Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal
(teman-teman, tulisan ini adalah tulisan mas ulil. saya harap tulisan ini berguna untuk kita semua)
USAI memberikan ceramah di sebuah kantor di kawasan Jakarta Selatan sekitar enam tahun yang lalu, saya bertanya kepada seorang panitia, di mana saya bisa mengambil air wudu dan melaksanakan salat Asar. Saat saya salat, secara lamat-lamat saya mendengar bisik-bisik di balik punggung, "Lho, Mas Ulil kok salat, katanya liberal."
Saat di Boston, saya aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh sebuah kelompok pengajian bernama IQRA. Selain ingin menikmati masakan Indonesia yang dihidangkan oleh ibu-ibu anggota pengajian, saya juga bisa belajar bagaimana teman-teman yang tinggal di Amerika memaknai Islam. Kadang-kadang saya juga memberikan ceramah, tetapi lebih sering menjadi pendengar saja. Kadang saya juga didaulat menjadi imam salat.
Saat Ramadan, seluruh kegiatan buka puasa hampir tak pernah saya lewatkan. Selain isteri saya memang gemar sekali memasak dan ingin berbagi masakan itu dengan teman-teman Indonesia yang lain, saya juga menikmati pertemuan-pertemuan seperti itu karena membuat saya bisa merasakan "getaran" bulan puasa. Ibadah puasa tidak terlalu asyik jika dilaksanakan sepenuhnya secara "personal" dan "soliter". Sejak kecil, saya menikmati puasa sebagai "tindakan kolektif". Pengalaman sosial seperti itu tak saya jumpai selama di Amerika, sebab di sini jumlah umat Islam sedikit sekali.
Dengan mengikuti momen-momen buka puasa atau melaksanakan salat tarawih secara bareng-bareng, saya merasakan kembali "suasana sosial" dalam ibadah puasa. Pengalaman sosial dalam beragama ini bukan hanya khas Islam; dalam agama apapun, dimensi "bebrayan" atau sosialitas ini sangat penting. Pengalaman yang membekas pada para pemeluk agama biasanya bukan sekedar "kesyahduan individual" saat seseorang melakukan meditasi untuk berkomunikasi dengan Tuhan, misalnya dalam sembahyang. Pengalaman yang paling membekas biasanya adalah pengalaman beragama secara sosial itu.
Kelompok paguyuban semacam IQRA atau yang lain memiliki makna yang penting bagi masarakat Muslim yang hidup di luar negeri karena membantu mereka untuk mengalami kembali pengalaman sosial dalam beragama dan beribadah.
Itulah sebabnya, dengan suka cita saya mengikuti kegiatan bulan puasa yang diadakan teman-teman Indonesia di kota Boston. Sekali lagi, saya mendengar bisik-bisik di baik punggung, "Kok Mas Ulil puasa, padahal liberal."
SEJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata "jil" selain enak diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang artinya "generasi". JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya"dibajak" oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama.
Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting.
Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan "negara" yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda.
JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.
Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat "harga mati". Misalnya, saat saya kecil di kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam khutbah.
Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara kiai-kiai NU cenderung konservatif.
Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi, tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat juga menjadi tidak sah pula.
Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat: apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat? Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak? Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang sama sekali tak dipahami?
Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah yang cukup "liberal" dalam kasus khutbah Jumat, umumnya bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini.
Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata cara ibadah bersifat "fixed" alias harga mati. Jumlah rakaat salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya. Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat ta'abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan.
Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, "al-salah mukh-kh al-'ibadah", salat atau berdoa adalah "the crux" atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia, berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan yang penting dalam keislaman yang saya pahami. Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam, maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus.
Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious Experience" itu, beragama yang "genuine" ditandai oleh semacam gejala seperti "flu berat" (acute fever). Beragama yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai pengalaman yang menyerupai "baju bekas", (istilah yang dipakai oleh James adalah second hand religious life).
Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali.
PERBEDAAN mendasar antara saya beserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.
Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti "budak" yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah.
Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali-kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi "afala ta'qilun", apakah kalian tak memakai akal, atau "la'allakum tatafakkarun" atau "afala tatafakkarun", apakah kalian tak berpikir.
Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut ini, "inna syarra al-dawabbi 'inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya'qilun." (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka.
Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat.
Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba'ana kazalika yaf'alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya.
Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang "ngotot" merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat "tipikal" pada semua masyarakat manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman.
Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran.
Itulah "tuli" dan "bisu" yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang-orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.
Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai "syarr al-dawabb", binantang melata yang paling buruk. Kata "dabbah" (bentuk tunggal dari kata "dawabb") secara harafiah berarti "kullu ma yadibbu 'ala al-ard", segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata "dabbah" biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka.
Dengan bersembunyi di balik alasan "tunduk pada perintah Tuhan", orang-orang yang disebut "syarr al-dawabb" itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama.
Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama.
DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya zaman.
Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini.
Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan "petuah" dan "fatwa" ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen, "ma aflaha qawmun wallau amrahum imra'atan." Terjemahan bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal.
Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan berikut ini.
Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin? Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu?
Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk pada perintah Tuhan bukan seperti "budak bego" yang sama sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk kategori "syarr al-dawabb", "the ugliest animal", binatang yang teramat buruk.
Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan, cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini, muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce melalui aparat pemerintah.
Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia? Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek-prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek-praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak perlu meninjau "hukum Tuhan" itu? Bukankah yang penting adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum?
Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana.
Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan.
Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang jelas.
Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja, alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib.
Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu, meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tidak empat, kenapa tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja. Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah anda bisa menghayati spiritualitas yang "genuine" dengan cara ibadah yang anda ikuti itu atau tidak.
Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama: membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber, Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama memiliki cara ibadah yang "arbitrer". Tak ada alasan yang substansial di balik tata-cara ibadah itu.
Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan; yakni beragama yang secara individual menekankan spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah pelajari waktu duduk di madrasah ibtida'iyah (setara dengan SD) puluhan tahun yang lalu.
Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja'a bihi Muhammadun SAW li sa'adat al-insani fi al-'ajili wa al-ajili.
Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui pengembangan spiritualitas yang mendalam. Sementara itu, kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama: yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada kata "kebahagiaan".
Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M), kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa'adah al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan praktis (al-sa'adah al-'amaliyyah) yang diajarkan oleh para nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang bahagia.
Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara "kebajikan" (arete) dan "pengetahuan" (episteme). Dalam konsepsi ini, kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan kebajiikan atau "virtue". Istilah "virtue" ini diterjemahkan dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai "akhlaq". Sementara itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat Islam klasik sebagai "malakah" atau "habitus", yakni kebiasaan yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau "virtue" dalam pengertian "malakah" adalah semacam "etika yang tertubuhkan" (embodied ethics).
Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak bahagia.
Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak bahagia.
Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan "teoretis" dan "praktis" semacam itu.
Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis, sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang, seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau sa'adah.
Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan. Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya, pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir "diteror" oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat, atau khawatir kehilangan "posisi sosial" tertentu.
Kita tak boleh tunduk atau takut pada ancaman kaum radikal-fundamentalis.
Ulil Abshar Abdalla
Hallo Nong,
ReplyDeleteMenarik juga tulisan Ulil yang anda posting disini. Saya yakin anda berpendapat sama dengan beliau, karena di profile anda tulis sebagai salah satu pendiri JIL.
Sebagai seorang yang telah ber-Islam lama, dan cukup memahami dasar-dasar ke-Islaman, saya tergelitik membaca pendapat Ulil tentang ke-Islam liberal-an-nya.
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan:
1. Istilah Fundamentalis/Konservatif; bukankah itu cap yang diberikan kepada umat Islam oleh orang-orang luar? kenapa ini harus diterima dan dijadikan dasar dalam memperjuangkan JIL?
2. Bagaimana dengan pihak-pihak yang memang bermaksud menghancurkan Islam; apa reaksi anda terhadap itu? apa pemikiran anda tentang itu? (sangat jelas lho keberadaanya)
3. Karena saya tahu anda adalah aktivis yang membela Ahmadiyah, Tolong komentari blog dibawah ini (klik aja link-nya).
Juga tentang kampus anda (sangat menarik).
Seperti juga anda dan Ulil, penulisnya adalah seorang yang cerdas dan juga pernah kuliah di IAIN. Pemikirannya kritis, luas, mempunyai komitment yang tinggi dalam moral dan pemikiran Islam.
http://cairobugis.blogspot.com/search?q=iain
http://cairobugis.blogspot.com/2007/11/ahmadiyah-menggerogoti-ummat.html
Salam,
Abu Fatih
assww...
ReplyDeletemembaca tulisan ini (atau membaca tulisan Islam Liberal lainnya) banyak termuat kesan permusuhan dan kesan perseteruan dg org2 islam yg aktif di pergerakan islam indonesia pd dasawarsa ini. (Mas Ulil sering menyebutnya sebagai fundamentalis perkotaan)
saya rasa ada sebuah pengalaman Mas Ulil yg tidak berkenan ketika berbaur dg mahasiswa LIPIA yg kebanyakan adlh org dr background yg selama ini dibencinya. ada apa dg masa lalunya? apakah ketika ia menjadi mahasiswa LIPIA merupakan pembentuk pemikiran Mas Ulil pd era sekarang? saya rasa hal itu sangat mungkin terjadi, walaupun Mas Ulil masih bersahabat dg Anis Matta ataupun Hidayat Nur Wahid.
ada beberapa tulisan mas Ulil yg aku catat tapi ada beberapa kejanggalan diantaranya adalah ketika berbicara ttg JIL: "Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan."
tujuannya memerangi fundamentalis-radikal???? saya yakin (apa yg disebut mas Ulil sebagai ....) kaum fundamentalis-radikal akan semakin kuat dengan keberadaan JIL, bahkan mereka yg sebelumnya banyak terpencar menemukan musuh bersama, yaitu JIL. selain itu wacana yg didengungkan JIL malah menambah jiwa militansi mereka.
kedua, wacana yg didengungkan JIL itu bukan utk membendung arus pemikiran fundamentalis-radikal, tapi mau melenyapkan islam itu sendiri. ibaratnya mau melenyapkan tikus dalam rumah dg membakar seluruh isi rumah. keotentikan qur'an dipertanyakan, ajaran islam dianggap hasil historisitas manusia dan budaya, semua agama adalah benar, malaikat dan Tuhan adl hasil penghayatan suatu kultur dsb.
ketiga, cara membendung fundamentalis-radikal bukan dg cara menggembar-gemborkan wacana vulgar keagamaan (semua org waras tak akan mempercayainya). tapi menuntut mampu melihat peta krisis tanpa prasangka, mendorong peran aktif pihak pemerintah, mampu melakukan pengelolaan konflik yg memadai,serta kebijakan yg adil thd semua golongan dari berbagai sektor.
wassalamu'alaikum wr wb
Ulil masih solat?, tapi meragukan kebenaran Islam, bohong kalau mereka mengatakan hanya melakukan tafsir ulang Alquran.
ReplyDeleteKelihatan sekali orang2 JIL tidak mempunyai pendirian, di satu pihak mereka mengagung-agungkan heremeneutikanya ala Abu Zayd yang sudah dianggap murtad oleh Pengadilan Mesir, orang2 JIL dengan kurang ajarnya meragukan keotentikan Alquran bahkan mereka sering mengejek-ejek Alquran, Nabi, sahabat Nabi dan syariat Islam.
Orang2 JIl adalah manusia yang minder/rendah diri dengan keIslamannya, jadi sebenarnya mereka bukanlah cendekiawan karena mereka tidak memepunyai mental/nyali untuk menampilkan Islam di muka umum.
Mereka dibiayai oleh Barat sehingga konskwensinya harus menurut/menjiplak pikiran atau cara-cara barat yang ingin membuat umat Islam meninggalkan Alquran.
Sebagai contoh: Dalam Alquran dikisahkan bahwa Allah menghukum kaum Nabi Luth karena melakukan homoseksual, tapi dengan gagah berani orang JIL (Musdah Mulia) mengatakan Homoseksual dibenarkan oleh Islam.
Kalau tidak karena dollar, karena apa ini........
Sekarang sudah ketahuan bahwa, mereka bukan orang pintar, tapi mereka adalah orang bayaran, semakin menghina Islam semakin kaya mereka.
Hiiiiiiiiiiiii, rendah sekali harga diri mereka
Namanya juga Liberal...."
ReplyDeleteOleh : Wildan Hasan 01 Sep 2008 - 11:00 pm
Oleh : Wildan Hasan *)
Tanggapan atas tulisan Ulil A Abdala - "Menjadi Muslim dengan perspektif liberal"
Namanya juga refleksi, tidak usah terlalu dianggap serius apalagi diklaim sebagai kebenaran absolut. Karena dalam kamus Mas Ulil dan kawan2 tidak dikenal istilah kebenaran absolut. Semua kebenaran adalah relatif, termasuk kebenaran versi mereka...harusnya.
Bagaimana ini ko terbolak-balik?
menjadi muslim dengan persfektif liberal, menjadi liberal dengan persfektif muslim, menjadi muslim sekaligus liberal atau menjadi liberal sekaligus muslim? mana nu pokok mana nu cabang, mana nu dasar mana nu tambahan, mana yang ushul mana yang furu'? atau mana yang asli mana yang palsu?
penting mana jadi muslim atau jadi liberal? jadi muslim yang liberal atau jadi liberal yang muslim? apa itu muslim, apa itu liberal?
kita seharusnya sebelum berdiskusi harus terlebih dahulu menetapkan batasa-batasan, kriteria, distingsi dan kategorisasi2 dari kata2 kunci yang kita diskusikan. Agar diskusi tidak jadi liar dan membabi-buta.
Muslim adalah hamba Allah yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan haji jika mampu (HR. Bukhari Muslim dari Abdullah bin Umar Ra).
apakah mas Ulil masih minat terhadap hadits ini atau tidak. Atau harus didekonstruksi dulu…
Terus apa arti liberal? Coba tanya apa arti liberal sama mereka. Maka mereka akan sama bingungnya dengan kita. Kenapa? Karena makna ‘liberal’ itu sendiri tidak jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam, padahal konsep ‘batas’ dapat merumuskan kriteria, distingsi dan kategorisasi liberal.
Akibat kaburnya batasan itu adalah timbulnya ide ‘tak terbatas’. Hasilnya, paham liberal cenderung dibangun di atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisisme. Gagasan liberalisme Islam tanpa konsep yang jelas dapat berujung pada gagasan Islam liar yang bersembunyi dibalik jargon kebebasan.
Oleh karena tidak adanya konsep batasan tersebut, maka konsep Islam liberal tersebut menjadi kriteria yang longgar dan kabur. Ketidakjelasan definisi atau deskripsi makna liberal terungkap secara implisit dalam pemikiran Charles Kruzman. Kruzman menggambarkan konsep Islam liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya batasan yang jelas, Kruzman memasukkan nama Yusuf al-Qaradhawi dan M. Natsir sebagai pemikir Islam Liberal. Padahal jelas bahwa karya-karya mereka tidak sesuai untuk disandingkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal yang skeptis.
Strategi Kruzman dalam memaknai Islam liberal dapat disejajarkan dengan strategi Michel Foucaulst (salah satu tokoh rujukan Islam liberal) ketika memahami makna hewan. Foucaulst, yang meninggal karena penyakit AIDS, mengutip sebuah ensiklopedia Cina tertentu yang mengklasifikasikan binatang sebagai berikut; yang dimiliki kaisar, yang dimumikan, yang jinak, babi-babi yang menyusui, yang merayu betina, yang menakjubkan, anjing-anjing yang sesat, yang termasuk dalam klasifikasi sekarang, yang gila, yang tidak dapat dihitung, yang dilukiskan dengan sikat rambut unta yang cantik, yang telah mematahkan teko air dan yang kelihatan seperti lalat dari kejauhan.
Jadi deskripsi Foucault mengenai makna hewan mencerminkan relativitas. Sama halnya dengan definisi Kruzman mengenai ‘liberal’ dalam menggambarkan makna Islam liberal. Implikasi dari ini semua adalah adanya kekaburan makna. Kebenaran akan menjadi kesesatan dan sebaliknya. Keyakinan akan menjadi keraguan dan sebaliknya. Yang haq akan jadi batil, yang batil jadi haq. Yang yakin dijadikan keraguan dan yang ragu dijadikan keyakinan. Inilah hakikat dari strategi postmodernism.
Mas Ulil di tahun 2001 pernah menegaskan bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat. Misalnya, manfaat apa yang dirasakan wong cilik dari perkembangan pemikiran Islam liberal? Dengan demikian, kegiatan pemikiran tidak hanya menjadi kegenitan intelektual belaka yang kegunaannya sebatas untuk kesenangan para aktifis dan pemikirnya. Adakah korelasi Islam liberal dengan pengentasan kemiskinan misalnya? Bukankah mas Ulil dan kawan-kawan (termasuk Rizal Malarangeng) langsung atau tidak termasuk pendukung kebijakan kenaikan harga BBM? Atau mau dibantah, silahkan…
Intinya point paling penting dalam ke-Islaman seseorang adalah meyakini kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasulnya tanpa reserve. Harus dipertanyakan ke-Islaman seseorang yang mengaku rajin solat dan puasa tapi tidak meyakini syariat Islam sebagai kebenaran absolute.
Contoh....
Seorang anak berkata kepada ibu kandungnya; “Ibu saya melakukan perintah ibu, tapi maaf saya tidak meyakini ibu sebagai ibu kandung saya”.
Sebab menurut mas Ulil Tuhan itu bukan hanya Allah-nya umat Islam. Padahal di Qur’an dan hadits bertebaran keterangan qot’i yang menegaskan Allah itu ahad tidak boleh didua dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang yang mensyarikatkan-Nya.
Bagaimana bisa rela seorang ibu kalau anak kandungnya mau melaksanakan perintahnya, tapi tidak yakin bahwa ibunya itu sebagai ibu kandung satu-satunya bagi dia?..
Dekontruksi makna Islam yang dilakukan oleh mas Ulil dan kawan2 sebenarnya merupakan dekontruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad, munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya. Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia , upaya-upaya dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur’an, sunnah, mukjizat dan sebagainya.
Dekonstruksi makna Islam, dan mereduksinya hanya dengan makna “submissiom”, berdampak pada tidak boleh adanya klaim kebenaran (truth claim) pada Islam. Kata mereka, Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Ada banyak agama yang benar. Atau “semua agama yang benar” bisa disebut “Islam”. Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.
Tidaklah mengherankan, jika ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri.
Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep dan lembaga dakwah? Jika seseorang tidak yakin dengan kebenaran agamanya-karena semua kebenaran dianggapnya relatif-maka untuk apa ia berdakwah dan berada dalam organisasi dakwah? Atau makna dakhwah pun harus didekonstruksi agar tidak bertentangan dengan konsep liberal? Kenapa liberal harus mengangkangi dakwah? Dan makna amar makruf nahi munkar didekonstruksi juga?
Pada akhirnya, golongan ‘ragu-ragu’ akan ‘berdakwah’ mengajak orang untuk bersikap ragu juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis keyakinan baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Artinya, hakekatnya, ia memilih sikap untuk tidak beragama, atau telah memeluk agama baru, dengan teologi baru, yang disebut sebagai “teoligi semua agama” atau “agama plularisme.”
Cak Nur sendiri menyatakan bahwa sekularisme itu ialah paham yang tidak bertuhan dan sekularisasi merupakan salah satu gagasan penting-kalau tidak disebut sebagai gagasan utama-kelompok Islam liberal. Maka seorang sekuler yang konsekuen dan sempurna adalah seorang ateis. Jika tidak, akan mengalami kepribadian yang pecah.
Sekedar contoh, jika kita dibolehkan memaknai Islam dan syariatnya semau kita yang mungkin saja berdampak pelecehan terhadap agama…
misalnya, salah satu kitab aliran kebatinan di Indonesia , yang bernama “Darmogandul,” dalam salah satu bait Pangkur-nya menyatakan, “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam kitab itu, “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan dzikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.” (menghina praktek sholat)
Dibagian lain disebutkan, “Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
Inti ajaran Darmogandul :
Yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat ‘sarengat’. Dan ‘sarengat’ artinya: hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.
Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat al-Baqarah sebagai berikut; “zalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit,” “kitabu la” artinya “kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan,” raiba fihi hudan” artinya “perempuan telanjang,” “lil muttaqin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan.” (Perkembangan kebatinan di Indonesia. Hamka, Bulan Bintang, 1971, hlm 22-23)
Katakan kakalu saja kawan-kawan FPI menuntut pemerintah untuk membubarkan aliran kebatinan seperti ini, maka kalangan Islam liberal dengan jargon kebebasannya akan paling depan membela penistaan agama seperti ini. Sama seperti kasus Ahmadiyah.
Soal buka puasa sebagai tindakan kolektif mah terserah. Itu soal perasaan tidak perlu jadi dalil wajib atau haramnya buka puasa sendirian atau berjama’ah. Kita juga sering ifthor jama'i, malah duluan kita daripada dia...
Pengalaman sosial yang dialami mas Ulil saat buka puasa dan solat tarawih berjama’ah sebagai pengalaman yang paling membekas katanya. lagi-lagi pengalaman pribadi yang masing-masing orang akan merasakannya berbede-beda. Tidak perlu dibuat dramatis lah..
Apa mas Ulil baru tahu bahwa buka puasa bersama dan solat tarawih berjama’ah itu lebih syahdu dan lebih nikmat? Apa baru sekarang bisa merasakan buka puasa dan solat tarawih bersama? Duh…kemarin-kemarin kemana saja bang....
Hehe…lagi-lagi pengalaman sosial, lagi2 pengalaman sosial. Apakah mas Ulil baru mengalami hidup bersosial? Jadi selama ini mas Ulil duduk ekslusif di menara gading merasa paling benar sendiri dengan teologi inklusifnya. Eh…pas turun gunung berbaur dan mau sedikit bertoleransi, hati baru terbuka betapa nikmatnya hidup bermasyarakat.
Padahal kita sudah biasa merasakan nikmatnya hidup bersosial. kaburo maqtan (Ash-Shaf: 3)
Bahasan lain…
Jelas pasti ada di belakang mas Ulil yang berkata, “ kenapa solat dan puasa, bukannya liberal?”
Ini adalah bukti kebingungan dan pecah kepribadian (split personality) kawan2 liberal. Sebab mereka menganggap berbeda dan tidak ada kaitan antara keimanan dengan praktek amaliyah ibadah. Tidak ada kaitan antara aspek esoteris dan eksoteris agama. Bagi mereka solat, puasa, zakat dan haji hanya kulit atau bagian luar dari praktek keberagamaan seseorang dan tidak menentukan posisi keimanan dirinya.
Tapi anehnya mereka suka berdalil atas kasusnya itu: “nih..lihat liberal juga saya masih solat dan puasa,” atau “tuh lihat liberal juga ternyata ‘santun’.” Sengaja kata ‘santun' diberi tanda petik. Sebab santun menurut siapa, apa batasannya, standar kesantunan itu apa, kriterianya mana, santun yang ini masuk kategori siapa dan yang mana? atau akan direlatifkeun juga....
Ana Istighfar dan taubat jika pernyataan ana ini salah. Ana menyangsikan jika kawan2 liberal ta’at solat dan puasa. Dimana taat sekalipun, nudah-mudahan bukan ta’at seperti Abdullah bin Ubay bin Salul…maaf kalau pernyataan ini tidak 'santun.'
Ana yakin kita harus dalam posisi mengasihani mereka dalam pencarian kebenaran tanpa ujung, penuh fatamorgana dan kamuflase.
Ada sebuah dialog menarik;
Muslim : “Apakah anda sudah menemukan kebenaran hakiki?’
Liberal : “Belum, karena saya dalam posisi pencari kebenaran”
Muslim : “Lalu kalau diri anda saja belum mendapatkan kebenaran, kenapa anda menyalah-nyalahkan orang lain yang sudah mendapatkan kebenaran dan meyakininya?”
Liberal : “justru ini salah satu cara saya menemukan kebenaran.”
Muslim : “Kalau begitu cara anda salah. Yang namanya mencari kebenaran itu dengan jalan bertanya. Anda belum juga bertanya sudah menggugat kebenaran yang diyakini orang lain. Berarti anda tidak siap untuk belajar. Pantas saja anda tidak pernah menemukan kebenaran. Sebaiknya anda temukan dulu kebenaran yang akan anda yakini kebenarannya. Baru nanti kita ketemu lagi.”
Pada akhirnya liberal tidak pernah datang-datang lagi karena kebenaran hakiki tidak pernah ia dapatkan. Karena bagi dia semua kebenaran adalah relatif, tanpa ujung, tanpa pegangan, dan nyangkut di tempat mana yang paling menguntungkan ke-tuhan-an akal dan hawa nafsunya. Himmatuhum Butunuhum….
Tujuan utama dari JIL penuh tuduhan tak berdasar. Ironisnya sebagai yang meng-klaim berideologi liberal yang mengedepankan toleransi dan kebebasan ternyata tidak toleran dan berstandar ganda. Harusnya mas Ulil juga toleran kepada paham fundamentalis, radikal dan pro kekerasan seperti yang dituduhkannya. Sekalipun cap itu belum tentu benar karena hanya sepihak, tuduhan liar seperti ini akan mengenai siapapun dan apapun. Bahwa tuduhan seperti inipun termasuk kekerasan verbal yang sangat ditentang oleh mas Ulil.
Soal bajak membajak Islam. Menurut ana jangan sampai tamiang meulit ka bitis, bumerang buat si penuduh. Bicara membela Islam tapi….
Begitulah mereka yang anti “truth claim”. Namun karena merasa paling benar (padahal mereka anti terhadap klaim merasa paling benar) dengan pemahamannya itu, akhirnya membabi buta aktif menyalahkan-nyalahkan yang lain. Benar-benar sudah jauh menyimpang dari filosofi liberalisme yang diagung-agungkannya.
Bukankah mereka sendiri yang menyatakan bahwa keyakinan dan pemahaman seseorang tidak bisa dihakimi? Lalu kenapa mereka dengan mudahnya menghakimi pemahaman dan keyakinan orang lain? Yang fair dong…
tidak akan cukup singkat saja membahas tujuan kedua JIL yang disebat rasional, kontekstual, humanis dan pluralis. Kembali ke soal konsep batas, kalau konsep batas tetap tidak dipakai maka tetap akan jadi debat kusir. Tapi itulah liberal.
Saat mas Ulil mengatakan “di mata saya dan kawan-kawan” Jelas pandangannya sangat subyektif. Artinya harus dianggap biasa pernyataannya tidak ada implikasi dan konsekeunsi apapun. Karena sepihak. Mengatakan “di mata saya” “menurut saya” sebenarnya hal yang ketat dihindari oleh mas Ulil dan kawan-kawan. Tapi kenapa begitu, ya itulah liberal.
Mereka anti disesatkan dan dikafirkan. Maka agar fair sebagaimana yang selalu mereka dengung-dengungkan, jangan pula menyebut yang lain konservatif, Arabis, kolot, kuno, fundamentalis, radikal dan pro kekerasan. Sekalipun makna masing-masingnya belum tentu berkonotasi negatif.
Lagi-lagi tuduhan ieu teh, soal teks dan konteks. Persoalan pengelolaan Negara yang harus dicontoh mentah-mentah atau mateng-mateng dari Rasulullah perlu pembahasan yang panjang dan mendalam….
Insya Allah mudah-mudahan terbahas di diskusi “Posisi Syariat Islam dalam Sistem Konstitusi Indonesia / Posisi konstitusi Indonesia dalam pandangan Syariat Islam” Ba’da lebaran tgl 04 Oktober di Pasantren PERSIS Majalengka biidznillah.
Persoalan yang digugat oleh mas Ulil bukan persoalan ibadah mahdoh dan goer mahdoh. Tapi persoalan bagaimana cara pandang seseorang memakai cara pandang Islam itu sendiri atau tidak. Islam menurut siapa? Ini biasanya pertanyaan yang akan dilontarkan oleh mereka. Mendingan mana penilaian terhadap seorang anak, obyektif menurut ibunya atau tetangganya? Memahami Islam tentu harus dari orang yang pakar tentang Islam dan hidup dalam kehidupan Islam. Bukan dari non muslim yang hidup tidak mengenal Islam. Sekalipun ada beberapa kebaikan yang juga harus diambil dari mereka seperti sains dan teknologi dsb.
Khilafiyah antara khutbah jum’at berbahasa Arab dan berbahasa lokal tidak bisa disebutkan sebagai pertentangan antara yang konsevatif dengan yang liberal. Ini dinamakan pengaburan untuk pengelabuan makna. Harusnya gentle saja tidak perlu ditutup-tutupi, kan katanya yakin benar dengan aqidah liberal. Ko yakin ditutup-tutupi, apa ada yang salah? Kayaknya tidak begitu deh penerapan makna liberal yang selama ini mas Ulil lakukan? Kenapa agar istilah liberal diterima oleh kaum Muslimin kemudian persoalan khilafiyah umat diseret-seret? Apa tidak ada cara lain….
Dalam kasus khutbah jum’at dan sholat memakai bahasa apa. Mas Ulil justru mencoba mengomentari apa yang bukan wilayahnya. Hingga liar main comot untuk menjustifikasi pemahaman liberalnya. Dalam sejarah Islam para ulama Islam sepakat bahwa bahasa sholat adalah bahasa Arab. Tidak pernah dikenal di bagian manapun dalam sejarah Islam ada Ulama-bukan ulama-ulamaan-yang sholat menggunakan bahasa selain Arab. Kecuali sekarang ‘intelektual-intelektual’ genit korban perasaan inferior terhadap peradaban lain. Kalau anda berpendapat seperti itu berdasar ijtihad Abu Hanifah. Ketahuilah bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpendapat demikian. Anda suka sekali mengambil pandangan-pandangan yang tidak sharih dan mutawatir.
Kalau mas Ulil menyatakan bahwa sholat menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberalnya, itu hak beliau beranggapan seperti itu. Namun kemudian kalau sholatnya tanpa disertai dengan keyakinan akan kebenaran seluruh syariat Allah bahwa hanya ada satu tuhan Allah swt dan hanya Islam agama yang benar dan memilah-milah mana syariat yang cocok dan tidak, mana yang disuka dan tidak buat dirinya, jelas sama saja dengan tidak sholat. Percuma saja sholat jungkel jumpalik ari teu percaya ka Dzat anu marentahkeunana sebagai Kholik satu-satunya, sebagai Syari’ dengan syariat yang tidak ada bandingnya.
Pembicaraan mas Ulil kemudian mengarah untuk mengajak pembaca berpandangan bahwa orang yang berseberangan dengan beliau tidak rasional dan konsevatif. Cukup jelas mas Ulil yang senantiasa mendorong untuk membudayakan dialog tidak cukup mampu berdialog dengan paham yang berseberangan dengannya. Karena tuduhan seperti ‘budak’ yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah adalah absurd.
Bukankah dengan adanya tafsir Qur’an dan syarah hadits yang disusun oleh para ulama yang tidak diragukan kompetensinya adalah bukti dari buah proses berpikir manusia untuk memahami perintah Tuhannya? Yang membedakan adalah motif dari cara berpikir untuk memahami perintah Tuhan. Yang satu untuk ketaatan yang satu untuk pengingkaran.
Yang aneh kenapa mas Ulil bisa tidak tahu bahwa dalam sejarah Islam pemahaman seperti yang dipermasalahkan mas Ulil adalah hal yang biasa didiskusikan dan dibicarakan oleh kalangan ‘konsevatif’. Bukan seperti persangkaannya bahwa umat Islam buta terhadap syariat mana yang ta’abbudi mana yang ta’aqquli.
Ujungnya arah tulisan mas Ulil semakin jelas dalam rangka menegaskan posisi akal dalam Islam versi liberal. Soal mengikuti dan merawat tradisi, tradisi yang mana dan seperti apa yang dimaksud? Lalu QS 26:74 itu anda arahkan kepada siapa? Kepada yang pemahamannya konservatif atau justru kepada yang pemahamannya progresif? Bukankah anda berdalil dan berdalih seperti ini atas tradisi yang diwariskan guru-guru anda seperti Harvey Cox, Robert N. Bellah, Michel Foucaulst dll?
Anda menjaga tradisi pemahaman seperti itu apakah juga bisa dipastikan tidak membabi buta? Apakah anda juga berpikir kritis terhadap pemikiran guru-guru anda? Toh ujung-ujungnya anda meng-klaim ada akar historis antara anda dan kawan-kawan dengan pemikiran kaum muktazilah. Bukankah itu juga berarti anda merawat tradisi? Tradisi muktazilah. Sekalipun sebenarnya Muktazilah tidak se-liar anda dan kawan-kawan.
Ana sepakat kita harus berpikir kritis dalam memahami perintah Tuhan. Namun dalam makna seperti apa? Apakah mengkritisi perintah Tuhan atau mengkritisi akal kita dalam memahami perintah Tuhan? Jangan sampai ketika akal kita belum mampu memahami perintah Tuhan lalu dipaksa agar seolah-olah nampak paham atau memaksakan menyeret perintah Tuhan ke arah standar pemahamannya sendiri. Jadi Tuhan yang maha kuasa dipaksa mengikuti kehendak hambanya.
Salah satu dalil JIL memang memahami syariat dengan persfektif tekstual dan kontekstual (metode ini juga sebenarnya dipakai oleh golongan yang dituduh konsevatif oleh mas Ulil namun dengan metode berbeda). Kasus pengharaman perempuan duduk di parlemen memang harus diperdalam status hukumnya. Tapi apakah benar persis seperti itu kenyataannya di sana ? Apakah juga hanya atas dasar hadits tersebut saja para ulama di sana memfatwakan demikian?
Soal hukum potong tangan. Jika mas Ulil mengajukan banyak pertanyaan, maka Ana oge ingin mengajukan beberapa pertanyaan:
1.Kenapa anda tidak toleran terhadap orang yang berpandangan bahwa hukum potong tangan adalah bentuk hukuman yang relevan untuk saat ini? Toh jika itu kemudian disepakati umum dan diatur oleh Negara itu adalah konstitusional. Kenapa anda tidak biarkan alamiah saja sebagaimana hukum penjara yang warisan kolonial tidak anda ganggu gugat.
2.Apakah jika teknik hukum pidana pencurian bersifat dinamis lalu ada kolerasinya dengan manusia yang makin beradab dan makin matang mentalnya saat ini? Tidakkah anda melihat betapa jauh lebih biadabnya perilaku manusia saat ini? Itukah bentuk manusia yang mentalnya matang? Coba anda bandingkan dengan jujur efektifitas hukum potong tangan dengan hukum penjara katakan (yang mungkin anda anggap dinamis dan kontekstual) di negara-negara yang menerapkannya.
3.Entah anda tahu atau tidak bahwa hukum potong tangan dalam Islam tidak dilakukan begitu saja. Diatur sedemikian rupa sesuai dengan asas-asas keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Apakah yang tergambar dalam benak anda orang mencuri lalu langsung dipotong pakai golok si Pitung begitu? Prosesnya tetap melalui pengadilan akhi, harus ada saksi, bukti, laporan dsb. Kadar pencurian juga menjadi pertimbangan, apakah dia miskin atau tidak, terpaksa atau tidak, dalam keadaan sadar atau tidak dsb jadi sangat adil dan manusiawi.
4.Coba anda bandingkan kembali dari sisi efesiensi dan efektifitas lebih dinamis mana lebih berefek mana antara hukum potong tangan dengan hukum penjara (sekalipun di negara-negara yang memberlakukan hukum potong tangan terdapat pula hukum penjara). Coba anda teliti ulang dalam sejarah Islam dan sejarah Yahudi-Kristen Barat atau sejarah manusia ‘modern’ saat ini, pencurian lebih banyak terjadi dalam sejarah yang mana? Mudah-mudahan anda jujur. Kejahatan, pembunuhan, pemusnahan sumber daya alam, perusakan dan pemerkosaan yang sangat dahsyat terjadi di peradaban yang mana? Sebaiknya anda membaca tulisan Syafii Ma’arif (sesepuh anda dan kawan-kawan) di kolom Resonansi Republika (26/08).
5.Justru anda tidak paham esensi penghukuman. Cara menghukum jelas sangat berkaitan dengan esensi penghukuman. Tolong anda jelaskan apa esensi penghukuman dengan jalan pemenjaraan? Berapa banyak cost sosial, materi dan waktu yang harus dikeluarkan dengan hukum penjara dibandingkan dengan potong tangan? Saya pikir anda hanya sibuk menambah PR umat ketimbang membantu menjawab PR-PR yang sudah ada. Atau bahkan anda sendiri adalah PR besar umat saat ini.
Tradisi mas Ulil dan kawan-kawan adalah suka bermain-main di wilayah esoterik. Memutar-mutar logika agar kelihatan ilmiah sudah menjadi ritual yang niscaya. Termasuk soal ‘ibadah murni’-memangnya ada ibadah yang tidak murni? Murni dalam makna apa? PR lagi…
Cara ibadah buat mereka bukan hal penting karena hanya bersifat eksoterik (kulit/cangkang) saja. Tidak substansial cenah. Mereka cenderung tidak menyukai hal-hal yang bersifat formalistik. Dalam Islam tidak ada pemisahan esoterik dan eksoterik. Keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama, berjalin berkelindan tidak dapat dipisahkan. Dua-duanya adalah bagian penting dalam Islam, tidak ada esoterik tanpa eksoterik begitu pula sebaliknya.
Bukankah dalam Islam ada dua syarat diterimanya ibadah oleh Allah swt; pertama harus ikhlas lillahi ta’ala. Entah apakah yang dimaksud dengan penghayatan spiritual menurut mas Ulil teh ikhlas tea kitu? Dan harus showab tata caranya harus sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Mas Ulil juga sepakat bahwa hal ini tidak dapat diganggu gugat. Tapi kenapa mas Ulil menyebut tata cara ibadah tidak penting?
Hehe…mas Ulil teks Arab definisi agama masih hafal ya. Husnudzan ah, pasti mas Ulil tidak menghafal lagi.
Pengembangan spiritualitas seperti apa yang dimaksud mas Ulil untuk kebahagiaan ukhrawi teh? Standarnya apa? Ups lupa, bukannya buat mas Ulil tidak ada standar. Metodenya seperti apa, spiritualitas yang mana dan seperti apa? Terus fungsi agama untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan sepertia apa, yang mana, kata siapa, buat siapa saja, tujuannya apa, standarnya apa? eh…
Inilah wujud kerancuan sekaligus kebingungan bangunan pola pikir mas Ulil. Bicara konsep kebahagiaan tentu harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh Dzat pembuat kebahagiaan itu sendiri. Dalam al-Qur’an dan hadits banyak bertebaran keterangan bahwa orang yang beriman dan beramal sholih (tentu iman dan amal sholih cara Islam) akan mendapatkan kebahagiaan. Mas Ulil pasti setuju dengan konsep ini, sekalipun harus terlebih dulu didekonstruksi maknanya.
Soal depresi sekarang. Menurut Aa justru yang akan depresi adalah individu atau kelompok yang mengumbar dan membebaskan akalnya tanpa bimbingan wahyu. Liar, beringas, nabrak sana nabrak sini, mencari-cari pembenaran, yang ini bias yang itu absurd, masuk ke gang-gang yang buntu.
Menuhankan akal sementara tidak paham bahwa kemampuan akal terbatas. Jadi ingat ke istilah humanisme. Humanisme Barat didefinisikan sebagai “bahwa manusia dengan akalnya tanpa campur tangan Tuhan akan mampu menyelesaikan setiap persoalan.” Apakah humanisme dalam makna ini yang dimaksud mas Ulil? Kalau betul, pantesan…
Akhirnya membabi buta, kalap, arogan, fundamentalis dalam keliberalannya, teroris dalam cara ‘dakwah’nya, konservatif dalam cara pandangnya, dan radikal (kemaruk) dalam pengamalannya.
Mas Ulil, sebelum bicara soal baik dan benar, harus disepakati konsep standar tentang itu. Jangan mengambang, membuat bingung yang akhirnya malah tidak rasional.
Mas Ulil, saya juga merasa tentram dan bahagia dengan pemahaman saya sebagaimana mas Ulil juga mengatakan merasakan hal yang sama dengan pemahaman mas Ulil. Maka dengan demikian mas Ulil sebagai yang meng-klaim paling toleran sudah sepatutnya menjadi terdepan sebagai ‘uswatun hasanah’ yang santun, sopan, lembut, toleran dan memberikan kebebasan terhadap pemahaman dan kelompok yang berbeda dengan mas Ulil. Jadi tidak bijak rasanya mas Ulil sebagai orang yang paling toleran, di akhir tulisannya harus dicederai dengan teror dan provokasi.
Al-Faqir ila ‘Afwi Robbih
Wildan Hasan
Kordinator Forum Kajian Muhammad Natsir
for World Civilization
(021-9273 9740)
sayang sekali anda cuma memperjuangkan keliberalan anda dengan mengorbankan keislaman anda.
ReplyDeletesaya tanya bagaimana dengan org Hammas dipalestina yg melawan penjajah israel apakah mrk fundamentalis?
ReplyDeleteSenang sekali bisa membaca tulisan ini. Tulisan yang saya temukan secara tidak sengaja ketika blog walking ini telah menjawab pertanyaan yang selama ini saya yakin terpendam tidak hanya dalam pikiran saya tapi juga banyak orang. Semoga komentar-komentar yang telah masuk dapat menjadi masukan yang baik untuk mas Ulil dan teman2.
ReplyDeleteBanyak sekali hal yang dilekatkan dengan dengan JIL. Benar tidaknya saya tidak tau. Yang saya percaya, mas Ulil jujur ketika menulis tulisan tersebut, dan karenanya saya melihat mas Ulil adalah seorang muslim. Sayangnya terlalu banyak yang perlu dikonfirmasi, tidak hanya apa yang telah dimuat beliau.
Saya yakin mas Ulil dan kawan2 tidak akan lelah mengkonfirmasi, sebagai bentuk penyebaran informasi kepada masyarakat, tentang praduga yang selama ini berkembang. "JIL tidak sholat" itu salah satunya.
Saya tidak mau menghakimi. Meski demikian, izinkan saya, dan khalayak, mengetahui apakah benar teman2 JIL mendukung ahmadiyah? Jika demikian, apa yang dimaksud dengan dukungan dalam hal ini? Dalam kasus ahmadiyah, jika boleh saya berpandangan, ahmadiyah adalah sebuah aliran yang menampakkan retakan aqidah. Argumennya adalah karena (sebagian) kaum ahmadiyah (dengan jelas) menggunakan sumber lain di luar Quran dan sunnah sebagai pegangan. hal ini, dalam pandangan saya, bertentangan dengan wasiat nabi SAW. Oleh karena itu, jawaban teman2 JIL (dari mbak nong juga ga pa2,,^_^) akan sangat dinanti.
Terima kasih mbak nong, atas kesempatannya mengunjungi blog mbak.
He he he he, dasar minder kali yaaa, nggak percaya diri hidup dengan sebagai muslim malah ngadopsi liberal peradaban orang lain.
ReplyDeleteEh lucunya bule-bule yang Ulil agung-agungkan malah mulai melirik Islam, nih baca deh :
"Perancis Siap Adopsi Sistem Keuangan Islami"
Pemerintah Perancis lewat menteri ekonominya Christine Lagarde mengumumkan akan menyesuaikan sistem perekonomian dan aturan hukumnya agar bisa mengakomodasi sistem keuangan syariah. Lagarde sudah mengumpulkan sejumlah investor asal negara-negara Teluk agar mereka mau menanamkan investasinya di Perancis, seperti mereka berinvestasi di Inggris dan berbagai belahan dunia lainnya.
Para analis mengatakan, Perancis mulai melirik industri keuangan syariah yang saat ini sedang bomming di seluruh dunia. "Ini merupakan sinyal yang kuat dan para pemainnya mendengarkan apa yang diungkapkan Perancis, " kata Emmanuel Vollad seorang analis di lembaga rating Standard and Poor's.
"Ini adalah kali pertama seorang pejabat pemerintah Perancis secara terbuka mengatakan bahwa ia berminat untuk mengembangkan sistem keuangan yang Islami, " sambung Volland mengomentari pertemuan antara Lagarde dengan para investor dari kawasan Teluk.
Perancis, tambah Volland, juga ingin mendapatkan kue keuntungan dari berkembang pesatnya sistem perekonomian syariah di berbagai negara di Eropa.
Perancis akan melakukan modifikasi sistem fiskal dan sistem legal agar bisa memfasilitasi penerbitan Sukuk dan transaksi-transaksi real-estate yang terstruktur sehingga tidak mengandung unsur riba di dalamnya, yang dilarang dalam Islam. Sampai saat ini, meski menjadi negara Eropa yang jumlah warga Muslimnya terbesar yaitu sekitar tujuh juta jiwa, di Perancis belum ada bank-bank syariah.
Namun, Anwar Hassan, analis dari lembaga rating AS Moody's mengatakan, pernyataan Perancis bahwa mereka siap menyesuaikan diri dengan sistem keuangan syariah tidak menjadi jaminan industri keuangan Islami akan berkembang di negara itu. Menurut Anwar, tantangan untuk mengadopsi sistem keuangan syariah bukan hanya terbatas pada persoalan teknis maupun infrastrukturnya.
Tapi ia mengakui, pernyataan menteri ekonomi Perancis bisa dijadikan uji coba untuk mengetahui respon publik Perancis tentang sistem perbankan Islami, bahwa sistem keuangan Islam lebih menawarkan sistem yang etis dan menjadi alternatif bagi sistem keuangan modern saat ini. (ln/iol)
Setelah menulis "Menjadi muslim dengan perspektif Liberal".
ReplyDeleteberikutnya terbit tulisan Ulil, "Menjadi Liberal dengan Panduan Syetan".
Kemudian tulisan berikutnya, "Menggapai Neraka dengan Sukses",
Terus tulisan berikutnya.....?, berikutnya.....?, berikutnya...?
Mbak nong dan Mas Ulil kalo merasa benar coba Mubahalah saja dengan Ulama Ahlusunnah...
ReplyDeleteBerani????
Halo mbak Nong, halo mas Ulil, halo JIL, apa kabar nih ?
ReplyDeleteMasih berkutat dengan wacana-wacana liberal ? Masih berantem dalma taraf ide dengan yang sunnah menyunnah ? hehehehe... mbok ya direm .... ibarat kelapa, fasenya sudah melewati pembentukan sabut dan batoknya. Seharusnya sudah harus fokus pada pembentukan buah. Agar enak dimakan, dan bermanfaat buat kesehatan. Kalau terlena pada sabut dan bathok terus, jangan-jangan nanti lupa sama buahnya. Keburu habis umurnya dan jatuh sebagai kelapa kopyor. Hayo bareng-bareng diasah nilai-nilai dan ide yang sepaham dan diwujudkan dalam karya nyata buat masyarakat. Biar berbuah manis buat masyarakat, buat keluarga, buat tetangga, buat orangtua dan buat dunia....
Cheerr