Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Saturday, December 22, 2007

KH. Ilyas Ruhiyat, Guruku, Telah Tiada

Selasa (18/12) jam 16.30 saya mendapat sms dari Pak Abdul Khobir, salah seorang menantu KH. Ilyas Ruhiyat yang juga guru saya di SMA dulu: “Innalillahi wainna ilaihi roji’un, telah wafat bapak kita tercinta Pak Ilyas Ruhiyat hari ini di Cipasung Tasikmalaya. Mohon dimaafkan semua kesalahan dan kekhilafannya”. Saya langsung membalas: Allahummaghfirlahu warhamhu….

KH Ilyas Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung dan mantan Rais ‘Am PBNU, meninggal dunia di usia 73 tahun 11 bulan. Ia meninggal karena sakit stroke dan penyakit komplikasi lainnya. Setelah sempat dirawat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama 40 hari dan kemudian dipulangkan ke rumahnya Cipasung karena dianggap kondisinya membaik. Namun kondisi itu hanya berlangsung dua minggu. Dengan didampingi dua putrinya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu serta beberapa santrinya, beliau menghembuskan nafas terakhir.

Di mata para santrinya dan kalangan nahdhiyin, pak Ilyas (sejak di pesantren saya selalu memanggilnya Bapak) merupakan kiai besar atau dalam istilah sunda ajeungan, yang penuh kharisma dan sangat bewibawa. Pembawaannya yang kalem, nada bicaranya yang sangat datar dan senyumnya yang selalu tersungging di bibirnya merupakan ciri khas beliau. Dalam kepribadiaannya itu tersimpan ketegasan dan kekonsistenannya dalam bersikap. Sejarah mencatat bagaimana sikap beliau yang tidak mau terkooptasi kekuasaan saat beliau menjadi Rais ‘Am mendampingi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Muktamar di Cipasung tahun 1995. Saat itu, negara begitu kuat mengintervensi semua ormas termasuk NU. Di tangan pak Ilyas, NU bisa tetap bersikap independen meski terus dikuyek kuyek. Pak Ilyas pun dikenal sebagai pribadi yang tidak haus kekuasaan dan posisi. Meski ditawarkan untuk tetap menjabat Rais ‘Am, tapi ia lebih memilih berhenti, konsentrasi ke pesantren, dan menyerahkan posisi itu kepada KH. Sahal Mahfoudz.

Pak Ilyas memang tidak dikenal sebagai kiai yang banyak menulis, melontarkan pendapat di media, atau sering menyampaikan pemikiran-pemikirannya dalam seminar-seminar dan Konferensi namun, mengutip tulisan Ulil Abshar Abdalla di milis Jaringan Islam Liberal, pak Ilyas adalah sebuah mazhab tersendiri. Gaya kekiaian pak Ilyas adalah salah satu di antara corak kekiaian yang berkembang dalam tubuh NU. Pesantren Cipasung yang diasuh olehnya merupakan contoh pelaksanaan dari prinsip yang dikenal dan dihayati dalam NU, al-muhafazah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi 'l-jadid al-aslah, memelihara yang lama yang baik, menyerap yang baru yang lebih baik.

Saya mengamini pernyataan Ulil ini. Pak Ilyas tidak pernah alergi dan sangat terbuka menerima gagasan progressif dan baru yang datang dari luar. Apalagi gagasan itu untuk memajukan pemikiran santrinya dan kesejahteraan masyarakat di sekitar pesantren. Setiap tamu dari kalangan mana pun, NU atau non NU, Islam atau non Islam, pasti disambutnya dengan ramah. Makanya tak aneh bila di lingkungan Pesantren Cipasung banyak santri dan pengurus pesantren, termasuk anak-anaknya pak Ilyas, yang aktif di LSM-LSM yang bergerak dalam pemikiran dan pemberdayaan masyarakat. Di sini, santri dikondisikan tak hanya belajar mengaji saja tapi juga dituntut berpikir kritis dan menjadi aktivis.

Saya beruntung karena selama saya nyantri di Cipasung enam tahun saya tinggal di rumah beliau, di Asrama Esa. Saya bisa melihat secara langsung bagaimana pak Ilyas menjalankan kehidupan rumah tangganya, mendidik dan memperlakukan anak-anaknya serta “mencuri” dengar setiap pembicaraan dengan tamu-tamunya. Sebagai santri yang masih junior, saya belum banyak mengerti dan belum sempat diajar ngaji langsung olehnya. Sebagaimana layaknya kyai besar, pak Ilyas hanya memegang santri kelas advent dan pengajian khusus kyai-kyai seluruh Tasikmalaya. Hubungan saya dengannya seperti ayah dan anak. Kalau saya dianggap “nakal” olehnya pasti saya dimarahi langsung.

Ibu Hj Dedeh Fuadah, istri pak Ilyas yang meninggal enam bulan lalu (allahumaghfirlaha), buat saya sudah seperti ibu sendiri. Beliaulah yang menjadi guru mengaji pertama saya di pesantren ini. Kepada isterinya ini, pak Ilyas sangat mencintai dan menyayanginya sampai akhir hayatnya.

Sebagai seorang ayah, saya melihat, Pak Ilyas merupakan figur ayah yang moderat dan toleran bahkan sangat moderen untuk ukuran kyai NU. Biasanya seorang kyai besar yang memiliki pesantren besar seperti beliau ini “memaksa” anak-anaknya hanya belajar di pesantren dan kuliah di sekolah agama misalnya IAIN atau perguruan tinggi di Timur Tengah, agar menguasai ilmu-ilmu agama supaya bisa melanjutkan posisinya. Atau untuk anak perempuannya, dijodohkan atau dianjurkan menikah dengan anak kyai besar dan pintar mengaji. Tradisi seperti ini biasa kita lihat dalam pola pendidikan dan cara pernikahan di keluarga pesantren-pesantren besar di NU.

Namun hal itu tidak terjadi dalam keluarga pak Ilyas. Anaknya yang pertama, Acep Zam Zam Noor dikenal sebagai seniman, pelukis dan penyair besar lulusan seni rupa ITB. Ia menikah dengan perempuan dari keluarga yang tak berbasis pesantren. Dua anak perempuannya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu kuliah di IKIP Bandung dan bersuami bukan berlatar belakang pendidikan pesantren. Meski tak menguasai kitab kuning dan hanya berpendidikan sekuler, anak-anak dan menantunya kini bahu membahu memajukan Pesantren Cipasung.

Satu hal lagi kesan mendalam saya ketika nyantri di Cipasung adalah hubungan yang sangat baik antara Pesantren Cipasung dan umat Ahmadiyah. Hal ini dikarenakan sikap pluralis dan toleran pak Ilyas dalam membina hubungan dengan masyarakat sekitarnya termasuk dengan umat Ahmadiyah. Sekitar 500 meter dari pesantren Cipasung berdiri komplek pemukiman Ahmadiyah. Dulu, saya sering iseng main ke tempat itu. Ketika Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, pemukiman ini juga dijadikan tempat menginap bagi sebagian peserta muktamar. Bila Ahmadiyah dianggap sesat dan salah, semestinya dari dulu pak Ilyas dan pesantren Cipasung sudah menyesatkannya dan berdakwah untuk mengembalikan akidah umat Ahmadiyah di situ. Tapi hal itu tak terjadi. Malah saya melihat hubungan antara mereka dari dulu sangat harmonis. Bahkan ada kerabat dekat pak Ilyas dari turunan ayahnya yang menjadi kaum Ahmadi.

Namun sekarang hubungan baik yang sudah terjalin lama itu dihancurkan dengan adanya penyerangan oleh kelompok yang merasa akidah dan dirinya paling benar. Ironisnya penyerangan kaum Ahmadi saat itu dilakukan ketika keluarga besar Cipasung sedang dirundung duka karena Ibu Hj Dedeh Fuadah, isteri tercinta pak Ilyas meninggal Juni lalu. Ini betul-betul memperlihatkan bahwa yang melakukan penyerangan itu adalah bukanlah orang Tasikmalaya atau masyarakat sekitarnya. Saya perlu menyinggung hal ini karena untuk mengingatkan kembali sikap pak Ilyas yang sangat toleran terhadap umat Ahmadiyah di saat kelompok ini sekarang sedang dalam proses penghabisan oleh kelompok-kelompok yang merasa paling benar.

Kini kita kehilangan ajeungan yang menjadi panutan untuk semuanya. Ribuan orang berduyun-duyun menghantar kepergiannya. Proses pemakamannya dilakukan dengan estafet dari mesjid ke komplek pemakaman yang berjarak 300 meter dan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Beberapa orang bersaksi bahwa langit pun ikut serta menghantarkan kepergiannya ke rumah abadinya. Terlihat di langit ada pelangi yang sangat indah, meski saat itu hujan tak turun.

Rabu malam kemarin saya mendapat sms dari Pak Khobir lagi: Semoga anak-anak dan cucu-cucunya bisa meneruskan perjuangan beliau.” Saya kira, tak hanya anak dan cucunya yang harus meneruskan perjuangannya, kita juga wajib turut meneruskannya dan mencontoh sikap dan tindakannya untuk kelangsungan hidup bangsa ini.

Tuesday, December 11, 2007

Menjadi Perempuan Baik-Baik

Bertrand Russell, sang filosof dari Inggris, pernah menulis satu artikel tentang Bahaya menjadi Manusia baik-baik. Menurut Russell, manusia baik-baik berbahaya karena kehilangan kedirian dan kekritisan dirinya. Manusia diatur oleh diluar dirinya, manusia yang ditundukkan oleh moralitas yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita harus jaim (jaga image, jaga citra diri) untuk menutupi kedirian kita. Akhirnya kita bisa menjadi hipokrit supaya tetap terjaga citranya di mata publik.

Tiba-tiba aku gelisah dengan diriku: apakah aku termasuk perempuan baik-baik? Sebenarnya pertanyaan ini biasa-biasa aja dan sedikit norak. Tapi untuk situasiku sekarang yang kebetulan aku berstatus perempuan dan ditengah munculnya kembali RUU Porno akan disahkan, trend perda Syariah yang mewajibkan perempuan menutup tubuhnya dan tidak keluar malam dll, ujug-ujug soal ini menjadi krusial. Betulkah aku telah menjadi perempuan baik-baik? Aku sangat perduli dengan istilah “baik-baik” ini sekarang.

Lazimnya, tak mesti perempuan yang menjadi baik, lelaki pun harus baik. Tapi coba perhatikan di sekeliling kita. Tuntutan yang menyerukan agar menjadi manusia yang baik lebih banyak diperuntukkan kepada yang berjenis kelamin perempuan. Baca kitab suci, baca nasihat ulama, dengar ceramah agama, lebih banyak anjuran dan kewajiban yang dikhususkan buat perempuan.

Sejak kecil pun aku selalu diwanti-wanti untuk menjadi perempuan baik, almaratu sholihah. Sehingga aku, dibanding dengan saudaraku yang laki-laki, banyak diwanti-wanti untuk tidak bolehnya dari pada bolehnya. Kata nenekku, perempuan itu banyak pamalinya. Makanya dalam Islam misalnya akhirnya perempuan harus ”ditutupi” supaya tidak macam-macam, supaya terlindungi, atau tidak ”menggoda” ke lawan jenisnya.

Menurutku, banyaknya aturan terhadap perempuan untuk menjadi baik-baik tidak sesuai dengan imbalannya. Kalau pun masuk surga, perempuan cuma jadi pendamping suami atau malah jadi bidadari dari lelaki yang masuk surga. Tidak independen dan tidak bebas lagi layaknya lelaki yang masuk surga dengan mendapat banyak bidadari minimal 40 bidadari, karena ujung-ujungnya tetap menjadi ”milik” lelaki. Hahaha...Betulkah? nanti kita buktikan di surga. Kalau aku sudah gila begini, aku berpikir, mending aku hidup dan menikmati surga dunia aja. Persoalannya, adakah surga dunia? Ya, kita nikmati dan rasakan aja surga menurut persepsi kita sekarang ini.

Ditengah kegelisahan itu, aku mengsms beberapa teman. Aku menanyakan persepsi teman-temanku soal apa itu perempuan baik-baik. Jawabannya ada yang serius dan ada yang main-main. Responnya malah banyak yang mengkhawatirkanku. Kamu kenapa, Nong? Ada apa, Nong? Dan lain-lain. Seakan-akan aku lagi punya persoalan serius banget. Padahal aku biasa-biasa aja, cuma sekedar gelisah. Hidup kan kadang seperti ini. Dinamika hidup, hehehe...

Tapi kesimpulan dari jawaban teman-temanku: perempuan baik-baik adalah ukuran, definisi dan konstruksi lelaki dengan memakai aturan agama dan aturan lain-lain, wow!

Inilah jawaban sms teman-temanku. Terima kasih atas replynya:
Dian Islamiati Fatwa (temanku di Melbourne, dia ini liberal abiz deh meski bapaknya konservatif): Baiknya tergantung konteks. Pake jilbab di Banten akan dibilang baik kalau di Aussie bisa dicurigai militant.

Sarah ”Aci” Santi (teman baikku di Freedom Institute. Aku banyak belajar hidup darinya): Istilah itu cuma definisi sosial. Bentukan budaya dalam satu sisi tidak adil pada perempuan karena ekspetasi yang berlebihan terhadap perempuan. So pertanyaannya kalau gitu perempuan boleh keluar dari definisi itu? Tetap ada koridor etika, Nong. Koridor itu buatku adalah hati hatimu, nurani. Maka sering-sering tengok diri sendiri dan berdialog dengan hatimu.

Trisno S. Sutanto (teman gendutku yang senang minum bir dan makan celeng. orangnya cerdas dan kalau sudah menulis, bagus. Katanya dia Kristen Liberal): Istilah itu dari lelaki dan tergantung kebutuhan, baik-baik di ranjang, di dapur, punya dan melihara anak, sopan berpakaian (pake jilbab), kerja domestik dll. Seharusnya perempuan sendiri yang menetukan tapi agama dan masyarakat kan milik lelaki.

Ayu Utami: Di Utan Kayu, banyak plang kos-kosan isinya ”hanya menerima wanita baik-baik”, kalau kamu pasti ga bisa masuk di kosan itu. (apa maksudnya coba?)

Goenawan Mohamad (Wartawan senior sekaligus filosof, Suhu saya dalam menjalani hidup ini): Perempuan baik-baik adalah perempuan yang menyerah kepada ukuran ”baik” yang berkuasa di masyarakat.

Martin Sinaga (Pendeta yang sangat liberal, yang tidak mau kehilangan Tuhannya): terjemahan kata itu adalah ”perempuan dengan integritas”. Kalau liberal ya konsisten liberal, kalau puritan ya tetaplah puritan.

Ucu Agustin (penulis dan filmmaker otodidak, gaya hidupnya menjadikan hidupku lebih hidup): Teh Nong perempuan baik-baik. Semua perempuan itu baik. Yang jahat dan salah pasti lelaki, hehe...itu sih kuyakin sudah lama.

Hidayat ”Wedhatama” (Temanku yang arif dan bijaksana dalam menjalani hidup): Saat nurani telah menjadi imam bagi setiap orang, maka tak ada yang lebih berhak menjawab pertanyaan moral selain diri yang bersangkutan.

Ari ”ape” Perdana (laki-laki yang baik, yang hidupnya selalu lurus): Nong, di sebelah rumahku ada kos dengan plang ”menerima wanita baik-baik”. Jadi menurutku, perempuan baik-baik itu yang diterima di kost itu, hahaha....

Aku tidak mau menjadi perempuan baik-baik bila ”berbahaya” seperti yang digambarkan Russell. Bila aku memilih definisi mas Goen, aku sekarang berproses tidak menyerah dan mencoba keluar dari ukuran yang sudah terdefinisikan dan terkonstruksi itu. Bisakah itu? waktu yang akan menjawabnya. Kalau pun aku kalah, ngga apa-apa. Yang penting aku sudah mencobanya sebagai ijtihad hidupku dan tahapan hidup yang harus aku jalani. Jadi teman-teman, menurutmu apa yang dimaksud dengan perempuan baik-baik itu?

Thursday, December 6, 2007

Nabi Itu Monogami

Terbitnya buku ini tak kalah kontroversinya dengan poligami Aa Gym beberapa waktu lalu yang berakibat pesantren dan usaha bisnisnya makin sepi. Meski penulisnya menolak kalau ia menulis buku ini bukan lah karena faktor itu. Konon saking kontroversinya, buku ini sempat ditarik dari peredaran karena membuat gerah aktivis dan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski yang memberi pengantar buku ini adalah istri pertama Presiden partai tersebut, Sri Rahayu Tifatul Sembiring. Wajar saja karena buku ini ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan yang merupakan salah seorang anggota Majelis Syuro PKS. Majelis ini menempati posisi tertinggi dalam struktur partai yang berideologi Islam ini. Sementara sudah jadi rahasia umum kalau ikhwan partai ini lazim melaksanakan praktek poligami dengan tujuan untuk perluasan dakwah Islam. Mereka juga meyakini bila poligami merupakan solusi ideal relasi suami istri bila sang suami ”tergoda.”

Di sinilah menarik dan beraninya buku ini. Isinya memang benar-benar menelanjangi praktek poligami yang banyak menyengsarakan kaum istri dan anak serta lebih khusus lagi kata penulis, berakibat buruk pada dakwah Islam. Artinya penulis mendekonstruksi pemahaman dan keyakinan sebagian besar koleganya di partai. Dalam pendahuluannya, penulis mengakui bahwa sebenarnya tema ini merupakan tema yang selalu dia hindari karena supersensitif bahkan hipersensitif. Menurutnya, menulis masalah poligami bukanlah wilayah aman untuk mengungkapkannya. Keputusan penulis untuk tetap menulis tema ini, tentulah sangat tidak populer. Bahkan cenderung menentang arus, atau mungkin juga kebijakan partai.

Sedari awal penulis menekankan bahwa ia menulis buku ini bukan dalam rangka menolak hukum atau ajaran Islam tentang poligami. Yang ia tolak adalah praktek poligami itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak fakta dan kasus yang akhirnya ia sendiri punya kesimpulan kalau poligami itu bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan keluarga tapi malah menghancurkan institusi keluarga khususnya perempuan dan anak. Meski penulis mengakui pada kasus-kasus tertentu seperti menolong janda dan anak korban konflik, poligami tetaplah menjadi solusi. Tapi kenyataannya sangat jarang suami yang berpoligami karena alasan tersebut. Mayoritas berpoligami karena perempuan yang akan dijadikan istri selanjutnya itu lebih muda, lebih menarik, lebih pintar dan lebih segalanya dibanding istri pertamanya. Buku ini banyak mengungkap data dan fakta yang didasarkan pada kasus-kasus praktek poligami yang memang menjadi kecenderungan partai dimana penulis terlibat dan dari pengaduan para kliennya karena profesinya sebagai konsultan pernikahan dan keluarga di Jogja Family Center (JFC).

Karena itulah penulis menyarankan agar suami membahagiakan dan memaksimalkan diri dengan satu istri. Dari situ, penulis mengeksplorasi argumen-argumen doktrin Islam tentang monogami yang menurut saya argumen tersebut mendekonstruksi argumen tentang poligami dalam Islam.

Seperti diketahui, biasanya para pelaku poligami membenarkan perbuatannya tersebut pada dua hal: Alquran surat al-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami sampai empat dan mengikuti Sunnah Nabi. Padahal kata penulis, bila kita melihat kehidupan keluarga Nabi secara cermat, sesungguhnya Nabi itu melakukan monogami. Karena dalam kurun waktu kehidupan rumah tangga Nabi, Nabi itu sangat monogami. Kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah itu berlangsung 25 tahun, sementara Nabi mempraktekan poligami itu hanya 10 tahun. Itu pun setelah Khadijah wafat dan kebanyakan pernikahannya itu lebih dikarenakan menolong janda-janda sahabat beliau yang meninggal akibat perang untuk membela Islam. (hal xviii)

Sementara ayat Alquran yang menjadi acuan poligami itu pun titik tekannya pada sikap suami yang bisa berlaku adil, bukan pada bolehnya praktek poligami tersebut. Sikap adil susah sekali ukurannya karena sangat melibatkan perasaan, tidak hanya kepuasan materi dan seksual semata. Anugerah perasaan inilah yang merupakan salah satu kelebihan manusia. Seperti yang diulas dengan bagus oleh Bintu Syathi Aisyah Abdurrahman dalam bukunya Istri-istri Nabi, kehidupan istri-istri Nabi saja tak sepenuhnya harmonis, malah cenderung penuh intrik dan saling cemburu karena mereka saling bersaing untuk memperebutkan perhatian Nabi. Untuk sekualitas lelaki seperti Nabi saja, yang banyak diberi kelebihan oleh Allah, Beliau cukup kerepotan mengelola perasaan dan menghadapi isteri-isterinya. Apalagi untuk manusia biasa seperti kita semua. Karena itu kata penulis, kita ini bukan Nabi, isteri kita pun bukan Aisyah. Makanya jangan coba-coba berpoligami. (hal 238)

Ada juga yang berargumen berpoligami itu karena untuk menghindari zina. Istilahnya, dari pada selingkuh kan lebih baik poligami. Menurut penulis, kok bisa poligami dibandingkan dan disejajarkan dengan zina (selingkuh). Penyejajaran seperti ini kata penulis, merupakan cara berpikir yang tak nyambung, dan ungkapan tersebut tidak pada tempatnya sebagai alasan untuk melakukan poligami. Ia menyodorkan beberapa pilihan selain poligami. Misalnya dari pada suami berpoligami lebih baik berpuasa untuk menjaga diri atau konsentrasi dan fokus ke isteri atau onani dan masturbasi atau berkebiri atau berlari-lari untuk membuang energi atau bertobat setiap hari atau aktif dalam kegiatan berorganisasi atau segera naik haji atau banyak pilihan erbuatan yang lebih baik dan positif. Jadi bagi penulis, suami tak mesti berpoligami, atau lebih ekstrim lagi berselingkuh, karena pilihan untuk tetap beristri satu tetap yang paling realistis. (hal.99)

Penulis mengakui, banyak yang bertanya kenapa ia tak berpoligami. Jawabannya karena ingin bahagia dengan satu istri. Dengan memarodikan lagu Aa Gym, penulis menjawab:

Jagalah istri, jangan kau sakiti
Sayangi istri, amanah ilahi
Bila diri kian bersih, satu isteri terasa lebih
Bila bisa jaga diri, tidak perlu menikah lagi

Bila suami berpoligami
Dakwah akan terbebani
Demarketing menjadi jadi
Dakwah bisa dibenci

Jagalah istri, jangan khianati
Jagalah diri, tak perlu poligami


Buku ini jelas-jelas diperuntukkan untuk suami baik yang punya niat berpoligami atau tetap monogami. Bagi yang berniat poligami, setelah membaca buku ini pasti tak akan jadi menambah istrinya. Bagi yang setia dengan satu istri, pasti akan semakin membahagiakan istrinya. Bagi yang sudah berpoligami, ada dua kemungkinan: membenarkan atau menolak mentah-mentah isi buku ini.

Tentu saja buku ini tak hanya layak dibaca para suami atau lelaki meski isinya memang lebih banyak diperuntukkan untuk kaum Adam. Bagi perempuan pun, buku ini sangat bermanfaat karena banyak kiat dan nasihat agar para istri tidak dipoligami. Sayang sekali, bukunya sangat sulit untuk didapatkan sekarang. Salut untuk Ustadz Cahyadi...

Tulisan ini dimuat di majalah GATRA, 5 Desember 2007