Wawancaraku dengan Ayu Utami
Setelah sempat off selama hampir 7 tahun, Ayu Utami kembali mengeluarkan novel terbaruya Bilangan Fu. Tentu saja pembaca jangan berharap novel ini akan semanis novel pertamanya, Saman. Dalam novel ini, kita akan melihat kematangan Ayu Utami menulis, bercerita, dan bagaimana dia menafsirkan cerita rakyat serta mengelola begitu banyak berita “ganjil” yang terjadi dalam masyarakat kita. Ayu berhasil merumuskannya menjadi manifesto sikap keagamaan yang ia tawarkan untuk kondisi sekarang: spiritualisme kritis.
Untuk acara peluncuran novel Bilangan Fu yang diluncurkan Minggu malam di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta, aku mewawancarai Ayu Utami seputar proses kreatif penulisan dan latar novel ini dicipta. Berikut petikannya:
Mbak Ayu, dibanding dengan novel-novel sebelumnya, saya melihat tema yang diangkat dalam novel ini cukup berat yaitu ingin mengritik 3 M: modernisme, monotheisme dan militerisme. Kenapa? Bisakah diceritakan proses awal kenapa mengambil tema ini? Bagaimana proses penulisannya?
Tentang 3M itu saya rumuskan sambil mendaki gunung Gede, olah raga rutin saya. Biasanya, sambil berjalan saya merenung-renung. Lalu, muncullah ide itu setelah pikiran saya berputar-putar sampai tak begitu bisa saya sadari lagi. Barangkali jalarannya begini. Pada masa Orde Baru, sebagai aktivis kemerdekaan pers, kami tahu bahwa musuh utama demokrasi adalah militerisme. Itu "M" yang pertama.
Nah, sekarang? Setelah Indonesia lumayan terbebas dari militerisme, kita menghadapi ancaman baru. Yaitu, ancaman yang berasal dari ketidakbebasan pikiran. Keengganan bahkan ketakutan terhadap kebebasan pikiran. Ini rupa-rupanya berasal dari beberapa hal. Dalam kasus Indonesia: satu, ketakutan. Ketakutan pada apa? Ketakutan bahwa kemerdekaan akan menghilangkan identitas kita sebagai "bangsa timur", "bangsa beragama", atau apapun yang kita percaya sebagai identitas kita. Sedihnya, ketakutan ini ternyata dipelihara melalui-atau menggunakan-agama. Ditambah dengan meningkatnya kekerasan atas nama agama sepuluh tahun belakangan ini. Kebetulan Indonesia mayoritas muslim. Maka, itulah "M" yang kedua: monoteisme. Saya percaya bahwa Islam maupun Kristen, yakni agama-agama monoteis, memiliki persoalan mendasar dalam kapasitas menerima perbedaan. Ini harus diakui secara jujur tanpa takut. Dua, ketidakbebasan pikiran ini datang dari kemanjaan yang dipelihara oleh kapitalisme. Kapitalisme tak bisa dilepaskan dari modernitas. Itulah "M" yang ketiga. Modernitas.
Jadilah 3M yang saya sebut sebagai ancaman terhadap dunia postmodern: Militerisme, Monoteisme, Modernisme. Hahaha. Ini autokritik sesungguhnya. Sebab, saya punya idealisasi tertentu pada militer. Saya penyuka pria dengan military-look. Tegap. Cepak. Hehe. Saya juga menikmati buah kapitalisme. Saya juga lahir dari tradisi monoteis.
Saya ingin tanya lebih detail lagi. Apa sih yang anda maksud dengan modernisme itu?
Sebetulnya terminologi yang tepat adalah modernitas. Atau pemikiran modern. Bilangan Fu juga bercerita tentang persoalan lingkungan. Rusaknya lingkungan karena eksploitasi dari manusia modern yang kelewat batas. Dalam skala besar: pemanasan global. Tapi, novel kan harus mengambil skala yang lebih kecil dan terfokus. Maka saya bercerita tentang eksploitasi penambangan gunung gamping di pantai selatan Jawa.
Apa alasan ekspolitasi? Ekonomi! Alasan ekonomi semata. Nah, inilah alasan yang sangat khas datang bersama modernitas dan konconya, kapitalisme. Manusia memandang dunia dari sudut kepentingan ekonomi belaka. Dari sudut kepentingan dirinya belaka. Manusia modern tak punya rasa hormat pada alam.
Sederhananya begini. Dulu, ketika masih hidup dengan "takhayul" tentang roh-roh penunggu bumi, manusia bersikap hormat pada alam. Masyarakat adat biasanya tidak berburu atau menebang pohon kelewat batas. Mereka permisi sebelum masuk hutan. Nah, manusia modern-yang telah berpikir rasional dan tak lagi takut pada takhayul-kehilangan rasa hormat itu. Jika dulu manusia tradisional melihat alam sebagai subyek, kini alam semata-mata obyek. Dulu bumi harus disajeni, kini bumi hanya untuk dieksploitasi. Manusia modern telah demikian sombong.
Kritik saya yang terutama adalah bahwa pemikiran modern yang terlalu mengagungkan rasio atau akal telah terlampau jauh meremehkan nilai-nilai tradisi, yang sesungguhnya sangat positif terhadap alam, dan juga telah merendahkan bumi. Ah, kita juga tahu, dalam perdebatan filsafat, bahwa rasio itu tak lepas dari kepentingan. Tak lepas dari libido, kata Freud. Tak lepas dari kekuasaan. Akal sehat itu tidak sehat-sehat amat. Kerusakan bumi menunjukkan bahwa rasio telah menjadi alat dari kehendak berkuasa saja.
Nah, dari penjelasan anda tadi, apa sebenarnya yang ingin anda tawarkan dalam mengritik modernisme ini?
Tawaran saya: spiritualisme kritis! Manusia tak hanya punya kepentingan jahat. Manusia juga punya kepentingan baik. Sama seperti manusia tak hanya punya nafsu rendah, tapi juga nafsu luhur. Kita switch, kita alihkan saja. Jadikan akal instrumental itu alat dari kehendak baik. Apa yang mendesak sekarang? Menyelamatkan bumi! Bukan menyelamati akhirat! Hal yang paling utama dari kesadaran modern sesungguhnya adalah kemampuan kritis. Inilah yang patut disyukuri tiada habis dari modernitas, buah rasio. Ini yang saya kira harus kita genjot. Kita kritik diri kita. Kita kritik nafsu-nafsu berkuasa kita. Karena itu, saya menawarkan "spiritualisme kritis."
Kita tahu, ketika rasionalitas berkembang, mereka mencurigai habis-habisan agama. Tuhan sudah mati, kata Nietzsche. Tapi, kesalahan kaum sekularis-dengan menampik agama-adalah justru membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis. Karena itu, kita butuh merebut kembali agama. Dan menafsirkannya kembali dengan lebih terbuka. Kita harus lebih belajar dari agama-agama bumi. Yaitu, sekali lagi, untuk menyelamatkan dunia lebih daripada mendahulukan akhirat.
Anda juga mengritik monotheisme. Apa yang salah dengan konsep ini?
Menurut saya, ada yang salah dengan slogan monoteis ini: kami mencari akhirat, bukan dunia. Dalam Bilangan Fu, saya khususnya menyoroti secara prihatin kesombongan monoteisme atas agama-agama lokal. Monoteisme-entah Kristen entah Islam-merendahkan agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Padahal, sesungguhnya agama-agama lokal ini memiliki penghormatan yang luar biasa pada alam. Dikotomi monoteis atas dunia dan akhirat harus dikaji ulang.
Salah satu contoh yang pantas membuat kita prihatin adalah, dua tahun lalu, segerombol pemuda dengan atribut Pemuda Persatuan Islam (Persis) di Jakarta memangkasi sebuah beringin tua di Harmoni. Alasannya karena pohon itu dianggap keramat, bahkan jalur busway pun tak boleh merobohkannya. Pemerintah kota juga mempertahankan pohon itu karena nilainya bagi lingkungan.
Ada sebuah cerpen yang sangat puitis dari Marguerite Yourcenar tentang seorang rahib Kristen Ortodoks yang menghanguskan hutan demi mengusir jin dan peri. Pada akhirnya jin dan peri itu bersembunyi di gua pada sebuah bukit cadas. Untuk memenjarakan mereka, sang rahib mendirikan gereja menutup mulut gua itu. Tapi, Perawan Maria membebaskan peri dan jin itu dari balik jubahnya sebagai burung-burung layang-layang. Buat saya: agama tak berhasil membebaskan manusia. Manusia memanjakan nafsu berkuasanya dengan agama, tapi yang suci memberikan kasihnya.
Mbak Ayu, setting dan tokoh dalam novel ini tentang pemanjat tebing. Kenapa anda mengambil setting dan tokoh tentang itu? Kenapa si akunya bukan perempuan?
Saya belum siap bercerita tentang diri saya sendiri. Hahaha… Saya masih ingin menyembunyikan pribadi saya. Hehehe…. Saya kira penulis justru leluasa untuk menjadi bukan dirinya.
Sesungguhnya awal cerita ini sangat pribadi dan sederhana. Yaitu, kisah masa lalu kekasih saya, Erik Prasetya. Ia memiliki sebuah periode sangat bahagia di masa mudanya, ketika ia menjadi pemanjat tebing, memiliki sahabat, sesama pemanjat, yang ia sayangi, serta kekasih yang ia cintai. Mereka membangun persahabatan yang istimewa antar tiga manusia. Sahabat itu mati dalam kecelakaan di tebing. Setelah itu, hubungan dia dan kekasihnya tak bisa sama lagi. Saya terkesan dengan hubungan yang puitis itu dan tragedi yang mengakhirinya. Betapa rentan manusia.
Tapi, sisa cerita dan pergulatan pemikirannya adalah bagian saya sendiri. Saya menulisnya di masa setelah reformasi. Keprihatinan saya adalah gangguan atas kedamaian dan hak sipil dari gerombolan yang memakai nama agama. Jadi, keprihatinan saya adalah ini: reformasi memberi kita kemerdekaan, tapi masyarakat tidak siap dengan kemerdekaan itu. Dan agama dipakai untuk menolak kemerdekaan.
Saya punya kesan novel Bilangan Fu dibanding novel Saman, sepertinya hanya bisa dipahami oleh kalangan terbatas karena soal tema yang diangkatnya cukup berat, orisinil, dan gaya bahasanya juga lebih berat dan penuh data, tidak secair seperti novel Saman. Apakah anda sengaja memilih seperti ini?
Saya kok tidak begitu sepakat. Struktur ceritanya sebetulnya sangat padat dan sederhana. Lebih sederhana daripada Saman ataupun Larung. Yaitu, tentang cinta segitiga yang istimewa. Tentang usaha menyelamatkan kawasan karst atau gamping. Memang Saman lebih manis. Karena si "aku" penceritanya adalah perempuan lugu yang sedang jatuh cinta dan melankoli. Larung lebih gelap karena karakter yang memiliki sejenis kegilaan. Bilangan Fu diceritakan oleh karakter yang sinis dan skeptis: Yuda. Memang ia punya cara pandang yang khas dan suka mengomentari banyak hal. Tapi, Yuda yang membuat struktur cerita yang sederhana menjadi tidak biasa. Yuda yang membuat hal sehari-hari jadi nampak aneh.
Mbak, kenapa sih judul novelnya Bilangan Fu? Banyak yang bertanya soal judul ini. Terus, apa sih Bilangan Fu itu?
Semula saya ingin menamainya Jalur 13. Semula ceritanya adalah jalur pemanjatan maut berangka 13. Angka yang dianggap sial. Lucunya, angka 13-yang dianggap sial di Barat ini-jika diurai dan dijumlah sebagai 1+3 hasilnya adalah 4. Yaitu Tsi, angka sial di Cina. Hehehe.
Saya semula memang ingin bermain-main dengan sebuah bilangan yang dianggap angker. Tradisi membuat saya berputar-putar pada bilangan 13. Ternyata akhirnya saya berakhir dengan sebuah bilangan yang memiliki properti 0 dan 1 sekaligus. Bilangan ketiga belas dalam sistem bilangan berbasis 12, bukan berbasis 10. Ada banyak hal menarik mengenai perbedaan bilangan berbasis 12 dan 10 ini. Semenarik fakta bahwa jari
kita sepuluh dan fakta bahwa bumi mengelilingi matahari dalam 12 bulan!
Apapun, bilangan fu adalah bilangan yang metaforis, bukan matematis. Spiritual, bukan rasional. Ia merupakan kritik bahwa pengertian kita tentang Tuhan yang satu dalam monoteisme terlalu matematis. Ketika monoteisme dirumuskan, orang belum mengenal bilangan 0. Konsekuensinya, 1 yang dimaksud bisa sama dengan konsep mengenai 0, yaitu yang penuh sekaligus kosong, tidak terbatas, tidak rasional.
Kenapa "Fu"?
Semula karena ada alat musik tiup yang bernama Fu. Tapi, perhatikan, bunyi "fu", juga "hu", dan bunyi bersuara bilabial adalah bunyi dasar. Bilabial adalah bunyi konsonan yang dibuat dari aliran udara menggetarkan dua bibir. Kalau kita bernafas keras, kita mengeluarkan bunyi yang mirip ini. Buat saya, itu bunyi nafas. Bunyi kehidupan. Ya.
Bunyi hidup tapi bukan bunyi nafsu.
Berbeda dari "ma", seperti dalam "mama" atau "makan"; "pa", seperti dalam "papa" atau "pangan"; "da" seperti dalam "dada". "Ma", "pa", dan "da" adalah bunyi libido. Saya
tulis di Bilangan Fu, "ma" dan "pa" adalah bunyi perut, yang mencintai rasa kenyang. "Fu", atau variasinya "hu", dalah bunyi hidung, yang dari sana manusia bernafas. Fu adalah bunyi ruh.
Dalam novel ini juga banyak tersaji tentang cerita rakyat dan pewayangan. Apakah anda punya tendensi ingin menafsir ulang cerita-cerita tersebut?
Ya. Bagi saya cerita rakyat dan pewayangan, seperti juga kitab suci, terlalu kerap ditafsirkan dengan penyederhanaan berlebihan. Saya ingin menyumbang dalam tafsir yang seharusnya lebih kompleks.
Misalnya, saya ingat, ada seorang guru SD yang protes terhadap cerita rakyat. Menurut dia cerita rakyat itu bukan cerita anak-anak. Contohnya cerita Sangkuriang, yang bercerita tentang hubungan seks. Lha! Memang, cerita rakyat bukan cerita anak-anak. Tapi, bukan berarti tidak boleh diperkenalkan kepada anak-anak juga. Keistimewaan legenda adalah karena ia bisa disampaikan sebagai cerita segala umur, termasuk anak-anak.
Tetapi, di lapisan berikutnya ia mengandung bahan dan data yang lebih kompleks. Kita harus memelihara kekayaan itu. Lagi pula, setelah berumur, saya tahu dan percaya tak ada yang sungguh-sungguh baru di dunia ini. Jadi, kenapa tidak menggarap tema-tema klasik?
Berapa lama anda menyelesaikan novel ini?
Empat tahun penuh kegagalan. Setelah itu, sembilan bulan menuliskannya dalam bentuk yang sekarang ini dengan sangat lancar. Dalam empat tahun sebelumnya, sejak akhir 2003, saya mencoba menulis dan terus merasa gagal. Saya berlatih panjat tebing, penelusuran gua, dan pelbagai lain. Begitu banyak waktu, tenaga, dan uang yang saya habiskan, sesungguhnya.
Tapi saya puas. Saya merasa seperti pemanjat bersih. Yaitu, yang tidak memaksakan ide pada cerita. Seperti tidak memaksakan bor dan paku pada gunung batu. Saya merasa memanjat dengan jalur yang disediakan alam dan dengan peralatan yang tidak merusak tebing.
Mbak, apa saja hambatan dan tantangan yang dialami ketika menulis novel ini?
Tantangannya, saya tidak ingin mengulangi Saman dan Larung. Saman dan Larung ditulis di masa Suharto yang otoriter. Karena itu, saya ingin membebaskan diri dari linearitas bercerita. Dalam keduanya, saya ingin bercerita yang tidak lurus tidak padat, melainkan longgar. Bilangan Fu tidak. Saya ingin kembali kepada cerita yang sederhana. Apalagi di masa yang khaos dan ribut ini, saya ingin kembali kepada plot yang lurus. Ternyata tidak mudah memberi makna baru pada kesederhanaan.
Pertanyaan terakhir mbak. Adakah perasaan "terbebani" karena khawatir novel ini tidak sebagus atau tidak sesukses novel Saman?
Tidak. Sukses itu selalu separuh nasib. Nasib tidak bisa dipaksakan. Saman sukses karena dia yang pertama di zamannya. Dia pemberontakan. Dia menghantar pada masa perubahan. Dia diluncurkan sepuluh hari sebelum Suharto jatuh! Dia membawa gosip pula.
Selain itu, saya yakin bahwa Bilangan Fu lebih bagus daripada Saman. Paling tidak, saya lebih puas terhadap Bilangan Fu dibanding Saman. Secara struktur dia lebih kompak, lebih padat. Secara isi dia lebih berbobot. Saya juga senang bisa melibatkan gambar dari banyak khasanah, bisa memasukkan berita-berita koran yang absurd.
Memang, sekali lagi Bilangan Fu tidak manis dan lembut seperti Saman. Tapi, itulah hidup. Seperti anggur atau keju. Saya bertambah umur. Saya tidak bisa terus-menerus lembut seperti keju muda. Saya tak bisa terus-menerus manis atau jualan manis.