdah memakai berbagai jurus argumentasi, sehingga terlihat seolah pandangannya benar. Bagi orang awam, alasan-alasan Musdah bisa menipu, sehingga mereka mendukung pernikahan beda agama.
Di antara alasan yang dipakai Musdah Mulia untuk mendukung pendapatnya, kurang lebih sebagai berikut:
(1) Selama ini tidak nash yang qath’i (tegas) dalam Al Qur’an atau As Sunnah yang melarang pernikahan beda agama. Kalaupun ada larangan, hal itu hanyalah intepretasi (penafsiran) para ulama. Tau hasil ijtihad ulama.
(2) Tidak ada ayat yang melarang Muslim menikah dengan non Muslim. Kalaupun ada adalah larangan menikah dengan orang musyrik dan kafir. Sementara definisi musyrik, kafir, dan ahlul kitab itu beragam menurut para ulama. Muhammad Abduh menganggap siapapun yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, mereka juga ahlul kitab.
(3) Pandangan para ulama dalam masalah nikah beda agama, tidak bersifat tunggal, melainkan beragam. Jadi, pandangan mereka relatif, tidak bersifat mutlak.
(4) MUI Jakarta tahun 1996 pernah memperbolehkan pernikahan beda agama, karena waktu itu banyak kasus pernikahan beda agama (alasan Sosiologis). Tetapi tahun 1997, fatwa MUI Jakarta itu dicabut lagi. Artinya, MUI pun pernah membolehkan nikah beda agama.
(5) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Al Azhar Mesir, larangan Muslimah menikah dengan non Muslim, karena khawatir mereka nanti akan terpengaruh oleh agama suaminya. Sementara menurut Musdah, dari hasil penelitian dosen UIN Jakarta (kolega Musdah), 80 % anak-anak yang ibunya menikah dengan non Muslim, ikut agama ibunya (Islam).
Selain pandangan di atas, Musdah juga mengatakan beberapa pandangan tambahan di bawah ini, yaitu:
(a) Kalau niatnya berdakwah, seharusnya kita mendorong agar para Muslimah banyak menikah dengan non Muslim, sebab hal itu nanti bisa menarik non Muslim serta anak-anaknya menjadi Islam juga.
(b) Musdah mempertanyakan, “Kata siapa masalah nikah beda agama sudah selesai?” Kesimpulan seperti itu kata dia justru menutup lahirnya ijtihad yang cemerlang. Dan kenyataan seperti inilah yang membuat Islam –masih kata Musdah- mengalami kemunduran peradaban sejak abad 12 Masehi.
(c) Hukum halal-haram yang ada selama ini hanyalah produk intepretasi manusia (ulama)? Bukan wahyu dari Allah. Jika memang intepretasi ulama itu berharga, mengapa ulama-ulama kontemporer yang berpemikiran progressif tidak dihargai, padahal mereka juga berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah?
Demikian kurang lebih pokok-pokok pemikiran “pahlawan” penghujat Syariat Islam ini. Kalau mau jujur, pemikiran dia hanya mengulang-ulang lagu lawas kaum pemeluk agama Liberaliyyah. Semoga Allah Al Hadi membimbing mereka kembali ke jalan Islam. Allahumma amin.
Ummat Islam Perlu Hati-hati
Ummat Islam harus berhati-hati saat menghadapi berbagai propaganda pemikiran non Islam, Liberalisme. Anda sekalian harus berhati-hati saat berhadapan dengan tokoh-tokoh pemikir seperti Musdah Mulia itu. Kalau ilmu kita memang tidak cukup, hati kita masih ragu-ragu, sebaiknya jangan mendengar atau membaca tulisan orang-orang keblinger itu. Khawatir nanti Anda akan terseret dalam arus keraguan yang tidak menentu. Jika akhirnya Anda berhadapan dengan isu-isu meragukan yang menyusahkan hati, silakan menulis e-mail ke alamat ini: langitbiru1000@gmail.com Meskipun disini tidak menjanjikan solusi tuntas, setidaknya mari kita berdiskusi untuk menguraikan masalah keraguan, sehingga Allah Ta’ala memberikan jalan keluar. Allahumma amin).
Di mata orang awam, generasi muda yang masih baru belajar agama, atau dai-dai “populis”, apa yang dikemukakan Musdah Mulia dkk. bukanlah masalah ringan. Ia bisa mengguncang keimanan. Na’udzubillah min dzalik. Maka janganlah segan-segan bertanya kepada ulama-ulama yang terkenal lurus dan istiqamah, saat berhadapan dengan pemikiran-pemikiran tercela itu.
Dari hasil pengamatan saya selama ini, para “jurkam” kesesatan itu rata-rata orang berintelijensi tinggi. Contoh, Si Mbah Dur. Dia bukan orang biasa, bukan orang bodoh, tetapi intelijensinya tinggi. Termasuk kemampuan retorika, analisis, dan humornya diakui banyak kalangan. Tetapi, dia juga manusia “gedhe ambek”, gampang marah-marah, terutama setelah manuver-manuver politiknya gagal melulu. Berkali-kali dia tebar ancaman ini itu, tetapi ternyata gak ngaruh. Dulu, dia pernah mengancam akan kirim sekian ribu jin untuk mengamankan kursi kekuasaannya, tetapi hasilnya nihil. Meskipun begitu, dia selalu dipuja-puji oleh media-media massa sekuler di Indonesia. Seandainya Mbah Dur melakukan poligami, saya yakin dia tetap akan dibela oleh media-media massa sekuler. Mbah Dur berbeda dengan Aa Gym. Tokoh itu sudah dianggap sebagai “pawang sekularisme” di Indonesia.
Dalam acara berjudul aneh, Islam Agama-ku di atas, Musdah Mulia mengerahkan sekian banyak jurus-jurus debatnya. Bagi orang yang tidak teliti, besar kemungkinan akan terbawa alur argumentasi dia. Inilah makanya kita perlu hati-hati, jangan asal menelan pendapat-pendapat kaum the stranger semacam itu.
Larangan Menikah Beda Agama
Sungguh terlalu kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa tidak ada ayat-ayat yang secara tegas melarang pernikahan beda agama. Dia menuduh, pemikiran-pemikiran dalam hal ini umumnya hanyalah intepretasi ulama. Padahal dalam Al Qur’an bukan hanya di satu tempat disebutkan larangan pernikahan beda agama.
Dalam Surat An Nuur disebutkan pedoman yang bersifat umum: “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik.” (An Nuur: 24).
Tentu saja, kekejian kekafiran dan kemusyrikan lebih berat daripada kekejian maksiyat, seperti mencuri, berjudi, zina, minum khamr, bahkan membunuh. Dalam Al Qur’an disebutkan kalimat terkenal, “Wal fitnatu asyaddu minal qatli” (dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan). Yang dimaksud fitnah disini adalah syirik, kekafiran, dan kekacauan yang meluas. Dosa maksiyat sangat mungkin diampuni, tetapi tidak bagi dosa syirik “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni siapa yang mensyirikkan-Nya, dan Dia mengampuni yang selain itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang mensyirikkan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (An Nisaa’: 48).
Kemudian dalam Surat Al Baqarah disebutkan larangan bagi Ummat Islam menikahi kaum musyrikin. “Janganlah kalian menikah wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. Seorang budak wanita Mukminah, dia lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun dirinya (wanita musyrik itu) menakjubkan kalian. Dan janganlah menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita Muslimah) sampai mereka beriman. Seorang budak laki-laki Mukmin lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik, meskipun dia (laki-laki musyrik itu) menakjubkan kalian. Mereka itu (orang-orang musyrik) mengajak (kalian) ke neraka, sedangkan Allah mengajak (kalian) ke syurga dan ampunan, dengan ijin-Nya. Dan Dia menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka mengambil pelajaran.” (Al Baqarah: 221).
Dalam ayat di atas jelas-jelas disebutkan, bahwa Ummat Islam secara mutlak tidak boleh menikahi wanita musyrik dan tidak boleh menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik. Alasannya jelas, orang-orang musyrik itu hanya akan mengajak kita terjerumus ke neraka. Na’udzubillah min dzalik.
Dalam ayat lain, orang-orang beriman dilarang menikah dengan pezina dan orang musyrik. “Seorang laki-laki pezina, dia tidak menikahi melainkan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina, tidak menikahinya, melainkan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan hal itu (menikahi pezina dan musyrik) bagi orang-orang Mukmin.” (An Nuur: 3).
Jelas sekali bunyi ayatnya, “Wa hur-rima dza-lika ‘alal mu’minin” (dan diharamkan hal itu atas orang-orang Mukmin). Nah, ayat yang seperti ini, menurut Musdah Mulia, “Itu hanya penafsiran para ulama.” Wih, luar biasa kesimpulan orang ini. Dia tidak mengerti ilmu Islam, sampai hal- hal paling dasar sekali pun. Ayat itu sangat jelas artinya, tapi masih di-ulet-ulet sesuka hati. Seorang guru besar ilmu agama, tetapi kualitas seperti manusia tidak berakal.
Dalam ayat lain disebutkan larangan tegas. “Maka jika kalian mengetahui bahwa mereka itu wanita-wanita Mukminat, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada para kuffar (suami-suami kafir mereka di Makkah). Tidaklah mereka (wanita-wanita Mukminah itu) halal bagi mereka (kuffar), dan tidak pula mereka (kuffar) itu halal bagi mereka (wanita Mukminah). Dan bayarkanlah kepada mereka (suami-suami kuffar itu) apa yang telah mereka infakkan (berupa mahar perkawinan terhadap wanita-wanita Mukminah itu). Dan tidak berdosa bagi kalian menikahi wanita-wanita Mukminah itu, jika telah kalian tunaikan mahar kepada mereka.” (Al Mumtahanah: 10).
Jelas tampak disana, “Laa hunna hillu lahum, wa laa hum yahilluna la hunna” (tidaklah wanita-wanita itu halal bagi mereka [laki-laki kuffar], dan tidak pula mereka [laki-laki kuffar itu] halal bagi mereka [wanita-wanita Mukminah]). Kata “laa hillu” atau “laa yahilluna” itu artinya: Tidak halal. Tidak halal itu artinya haram; haram itu artinya berdosa; berdosa itu artinya mendapat ancaman siksa Allah. Apakah untuk hal-hal seperti ini Musdah masih akan berkata, “Itu hanya intepretasi para ulama.” Ya Allah ya Karim, kalau seperti itu komentarnya, sebaiknya gelar guru besar Musdah Mulia segera dicopot. Dia tidak pantas disebut ahli Islam. Dia harus belajar bahasa Arab lagi di tingkat Ibtida’iyyah. Sangat mengerikan!
Ayat Al Mumtahanah ini luar biasa. Secara prinsip sudah diutarakan dulu sikap tegas Islam dalam soal pernikahan dengan kuffar. Kemudian hal itu ditambah dengan solusi ekonomis, yaitu Ummat Islam disuruh membayar mahar yang telah diberikan oleh laki-laki kuffar itu sebelumnya. Artinya, pernikahan mereka dibatalkan, dan mahar dikembalikan secara ksatria. Perlu juga dicatat, kata-kata yang digunakan dalam ayat ini “kuffar” bukan “musyrik”. Itu harus dicatat dengan jelas! Dapat disimpulkan, wanita Muslimah itu haram dinikahi laki-laki kuffar, siapapun dirinya.
Kalaupun ada toleransi, ialah pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab. Dasarnya sebagai berikut: “(Dan dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia dari kalangan wanita Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang telah diberi Al Kitab sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, dengan maksud menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka sebagai wanita simpanan (gundik). Maka siapa yang kafir terhadap al iman (hukum-hukum Allah), sungguh telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk orang yang merugi.” (Al Maa’idah: 5).
Ayat ini memperbolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani), sebagaimana kita boleh memakan makanan (sembelihan) mereka. Tetapi hal itu hanya berlaku bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, bukan sebaliknya. Musdah Mulia mengkritisi, “Dalam ayat ini tidak ada larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim. Disana hanya disebutkan, laki-laki Muslim boleh menikahi ahli kitab.”
Disini kita menangkap betapa kacau cara berpikir Musdah Mulia. Kacau sekali, hingga anak kecil pun tidak akan terjerumus kedegilan seperti itu. Hanya karena dalam ayat di atas disebutkan, “Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab,” dia ngeyel menyimpulkan, “Lihatlah, tidak ada larangan bagi Muslimah menikah dengan non Muslim?” Ya Allah ya Karim, kita seperti menghadapi anak kecil yang bandelnya tidak sembuh-sembuh.
Kalau dari ayat di atas kita menyimpulkan, “Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab,” jelas ayat itu sendiri sebagai dalilnya. Tetapi jika hal itu hendak diteruskan dengan menyimpulkan, “Kalau begitu wanita Muslimah boleh menikah dengan laki-laki non Muslim,” atas dasar apa kita menetapkannya? Apakah dalam ayat tersebut ada dalil yang membolehkan hal itu? Bagian mana dalilnya? Tidak ada sama sekali! Lalu untuk apa menetapkan hukum yang tidak ada dalilnya? Justru disini sangat tampak, bahwa saat Musdah menghalalkan nikah beda agama, hal itu muncul dari intepretasi pikiran dia sendiri, bukan berdasarkan dalil Syariat. Siapa yang menuduh, siapa yang pecundang?
Untuk menetapkan hukum halal-haram, harus jelas dalilnya, tidak boleh berdasarkan intepretasi pribadi. Kita ini hanya melayani Wahyu Allah, bukan melayani hawa nafsu dan jahiliyyah. Seandainya, dalam ayat Al Maa’idah ayat 5 itu tidak ada dalil pengharaman bagi wanita Muslimah menikah dengan non Muslim, pengharaman itu sudah dibahas di ayat-ayat lain. Lihat kembali An Nuur 24, Al Baqarah 221, An Nuur 3, dan Al Mumtahanah 10. Kalau Musdah menolak keberadaan ayat-ayat lain, dengan hanya berpatokan kepada Al Maa’idah ayat 5, berarti dia sudah sampai di titik nazhir kehancuran akal paling mengenaskan. Wis, tidak ada gunanya ngomong sama wong bodo ini! Lebih baik kita bikin teh hangat dan ngobrol sama teman.
Menikahi Wanita Ahli kitab
Secara umum, menikahi wanita ahli kitab itu boleh. Dalilnya adalah Surat Al Maa’idah ayat 5 di atas. Makanan Ahli kitab halal, begitu pula menikahi wanita mereka, juga halal. Disini perlu dilihat lebih dalam, biar tidak salah arah.
Siapakah ahli kitab? Apakah ahli kitab masih ada sampai saat ini? Apakah setiap agama yang punya kitab suci bisa disebut ahli kitab?
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ahli kitab itu adalah Yahudi dan Nashrani. Yahudi mengikuti Taurat (=Perjanjian Lama atau Old Testament), Nashrani mengikuti Injil (=Perjanjian Baru atau New Testament). Hukum-hukum Syariat bagi ahli kitab masih berlaku atas mereka. Banyak orang berpandangan bahwa ahli kitab sudah tidak ada lagi. Ia hanya ada di jaman Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam, ketika mereka masih memegang Taurat atau Injil yang masih asli. Kalau sekarang, isi Taurat dan Injil sudah banyak dipalsukan.
Tetapi kesimpulan seperti itu perlu dikritisi:
(1) Pemalsuan Taurat dan Injil sudah terjadi sejak sebelum jaman Rasulullah. Bukan hanya terjadi saat ini. Hal itu banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Kalau kitab mereka tidak diselewengkan sejak awal, lalu apa gunanya Al Qur’an diturunkan? Bukankah salah satu misi diturunkannya Al Qur’an ialah meluruskan penyimpangan dalam kitab-kitab itu?
(2) Jika ahli kitab di masa lalu berpegang kepada kitab-kitab yang masih asli, belum dipalsukan, berarti mereka adalah Muslim, sama seperti kita, hanya berbeda Nabinya. Orang-orang seperti itu, ketika mereka mengetahui kebenaran Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam biasanya akan masuk Islam. Artinya, mereka itu sama-sama beriman, jadi mereka serupa dengan kita, hanya Syariat-nya yang berbeda. Otomatis dalam perkara muamalah tidak ada keraguan berinteraksi dengan mereka.
(3) Jika Yahudi dan Nashrani tidak diakui sebagai ahli kitab, lalu siapa yang disebut ahli kitab dalam Al Qur’an? Apakah kaum itu sudah lenyap ditelan bumi? Lalu bagaimana dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak berbicara tentang ahli kitab? Akan dikemanakan ayat-ayat yang banyak itu?
(4) Di bawah sebuah negara Islam, orang musyrik dilarang tinggal di dalamnya, sedangkan ahli kitab diperbolehkan, asal mereka tunduk kepada Syariat Islam. Mereka kemudian disebut ahludz dzimmi. Jika Yahudi dan Nashrani dianggap sebagai musyrik (bukan ahli kitab), apakah mereka tidak boleh tinggal di negeri Islam? Padahal sejak jaman Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam di Madinah sampai jaman Turki Utsmani, Yahudi atau Nashrani boleh tinggal di negeri Islam, selama membayar jizyah.
(5) Anda harus mengetahui, bahwa pemeluk agama Yahudi berbeda dengan Nashrani. Mereka itu mengakui Keesaan Allah, bukan penganut Trinitas dan semacamnya. Meskipun tentu dengan segala kesesatan teologis yang ada dalam agama mereka. Dari sisi Tauhid, Yahudi lebih dekat dengan kita, meskipun agama mereka tetap sesat dan rusak. Bahkan Yahudi juga mengharamkan babi, berbeda dengan Nashrani. Tidak bisa kita mengatakan mereka sebagai musyrik, menyamakan dengan Hindu, Budha, Sinto, dsb.
Salah satu cara untuk mengetes keberadaan Ahli kitab. Misalnya, suatu saat Anda diundang untuk menghadiri ceramah seorang pendeta Hindu, dengan tema kehebatan dewa-dewa Hindu. Anda dipersilakan datang ke ceramah itu dengan memilih satu dari dua teman: Seorang Kristen atau Budha. Kira-kira menurut Anda lebih baik memilih orang Kristen atau Budha? Saya yakin, Anda akan memilih seseorang yang lebih dekat kemiripannya dengan agama Anda (yaitu Kristen).
Jadi singkat kata, ahli kitab itu masih ada sampai saat ini. Mereka adalah Yahudi dan Nashrani, meskipun nama dan sektenya bermacam-macam. Siapapun yang beriman kepada Taurat dan Injil, mereka Ahli kitab. Adapun orang-orang beragama Hindu, Budha, dll. yang konon juga memiliki kitab suci, mereka tidak disebut ahli kitab, tetapi disebut musyrikun. Pengertian “al kitab” dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Musa dan Isa ‘alaihimassalam. Jangankan penganut Hindu, Budha, Konghuchu, dll. para pengikut Nabi-nabi di masa lalu saja, di era sebelum Musa ‘alaihissalam, mereka tidak disebut ahli kitab. Jadi tidak alasan menerima orang-orang musyrik sebagai ahli kitab.
Seandainya laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, tidak berarti Islam membuka kran kebebasan seluas-luasnya. Dalam ayat di atas tergambar dengan baik syarat-syarat yang diinginkan oleh Islam.
“(Dan dihalalkan bagi kalian menikahi) wanita-wanita mulia dari kalangan wanita Mukminat dan wanita mulia dari kalangan orang-orang yang telah diberi Al Kitab sebelum kalian, jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, dengan maksud menjaga kehormatan, bukan berzina atau mengambil mereka sebagai gundik-gundik (wanita simpanan). Maka siapa yang kafir terhadap al iman (hukum-hukum Allah), sungguh telah batal amalnya dan di Akhirat dia termasuk orang yang merugi.” (Al Maa’idah: 5).
Karakter wanita ahli kitab yang boleh dinikahi adah muh-shanat, wanita yang menjaga kehormatan. Bukan wanita sembarangan, apalagi tukang zina. Na’udzubillah min dzalik. Lagi pula mereka disebut setelah “wanita mulia dari kalangan Mukminat”. Wanita ahli kitab itu menempati prioritas setelah wanita-wanita Mukminat. Artinya, jika masih banyak wanita-wanita Muslimah yang belum menikah, mengapa kita harus menengok wanita-wanita ahli kitab itu? Cobalah lihat, meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab diperbolehkan, upaya menjaga keimanan laki-laki Muslim tetap dilakukan, dengan cara tidak menikahi wanita ahli kitab sembarangan.
Dalam konteks jaman sekarang, tidak mengapa menikah dengan wanita-wanita yang berakhlak mulia dari kalangan Yahudi atau Nashrani. Tetapi dengan syarat: Satu, laki-laki Muslim yang menikahi wanita itu, hendaklah orang-orang yang kuat ilmunya dan kokoh hatinya (saat menghadapi keluarga sang wanita); Dua, niatan laki-laki itu menikahi wanita tersebut, adalah untuk mengislamkannya. Alhamdulillah, jika bisa sekalian mengislamkan keluarganya; Tiga, jika dalam pernikahan, wanita itu ternyata tidak mau masuk Islam, malah ingin menyeret suami dan anak-anaknya ke dalam kekafiran, maka dia harus diceraikan. Jika sudah diceraikan, sebaiknya tidak perlu ada rujuk, kecuali kalau dia mau masuk Islam. Pernikahan dengan wanita ahli kitab tanpa visi seperti ini hanyalah buang-buang energi dan hanya memerosokkan diri dalam kesulitan materi dan kepayahan batin. Na’udzubillah min dzalik.
Kritik Lain untuk Musdah
Musdah mengatakan, bahwa pendapat para ulama beragam dalam soal nikah beda agama. Saya katakan, “Sebenarnya tidak beragam, sebab ayat-ayat yang berbicara larangan menikah beda agama itu sangat tegas. Tidak membutuhkan tafsir lagi. Sudah terlalu jelas untuk ditafsirkan. Bahkan tanpa pendapat ulama sekali pun, kita telah mendapati hukum yang jelas disini.”
Dari ayat-ayat itu dapat disimpulkan, sebagai berikut: ((o)) Menikah dengan orang musyrik (baik laki-laki maupun perempuan) adalah haram; ((oo)) Wanita-wanita Muslimah haram menikah dengan laki-laki kuffar [baik musyrik maupun ahli kitab]; ((ooo)) Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang berakhlak mulia. Kesimpulan seperti ini tidak membutuhkan tafsiran yang njelimet. Sudah jelas, tegas, lugas, dan tuntas! (tidak perlu tambahan “panas” dan “ganas”).
Mungkin, yang dimaksud keragaman pendapat ulama oleh Musdah adalah termasuk pandangan tokoh-tokoh rasionalis atau pemikir Liberal masa kini. Ya, kalau dikaitkan dengan mereka jelas beragam, bahkan mungkin kontradiksi. ulama. Mereka tidak sebanding dengan ulama-ulama kaum Muslimin yang telah diakui pandangan-pandangannya. Kalau para ulama Ahlus Sunnah beragam pendapatnya, Musdah harus menunjukkan bukti-buktinya. Jangan hanya berkilah, “Menurut para ulama,” sementara dia masukkan orang-orang Liberal di dalamnya.
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam memberikan contoh yang sangat baik. Dari sekitar 12 isteri beliau, tidak ada satu pun yang kafir, tidak ada satu pun wanita musyrik. Beliau menikahi seorang wanita dari kalangan Kristen Koptik, yaitu Maria Qibthiyyah radhiyallahu ‘anha. Semula beliau Nashrani, lalu masuk Islam. Rasulullah juga menikahi Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, mantan isteri seorang tokoh Yahudi Madinah. Setelah dinikahi, beliau masuk Islam. Selebihnya yang beliau nikahi adalah wanita-wanita Mukminah.
Musdah mengatakan, bahwa rata-rata alasan pelarangan menikah beda agama adalah agar tidak terjadi reduksi keimanan; seorang suami terpengaruh isterinya yang non Muslim, atau seorang isteri terpengaruh suaminya yang non Muslim. Pendapat ini tidak benar! Alasan larangan menikah beda agama adalah karena adanya dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Sunnah tentang pernikahan seperti itu. Soal akibat akan menimbulkan reduksi keimanan, disharmoni keluarga, perceraian, dll., itu masalah lain. Patokan utamanya adalah dalil Syar’i, bukan karena alasan dampak buruk pernikahan beda agama itu sendiri.
Masalah “nikah beda agama” adalah persoalan yang sudah selesai. Tetapi Musdah menolak kesimpulan itu, dan beranggapan bahwa disini masih diperbolehkan ijtihad. Saya balik bertanya, bagaimana kita akan berijtihad menghadapi ayat-ayat seperti ini: “Laa tankihuu al musyrikat” (janganlah kalian menikahi wanita musyrik); “Wa laa tunkihuu al musyrikin” (janganlah menikahkan laki-laki musyrik); “Ula’ika yad’una ilan naari wallahu yad’u ilal jannah (mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke syurga); “Wa hur-rima dza-lika ‘alal mu’minin” (dan diharamkan hal itu atas orang-orang Mukmin); “Laa hunna hillu lahum, wa laa hum yahilluna la hunna” (tidaklah wanita-wanita Mukminah itu halal bagi mereka [laki-laki kuffar], dan tidak pula mereka halal bagi wanita-wanita itu)? Jika terhadap dalil-dalil seperti ini masih juga dibutuhkan ijtihad, berarti yang bersangkutan tidak mengerti persoalan ijtihad itu sendiri. Yo wis, kalau begitu tidak perlu bicara soal pemikiran Islam lagi. Wong yang bersangkutan tidak mengerti apa-apa tentang Islam. Mereka cuma gedhe gelarnya, tapi cethek ilmunya. (Akan lebih “kuwik” kalau disini dibutuhken peranan daripada ahli ruqyah untuk mengusir daripada “energi negatif” yang menyebabken akibat kesesatan itu).
Kata Musdah, akibat pintu ijtihad ditutup, Islam mengalami kemunduran peradaban sejak abad 12 Masehi. Menurut saya, ini hanyalah bualan kosong yang tidak memiliki arti. Untuk menghasilkan ijtihad yang baik, dibutuhkan syarat-syarat, antara lain: (1) Niatan ikhlas lillahi Ta’ala; (2) Memiliki modal kedalaman ilmu Syar’i dan pengetahuan realitas; (3) Memahami metode penarikan kesimpulan hukum yang lurus, sesuai metode Salafus Shalih; (4) Tujuan ijtihad itu adalah untuk mencari solusi kongkret atas masalah-masalah Ummat, bukan untuk meproduksi masalah-maslaah baru; dan (5) sehebat apapun ijtidah, ia hanyalah pendapat manusiawi, bisa benar bisa salah. Jadi, tidak semua ijtihad lantas bisa diambil, apalagi dari kalangan Liberaliyun. “Ijtihad” mereka selalu ditujukan untuk merongrong agama Allah. Ummat Islam tidak membutuhkan ijtihad seperti itu.
Ideologi Kelompok Musdah
Musdah menyimpulkan bahwa larangan menikah beda agama adalah hasil intepretasi para ulama. Ustadz Surahman menangkis dengan menjelaskan, bahwa intepretasi itu tetap saja berasal dari “qalallah dan qala Rasulullah” (Firman Allah dan sabda Rasulullah). Tetapi Musdah membantah balik, “Kalau begitu pendapat ulama-ulama progressif di jaman sekarang harus diakui juga, sebab mereka juga berdasarkan qalallah wa qala Rasulullah. Mengapa pendapat mereka tidak dihargai?”
Saya kira, inti masalahnya ada disini. Musdah ngeyel dengan pendapatnya, dan kita menolak pandangan-pandangannya. Sejak pangkal masalah sudah tampak perbedaan yang menyolok. Ummat Islam mengikuti metode Salafus Shalih dalam menetapi hukum-hukum Allah, sementara Musdah dan kawan-kawan ingin membuang metode itu. Serangan mereka terhadap metode Salaf sudah sangat dikenal. Mereka sendiri ingin membuat metode sendiri, namanya metode sak enake udele (sesuka hati mereka). Apa saja yang selaras dengan hawa nafsu diambil, sedangkan yang menciderai hawa nafsu ditinggalkan.
Musdah berkeyakinan bahwa kalangan Liberaliyun seperti dirinya juga mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, hanya saja dengan intepretasi yang lebih “maju”, “modern”, “equal”, dan “membebaskan”. Padahal di sisi Allah, semua ukuran itu tidak ada artinya. Allah Maha Kaya, tidak tergiur oleh iming-iming seperti itu. Dia juga tidak meminta kita bersusah-payah memenuhi standar kemajuan, modernitas, equalitas, liberalitas, dll. Kita hanya diperintahkan beribadah kepada-Nya dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. “Wa maa umiru illa liya’budullaha mukhlishina lahud din hunafa’” (tidaklah mereka diperintahkan, melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama secara lurus kepada-Nya). Dan orang-orang seperti Musdah Mulia dkk. itu merasa perih, pilu, menjerit histeris saat disuruh tunduk kepada Rabb-nya. Na’udzubillah min dzalik. Dalam hati-hati mereka telah berdiri bermacam-macam berhala yang mereka ibadahi dengan sepenuh hati dan jiwa; mereka mencintai berhala-berhala itu daripada Allah Ta’ala.
Dalam Al Qur’an disebutkan, “Dan di antara manusia, ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti mereka mencintai Allah, sedangkan orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165).
Nah, inilah inti masalahnya. Tidak sedikit orang-orang yang disebut intelektual, cendekiawan, ilmuwan, bahkan guru besar; mereka memperumit diri dengan membuat standar-standar yang tidak Islami seperti kemajuan, equalitas, modernitas, kebebasan, demokrasi, dll. Mereka perjuangkan semua itu mati-matian. Pada saat yang sama mereka tidak memberikan kepada Allah hak-hak-Nya untuk diibadahi secara tulus murni. Padahal dalam Al Qur’an, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah, Rabb alam semesta.” (Al An’aam: 162).
Bahkan yang sangat ironis, kesesatan mereka tidak berpijak di atas ideologi, tetapi sangat pragmatis, misalnya karena income, proyek, dana bantuan, status sosial, popularitas, akses media, jabatan struktural, dll. Saya teringat perkataan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah tentang pemikir-pemikir liberal di jaman modern, seperti Thaha Husein dan kawan-kawan. Kata beliau, kalau orang sesat di masa lalu masih mau membaca, mengkaji, dan menelaah, maka orang sesat jaman modern malas membaca, ilmunya dangkal. Jadi, seperti tidak bermutu berpolemik dengan orang-orang sesat itu. Kurang-lebih seperti itu pandangan beliau.
Saya sendiri merasa sangat heran dengan manusia-manusia seperti Ulil Abshar, Luthfi Asyaukanie, Zuhairi Misrawi, Abdul Moqsith, dll. Sampai kapan mereka akan terus membohongi diri sendiri? Sungguh, hati kecil mereka mengakui argumentasi-argumentasi para aktivis Islam yang kerap mereka sebut sebagai Thaliban itu. Sebagai pemikir, mereka jelas bisa menilai baik-tidaknya argumentasi ilmiah, sebab dalam kuliah-kuliah hal itu diajarkan. Hanya jika mereka telah berbaiat untuk menjadi agen gerakan deislamisasi, maka segala keraguan itu pun terjawab. Yo monggo wae Mas, selagi masih ada nafas di kandung badan, insya Allah akan kami layani jualan-jualan Sampeyan, bi nashrillah!
Wallahu a’lam bisshawaab.
Bumi Allah, Idul Fithri 1429 H (malam).