Di tengah trend peraturan daerah (perda) syariat saat ini yang terjadi di pelbagai daerah, tema perempuan kaitannya dengan syariat Islam seakan tak bisa dipisahkan. Berbicara tentang syariat Islam maka sebenarnya berbicara tentang pengaturan perempuan. Coba kita perhatikan, tak ada satu pun aturan dalam perda-perda tersebut yang tak mengatur tentang perempuan: bagaimana perempuan berpakaian, bersikap dan berperan. Karenanya saya sepakat dengan Muslim Abdurrahman dalam wawancaranya beberapa tahun lalu di website islamlib.com bahwa yang menjadi korban pertama penerapan syariat Islam adalah perempuan.
Di Indonesia, trend di atas bisa dibilang masih baru. Saya bersyukur menjadi perempuan Islam Indonesia. Terlepas dari tradisi Islam, peranan perempuan di Indonesia lebih maju dibanding negara-negara Islam. Kalau kita melihat di negara-negara yang berdasar Islam, nasib perempuan sangat memprihatinkan. Perempuan diperlakukan seperti mahluk yang lemah dan tak mempunyai akal pikiran; mahluk yang harus diatur, diarahkan dan berbahaya. Kita bisa baca pengalaman perempuan-perempuan di bawah rezim Taliban yang runtuh beberapa tahun lalu. Begitu juga di negara Arab Saudi atau Kuwait dan negara Arab lainnya. Perempuan benar-benar tidak dianggap sebagai manusia yang utuh, yang mempunyai kebebasan, pilihan, akal pikiran dan lainnya.
Pertanyaannya, benarkah perempuan dalam Islam seperti yang tercermin dalam dalam negara-negara Islam itu? Bagaimana sebenarnya Islam memosisikan perempuan?
Sebagai perempuan yang dilahirkan dari orang tua yang beragama & bertradisi Islam dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang saya peluk, tentu saya ”terganggu” dengan pemahaman Islam seperti ini. Saya tak percaya kalau agama yang saya anut mendiskriminasikan jenis kelamin saya, perempuan. Karena saya percaya tidak mungkin Allah, sang pencipta, menciptakan manusia (laki-laki & perempuan) dan kemudian bersikap tidak adil pada salah satu ciptaannya. Atas dasar itulah, saya mulai menelusuri literatur yang berkaitan tentang tema perempuan dalam Islam.
Ternyata yang saya jumpai dalam Islam, perempuan menempati posisi sangat istimewa. Apalagi kalau kita memahami bagaimana era sebelum Islam. Islam diturunkan di saat kondisi sosial sedang mengalami era kegelapan (jahiliyah) khususnya kepada perempuan. Saat itu, laki-laki memang segala-galanya, inilah yang disebut dengan sistem patriarkhi. Tidak ada penghargaan sama sekali pada perempuan. Dalam tradisi jahiliyah, terdapat tradisi menanam anak perempuan hidup-hidup (wa'du al-banât), anak perempuan tidak berhak menerima warisan bahkan sebaliknya anak perempuan seperti benda yang bisa diwariskan.
Poligami juga menjadi bagian tradisi jahiliyah itu. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, ketika Ghilan bin Salamah al-Tsaqafi masuk Islam dia memiliki istri lebih dari sepuluh. Seorang sahabat lain, Qays bin al-Harits al-Asadi memiliki delapan istri. Rasulullah Saw memerintahkannya mereka berdua untuk memilih dari istri-istrinya empat orang dan menceraikan sisanya. Ketika Rasulullah Saw ditinggal istri tercintanya, Khadijah, Khulah bint Salimah al-Hakim menga¬jukan dua calon istri sekaligus, sebagai pengganti Khadijah, yaitu, Aisyah bint Abi Bakr dan Saudah bint Zam'ah. Dari “penawaran” ini menunjukkan poligami sudah bagian dari tradisi Bangsa Arab yang mendarah daging. (Binth Syathi, Nisâ' al-Nabî: 85)
Di tengah kondisi seperti ini, jelas Islam sangat revolusioner dalam mengangkat derajat dan posisi perempuan. Alquran, kitab suci agama Islam, diwahyukan kepada Nabi Muhamad penuh dengan cita-cita sosial dalam mendobrak keterbelakangan dunia di masa ketika ia ditumbuhkan. Nabi Muhamad Saw dengan ajaran barunya berusaha melepaskan belenggu tradisi jahili pada saat itu, yaitu menaikan harkat perempuan.
Bukti sejarah mencatat gebrakan-gebrakan yang dilakukannya. Ini terlihat dalam ayat-ayat Alquran dan perilaku Nabi terhadap perempuan, baik isteri-isterinya, anak-anaknya maupun sahabatnya. Konsep perempuan dalam Al-Qur’an secara jelas dan gamblang menyatakan posisi dan peran perempuan setara dengan laki-laki. Yang dimuliakan di sisi Allah bukan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi nilai ketakwaan (QS. Al-Hujarat/49: 13). Begitu juga dalam pemberiaan pahala yang diberikan Allah terhadap amal perbuatan seseorang. Ini tidak ada perbedaan jenis kelamin. Allah hanya menilai besar kecilnya nilai amal tersebut (QS. Al-Ahzab/ 33: 35, QS. Al-Jin/72: 38, QS. Ali-Imran/3: 195, QS. An-Nisa/4: 124, QS. An-Nahl/16:97, QS. Al-Mu’min/40: 40, QS. At-Taubah/ 97: 2). Alqur’an juga jelas mengatakan perempuan adalah partner (pasangan, saudara kembar, saudara kandung). Begitu juga laki-laki adalah partner perempuan (QS. An-Nisa/4: 1, QS. An-Nahl/16: 72, QS. Al-Baqarah/2: 187, QS. Ar-Ruum/30: 21, QS. Al-A’raf/7: 189, QS. Asy-Syuara’/42:11, QS. At-Taubah/ 9: 71, QS. Al-Hujurat/ 49: 13).
Kalaupun ada nilai-nilai kuantitatif yang melebihkan keunggulan laki-laki dalam ayat-ayat Al-Qur’an, itu tidak mengurangi nilai kesetaraan. Karena ayat-ayat itu dipahami sebagai ayat yang sebenarnya punya nilai praktis atau kompromi yang sangat revolusioner dalam konteks Arab masa itu. Misalnya mengenai hak waris, saksi atau keunggulan laki-laki dalam rumah tangga. Padahal posisi perempuan pada saat itu, sangat tidak diharapkan kelahirannya (QS. At-Takwil/81: 8, QS. At-Taubah/ 9: 16, QS. An-Nahl/l6: 58-59).
Namun, dalam sepuluh tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, perempuan kembali dihadapkan pada otoritas politik yang memapankan nilai androsentrisme. Masa inilah yang menjadi jembatan berlangsungnya sejarah androsentrisme dalam Islam dan dilembagakan secara halus melalui bahasa agama yang tercantum dalam kitab tafsir, hadis, dan fikih, serta dikembangkan pada masa kekuasaan Bani Umayah dan Abasiyah, bahkan hingga sekarang. (Nasaruddin Umar, 1999).
Berbeda dengan tradisi tasauf yang jauh dari lingkaran otoritas politik, perempuan menempati tokoh sentral yang diakui ketinggian spiritualitasnya bisa melebihi laki-laki. Seperti dikatakan Ibnu Arabi, sufi sejati adalah mereka yang mengubah sifat dirinya menjadi perempuan. Hal ini disebabkan sifat jamaliyah yang dimiliki perempuan (Haidar Baqir, 2002).
Bahkan, Abu Abdurrahman as-Sulami (wafat 1021) merincikan kesalehan 82 perempuan "kekasih Tuhan" dalam bukunya, Dzikir an-Niswah al Muta’abbidat ash-Shufiyyat, yang menunjukkan kualitas spiritualitas perempuan tidak terhalang karena jenis kelaminnya.
Menurut Gamal al-Banna dalam Bukunya al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tahrîr al-Qur’ân wa Taqyîd al-Fuqâhâ’, ada dua sebab kenapa kondisi perempuan menjadi terbelenggu lagi : Pertama, kuatnya adat dan budaya Jahiliyah yang sangat merendahkan martabat perempuan, dan Islam pun tidak bisa mengubahnya secara frontal, namun perlahan-lahan dan kadang “berkompromi”. Ini misalnya terlihat dari pengkuan Umar bin Khattab Wallahi ma kunna na’idd al-nisâ’a hatta anzala Allah fîhinna mâ anzala (Sumpah, kami dulu tidak pernah peduli terhadap hak perempuan, sampai Allah memerintahkan kami untuk peduli pada hak-hak mereka).
Diriwayatkan juga seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah ditampar suaminya. Rasulullah menyuruh perempuan tersebut membalas tamparan sang suami sebagai realisasi ayat qishâsh al-Quran anna al-nafs bi al-nafs wa al-'ayna bi al-'ayn..., sekaligus bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan masyarakat Arab waktu itu bereaksi keras, bagaimana mungkin perempuan yang sebelumnya tidak dihargai sama sekali, tiba-tiba diperbolehkan membalas perlakuan sama terhadap laki-laki? Sebagai "kompromi" turun ayat, al-rijâl qawwâmûn 'alâ al-nisâ'—yang sering dipahami laki-laki berkuasa atas perempuan.
Kedua, hilangnya kebebasan dari masyarakat Islam setelah meninggalnya Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin. Kebebasan itu hilang karena dua sebab.
(1) lahirnya kekuasaan dinasti-dinasti kerajaan yang otoriter dan despotik, yang selalu mengutamakan kekerasan. Ingat penyerbuan Madinah dan perusakan Ka’bah di Makkah oleh Yazid bin Muawiyah. Kondisi ini menciptakan masyarakat ‘patriarkhi’ yang identik dengan ‘kelelakian’ ‘kejantanan’: kekerasan, dan kediktatoran
(2) lahirnya ulama-ulama fikih yang dekat dengan kekuasaan dan mereka tidak hanya sekedar ulama fikih namun juga ‘legislator’ yang membuat aturan, dan undang-undang yang berpihak pada kekuasaan. Sejak zaman ini, perempuan dikekang dan dipasung melalui aturan-aturan yang ada dalam fikih. Ketika fikih sudah menjadi undang-undang positif, maka, fikih akan kaku dan beku, padahal hal ini bertentangan dengan kodratnya sebagai pemahaman (al-fiqh) yang subur akan penafsiran dan perbedaan.
Namun ada para ahli fikih lain yang menentang kedudukan ulama fikih di atas, yaitu ulama fikih yang tugasnya mengarang buku dan mengajar. Mereka sangat menentang menjadikan fikih sebagai hukum positif, seperti Malik bin Anas yang menolak ketika Abu Manshur, seorang khalifah Abbasiah, ingin menjadikan al-Muwaththa’ karangannya dijadikan hukum positif.
Oleh karena itu menurut Khaled Abu el Fadl dalam bukunya Atas Nama Tuhan (2004), hukum Islam harus dibebaskan dari praktik ‘otoriter’ ini: mejadikan fiqh sebagai hukum positif. Karena hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character).
Namun, yang menjadi persoalan dewasa ini seperti yang saya gambarkan di atas: adanya perda-perda syariat yang memperlakukan syariat Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) berdampak pada aturan itu menjadi mapan, statis, dan tertutup sehingga tidak menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Singkatnya, hukum Islam pada era modern ini dipandang sebagai perangkat aturan (ahkâm), bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan ini berpotensi melahirkan otoritarianisme dalam memahami hukum Islam.
Semestinya perdebatan-perdebatan mengenai perempuan, haruslah diletakkan pada perdebatan fiqh; sebagai ilmu yang berusaha memahami dan menggali hukum-hukum syariat Islam. Baik perdebatan ini bersumber dari teks-teks Alquran maupun Hadis. Meski masih kuat adanya sikap misoginis dalam ajaran atau doktrin Islam seperti yang tergambar dalam Hadis namun hal itu tak menghapus nilai-nilai universal yang sangat jelas termaktub dalam Alquran. Dengan memperlakukan teks seperti ini, Islam tidak akan kehilangan semangat pembebasan terhadap perempuan. Dan perda syariat yang mengatur perempuan semestinya tak diperlukan lagi.
Referensi : Opini Koran Tempo, Sabtu 7 April 2007
my last safhah, terima kasih atas masukan dan diskusinya untuk tulisan ini..