Mari, Bicara Fatwa Haram
Belum lama ini, Forum Santri Putri Se-Jawa Timur mengumumkan hal yang mengagetkan. Pertemuan yang bertempat di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, dan dihadiri 258 santri dari 46 pondok pesantren besar itu menyimpulkan, ada tiga hal yang perlu diharamkan.
Pertama, bekerja menjadi tukang ojek dan menjadi penumpang ojek tidak diperbolehkan bagi wanita, karena berpotensi fitnah (hal-hal yang diharamkan). Kecuali, bila saat naik ojek, tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) dan kholwah (berduaan melewati tempat sepi, yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan). Selain itu, tidak boleh memperlihatkan aurat selain dalam batas-batas yang diperbolehkan, dan tidak terjadi persentuhan kulit.
Kedua, rebonding diharamkan bagi wanita lajang. Bagi wanita bersuami, rebonding dan mengeriting rambut juga haram, kecuali seizin suami. Ketiga, pemotretan pre-wedding diharamkan bagi calon mempelai (berikut fotografer). Karena, ikhtilath dan kholwah juga bisa terjadi pada pasangan pria dan wanita yang belum bersatu secara sah menurut agama. Tak butuh waktu lama, hal ini menuai reaksi masyarakat.
SUDUTKAN WANITA?
“Pada dasarnya, umat Islam terikat oleh peraturan berdasarkan Alquran, hadis, dan fikih. Jadi, umat Islam sebaiknya taat pada dasar-dasar agama tersebut. Jika tidak sempat membacanya, taatilah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh orang-orang yang memahami hal tersebut,” kata Hasanudin, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiga fatwa tersebut di atas dikeluarkan di pesantren yang memang mempelajari aturan agama. Meski MUI belum meresmikannya, kata Hasanudin, fatwa tersebut boleh ditaati siapa pun.
Namun, Nong Darol Mahmada, Program Manager Freedom Institute dan salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), menolaknya. “Fatwa tersebut tidak jelas maksudnya dan tidak mengatur hal yang mendasar. Tiga fatwa itu tidak menjawab persoalan kemasyarakatan dan keumatan, dan cenderung hanya untuk ‘mengatur’ dan membatasi kebebasan wanita, dalam hal ini santri putri. Buktinya, selain tentang foto pre-wedding, dua fatwa lain secara spesifik hanya mengarah pada wanita,” kata lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, ini.
Nong menggarisbawahi, fatwa di atas merupakan hasil bahtsul masail (rapat) Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3). Jadi, sebenarnya hanya ditujukan untuk para santri putri di pesantren-pesantren yang menjadi anggotanya. ”Keputusan bahtsul masail-nya bukanlah merupakan fatwa yang mengikat, melainkan saran. Tetapi, karena dirilis kepada pers (dan diketahui masyarakat), maka seakan-akan berlaku untuk semua anggota masyarakat,” ucapnya.
Hasanudin menanggapi, ketiga kegiatan itu (rebonding, ojek, foto pre-wedding) dibolehkan, namun bisa mengarah pada hal-hal yang dilarang agama. “Karena itu, diatur pelaksanaannya. Sifat fatwa adalah preventif (pencegahan): mengatur sebelum kejadian yang tak diharapkan terjadi,” jelasnya. Soal anggapan bahwa fatwa hanya menyasar wanita, menurutnya karena fatwa dikeluarkan oleh santri putri. Jadi, jelas saja yang diatur adalah keselamatan para wanita.
Nong melihat ada yang agak ganjil dalam forum yang mengeluarkan fatwa ini. ”Semua pesertanya wanita (santri putri dan ustazah), tetapi narasumber dan juru bicaranya adalah para santri, ustaz, dan kiai (pria). Dalam konferensi pers terlihat, peserta wanita hanya bersikap pasif, seolah membiarkan kehidupan pribadinya diatur melalui keputusan para pria. Padahal, belum tentu pria tahu persis apa yang menjadi persoalan dan keinginan wanita,” kata Nong, menyayangkan. Kalaupun tahu, kata Nong lagi, para pria tersebut melihatnya dari sudut pandang dan keinginan pria saja.
Hasanudin mengungkapkan, rebonding bisa diharamkan karena dianggap perbuatan kebarat-baratan (mengacu pada budaya negara Barat) yang dilakukan oleh wanita tak berjilbab. ”Rebonding bisa disebut perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak baik-baik atau orang fasik, yaitu orang yang sering melakukan pelanggaran agama. Peraturan ini dikeluarkan untuk membentengi diri. Kecuali, bagi para wanita bersuami,” ungkapnya.
Dengan lugas Nong kembali menyampaikan ketidaksetujuan. “Kalau memang harus begitu, sebagai manusia, wanita tidak lagi punya kemandirian, tidak boleh memiliki keinginan dan kesenangan sendiri. Di situlah letak ketidakjelasan fatwa tersebut. Semuanya boleh, asal untuk kesenangan pria. Sifat fatwa tersebut jadi sumir,” tegas Nong.
Nong melihat, dengan keluarnya fatwa ini, berarti wanita memang masih menjadi pihak yang perlu diatur, dianggap sebagai makhluk lemah, dan menjadi nomor dua setelah pria. ”Kita masih hidup dalam sistem patriarkat yang kuat terlegitimasi dalam agama dan budaya. Para ulama yang biasanya mengeluarkan fatwa masih didominasi pemahaman agama yang konservatif dan misoginis (orang yang membenci wanita). Wanita menjadi objek, bukan subjek, yang semua nilai kehidupannya harus diatur oleh agama dan tata krama. Membuat aturan dan hukum untuk wanita seolah sangat gampang, karena tolok ukur keberhasilan aturan itu secara kasatmata gampang terukur. Misalnya, berjilbab, rambut tidak di-rebonding, tidak keluar rumah, dan lain-lain,” lanjutnya.
PERLU & TIDAK PERLU
“Dalam kitab Lisan al-Arab yang ditulis Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa makna. Makna terpentingnya adalah ‘penjelasan atas persoalan yang muskil’ dan ‘jawaban atas pertanyaan yang diajukan’,” tutur Nong. Ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang disarikan dari pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq. ”Disebutkan, fatwa adalah penjelasan dan pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian–tabyîn al-hukm al-syar’i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang tegas antara fatwa dan hukum syariat,” lanjut Nong.
”Fatwa dari seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti. Kesimpulannya, sifat fatwa tidak mengikat karena ia ‘hanyalah’ penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak mutlak, sebagaimana hukum syariat,” ungkap Nong lagi.
Namun, dalam hal ini Hasanudin berpendapat lain. ”Soal mengikat atau tidak mengikat, umat Islam sebaiknya mematuhi hukum Islam. Sesuatu yang dilarang selalu ada tingkatannya, dan hal-hal yang haram memang harus dihindari,” ujarnya.
“Akan tetapi, fatwa tidak bisa menjadi hukum publik. Karena, seperti yang dikisahkan dalam kitab Siyar A’lâm Nubalâ’ (Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi hukum negara, dan menggantungkannya di Ka’bah, dengan tegas Imam Malik menolak,” papar Nong.
Para ulama fikih klasik di zaman dahulu pun, kata Nong, tidak memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’) memiliki posisi yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.
”Hadis yang diriwayatkan Al-Darami, misalnya, menyebutkan, ‘Orang yang paling berani berfatwa berarti paling berani masuk neraka’ (bila bersalah). Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang unggul dalam hal bekal ilmu pengetahuan. Beberapa riwayat hadis menyebutkan, mereka yang mengeluarkan fatwa namun ‘tanpa ilmu’ diancam hukuman berlapis: ‘dilaknat malaikat langit dan bumi’, ‘didudukkan di atas api neraka’, dan ‘menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya’,” tutur Nong.
Nong menyayangkan fatwa saat ini, yang kebanyakan hanya memunculkan doktrin bahwa ulama adalah ahli waris nabi. Sementara, kewajiban dan kriteria sang ahli waris nabi sendiri terbenam dalam-dalam. Para ulama sekarang, katanya lagi, kurang mempertimbangkan akibat dari fatwa yang mereka keluarkan, dan sebaliknya, lebih mempertimbangkan kepentingan ulama itu sendiri.
”Kriteria ulama yang mampu berfatwa ini raib dari percakapan publik. Tak heran bila fatwa malah menimbulkan kekacauan. Maka, sudah saatnya dibenahi. Hal ini harus dimulai oleh pemerintah, karena sepanjang sejarah, majelis fatwa tak terpisah dari pemerintahan,” lanjut Nong.
Pengantar kitab Al-Majmû’ karya Imam Al-Nawawi menegaskan, pemerintah wajib menyeleksi para mufti (ahli agama) lewat ‘uji kelayakan’. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Padahal, semestinya, ungkap Nong, uji kelayakan ini perlu diterapkan pada lembaga fatwa mana pun, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Dengan begitu, martabat dan integritas organisasi itu pun terjaga.
Hasanudin mengatakan, kualitas kelembagaan dan latar belakang pendidikan para anggota lembaga cukup menjadi dasar yang kuat, sehingga sebuah fatwa bisa diikuti umat. Misalnya, lembaga yang mengeluarkan fatwa tersebut terdiri dari orang-orang yang memahami Alquran, hadits, dan fikih secara ilmiah.
Tetapi, Nong mengingatkan, fatwa dikeluarkan bila umat memang membutuhkan jawaban atas persoalan-persoalan tertentu. “Kalau suatu hal dianggap bukan persoalan, maka fatwa tidak bisa dikeluarkan. Lagi pula, tidak semua persoalan harus diatur dengan fatwa. Perlu kehati-hatian dalam mengeluarkannya,” kata Nong.
MENCINTAI KEINDAHAN
Presenter dan model Shahnaz Haque (38) menyetujui perlunya kehati-hatian dalam menyikapi fatwa. ”Setiap fatwa butuh sosialisasi lebih dahulu. Perlu dijelaskan mengapa fatwa perlu dikeluarkan dan bisa diterapkan dalam kondisi seperti apa,” katanya. Dengan begitu, menurut Shahnaz, fatwa tidak menjadi lelucon atau bahan tertawaan, yang akhirnya merugikan agama Islam. Contohnya, belum lama ini beredar pembicaraan, bahwa banyak ustaz sendiri yang belum mengerti arti rebonding.
”Lagi pula, apa salahnya rebonding, kalau ternyata seseorang memang jadi lebih nyaman dengan rambut lurus? Bukankah dengan demikian dia menyenangkan orang di sekitarnya?” ujar Shahnaz.
Hal itu disetujui Arzetti (38), peragawati dan model. Menurutnya, agama Islam mengutamakan hubungan pada Tuhan dan sesama. ”Salah satunya, menghormati orang lain dengan tampil rapi. Kalau seseorang merasa rapi dengan rambut lurus, tidak salah, ‘kan?” kata Arzetti. Menurutnya, fatwa penting untuk mengatur kehidupan umat. ”Tetapi, kalau foto pre-wedding diharamkan, itu berlebihan. Sebab, hal itu bisa dilakukan dengan pakaian sopan dan pose yang baik. Apalagi niatnya untuk mengabadikan kenangan,” lanjutnya.
Nong menambahkan, pengemudi dan penumpang ojek tak perlu diatur. ”Karena, alasan dilakukan hal itu sudah terang benderang, yaitu mencari penghasilan karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain. Dan, naik ojek sekarang ini telah menjadi alternatif terbaik untuk menembus kemacetan lalu lintas secara cepat,” katanya.
Kata Hasanudin, jika kita peduli pada ajaran Islam, setiap fatwa adalah penting, walaupun selalu ada pengecualian. Menjadi pengendara ojek sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian buat keluarga, tentu dibolehkan. ”Tetapi, usahakan mencari penumpang wanita. Jika menjadi penumpang ojek, berusahalah mencari yang pengendaranya wanita. Semua fatwa haram itu ada dasarnya. Jika dibaca secara utuh, kita akan mengerti tujuannya,” sambungnya.
Mengenai fatwa yang menyatakan bahwa ojek itu haram, Shahnaz menganggap kurang relevan, karena sarana transportasi masih jauh dari memadai. Padahal, tak ada agama yang bermaksud menyulitkan umatnya. Arzetti pun berpendapat, jika ojek dilarang untuk wanita, angkutan umum mana pun bisa jadi difatwa-haramkan juga. Karena, di setiap ruang publik, besar kemungkinan orang bersentuhan dengan orang lain yang bukan muhrimnya.
”Islam mencintai keindahan. Islam adalah agama yang ‘mudah’, maka sebaiknya janganlah dibuat sulit,” kata Nong. Hasanudin menanggapi, setiap orang memang berhak untuk menyikapi setiap fatwa haram dengan cara berbeda. Namun, yang perlu diingat, setiap fatwa dikeluarkan untuk menutup pintu-pintu atau sarana yang bisa membuat orang melakukan perbuatan yang dilarang.
** Penulis: Asteria Elanda
[Dari femina 7 / 2010]