Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Tuesday, January 15, 2008

Umi

Aku kangen Umi. Rasa ini membuatku selalu berdoa dan pasrah menjalani hidup, ngga ngoyo dan ambisius. Rasa ini membuatku rehat dari kelelahan mengejar keinginan hidupku yang menggebu-gebu, apapun itu.

Kemarin, aku membuka-buka kembali diaryku ketika umiku sakit. Waktu itu aku masih kuliah di IAIN sekitar tahun 1997. Umiku bersabar dan bertahan dengan kesakitannya selama 8 tahun, menurutku waktu yang sangat lama sekali untuk sebuah penderitaan, yang akhirnya di pertengahan Januari 2004 Tuhan mengakhiri kesakitannya.

Sampai sekarang, aku tak habis pikir dengan ulah Tuhan yang memberi kesakitan yang lama untuk umiku. menurutku, ini benar-benar ngga adil. sering kali aku kemukakan gugatan dan kemarahanku itu kepada Umiku bila aku bermanja-manja sambil tidur-tiduran di sampingnya ketika ia masih hidup. Jawaban umi, "Allah sayang sama Umi, Nong. Kamu jangan begitu sama Allah. Ambil hikmahnya aja." Aku tak seperti Umi, aku marah besar saat itu sama Tuhan. terus terang, aku tak pernah menemukan hikmahnya dari itu semua, selain aku melihat penderitaan umi dan kemudian kehilangan umi. Buatku kalau pun Tuhan menghukum Umiku, mestinya tak sekejam itu. Umiku orang yang sangat baik, berkorban banyak untuk ibu, saudara-saudaranya, suami dan anak-anaknya dan betul-betul mengabdi untuk masyarakatnya. kenapa Tuhan tega sama umiku?

Desember lalu, ada pidato kebudayaan D. Zawawi Imron, penyair senior dari Madura. selesai pidato, dia membacakan puisi IBU. Zawawi membacakannya dengan penuh seluruh. Aku bergetar, menangis, aku ingat Umiku.. langsung aja aku ingin mendapatkan teks puisi itu. tadi malam, puisi itu dikirimkan oleh guntur, orang Madura juga. terima kasih gun..

Ibu

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
aku ingat sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa aku bayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966
dari buku : Madura, Akulah Darahmu

3 comments:

  1. Teh, blognya keren. Aku suka tulisan2 teteh, khususnya yg berjudul "Umi."
    tulisan yg menyentuh sekali ...

    ReplyDelete
  2. terima kasih buya. blogmu juga bagus. keep contact terus ya, kapan-kapan kita ketemu..

    ReplyDelete
  3. "ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
    sesekali datang padaku
    menyuruhku menulis langit biru
    dengan sajakku"

    Nong, jika memang "jihad" kita diterima Tuhan maka 70 bidadari akan menemani kita di surga nanti. Membaca puisimu aku mengerti sekarang siapakah para bidadari itu.

    ReplyDelete