Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Tuesday, December 11, 2007

Menjadi Perempuan Baik-Baik

Bertrand Russell, sang filosof dari Inggris, pernah menulis satu artikel tentang Bahaya menjadi Manusia baik-baik. Menurut Russell, manusia baik-baik berbahaya karena kehilangan kedirian dan kekritisan dirinya. Manusia diatur oleh diluar dirinya, manusia yang ditundukkan oleh moralitas yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita harus jaim (jaga image, jaga citra diri) untuk menutupi kedirian kita. Akhirnya kita bisa menjadi hipokrit supaya tetap terjaga citranya di mata publik.

Tiba-tiba aku gelisah dengan diriku: apakah aku termasuk perempuan baik-baik? Sebenarnya pertanyaan ini biasa-biasa aja dan sedikit norak. Tapi untuk situasiku sekarang yang kebetulan aku berstatus perempuan dan ditengah munculnya kembali RUU Porno akan disahkan, trend perda Syariah yang mewajibkan perempuan menutup tubuhnya dan tidak keluar malam dll, ujug-ujug soal ini menjadi krusial. Betulkah aku telah menjadi perempuan baik-baik? Aku sangat perduli dengan istilah “baik-baik” ini sekarang.

Lazimnya, tak mesti perempuan yang menjadi baik, lelaki pun harus baik. Tapi coba perhatikan di sekeliling kita. Tuntutan yang menyerukan agar menjadi manusia yang baik lebih banyak diperuntukkan kepada yang berjenis kelamin perempuan. Baca kitab suci, baca nasihat ulama, dengar ceramah agama, lebih banyak anjuran dan kewajiban yang dikhususkan buat perempuan.

Sejak kecil pun aku selalu diwanti-wanti untuk menjadi perempuan baik, almaratu sholihah. Sehingga aku, dibanding dengan saudaraku yang laki-laki, banyak diwanti-wanti untuk tidak bolehnya dari pada bolehnya. Kata nenekku, perempuan itu banyak pamalinya. Makanya dalam Islam misalnya akhirnya perempuan harus ”ditutupi” supaya tidak macam-macam, supaya terlindungi, atau tidak ”menggoda” ke lawan jenisnya.

Menurutku, banyaknya aturan terhadap perempuan untuk menjadi baik-baik tidak sesuai dengan imbalannya. Kalau pun masuk surga, perempuan cuma jadi pendamping suami atau malah jadi bidadari dari lelaki yang masuk surga. Tidak independen dan tidak bebas lagi layaknya lelaki yang masuk surga dengan mendapat banyak bidadari minimal 40 bidadari, karena ujung-ujungnya tetap menjadi ”milik” lelaki. Hahaha...Betulkah? nanti kita buktikan di surga. Kalau aku sudah gila begini, aku berpikir, mending aku hidup dan menikmati surga dunia aja. Persoalannya, adakah surga dunia? Ya, kita nikmati dan rasakan aja surga menurut persepsi kita sekarang ini.

Ditengah kegelisahan itu, aku mengsms beberapa teman. Aku menanyakan persepsi teman-temanku soal apa itu perempuan baik-baik. Jawabannya ada yang serius dan ada yang main-main. Responnya malah banyak yang mengkhawatirkanku. Kamu kenapa, Nong? Ada apa, Nong? Dan lain-lain. Seakan-akan aku lagi punya persoalan serius banget. Padahal aku biasa-biasa aja, cuma sekedar gelisah. Hidup kan kadang seperti ini. Dinamika hidup, hehehe...

Tapi kesimpulan dari jawaban teman-temanku: perempuan baik-baik adalah ukuran, definisi dan konstruksi lelaki dengan memakai aturan agama dan aturan lain-lain, wow!

Inilah jawaban sms teman-temanku. Terima kasih atas replynya:
Dian Islamiati Fatwa (temanku di Melbourne, dia ini liberal abiz deh meski bapaknya konservatif): Baiknya tergantung konteks. Pake jilbab di Banten akan dibilang baik kalau di Aussie bisa dicurigai militant.

Sarah ”Aci” Santi (teman baikku di Freedom Institute. Aku banyak belajar hidup darinya): Istilah itu cuma definisi sosial. Bentukan budaya dalam satu sisi tidak adil pada perempuan karena ekspetasi yang berlebihan terhadap perempuan. So pertanyaannya kalau gitu perempuan boleh keluar dari definisi itu? Tetap ada koridor etika, Nong. Koridor itu buatku adalah hati hatimu, nurani. Maka sering-sering tengok diri sendiri dan berdialog dengan hatimu.

Trisno S. Sutanto (teman gendutku yang senang minum bir dan makan celeng. orangnya cerdas dan kalau sudah menulis, bagus. Katanya dia Kristen Liberal): Istilah itu dari lelaki dan tergantung kebutuhan, baik-baik di ranjang, di dapur, punya dan melihara anak, sopan berpakaian (pake jilbab), kerja domestik dll. Seharusnya perempuan sendiri yang menetukan tapi agama dan masyarakat kan milik lelaki.

Ayu Utami: Di Utan Kayu, banyak plang kos-kosan isinya ”hanya menerima wanita baik-baik”, kalau kamu pasti ga bisa masuk di kosan itu. (apa maksudnya coba?)

Goenawan Mohamad (Wartawan senior sekaligus filosof, Suhu saya dalam menjalani hidup ini): Perempuan baik-baik adalah perempuan yang menyerah kepada ukuran ”baik” yang berkuasa di masyarakat.

Martin Sinaga (Pendeta yang sangat liberal, yang tidak mau kehilangan Tuhannya): terjemahan kata itu adalah ”perempuan dengan integritas”. Kalau liberal ya konsisten liberal, kalau puritan ya tetaplah puritan.

Ucu Agustin (penulis dan filmmaker otodidak, gaya hidupnya menjadikan hidupku lebih hidup): Teh Nong perempuan baik-baik. Semua perempuan itu baik. Yang jahat dan salah pasti lelaki, hehe...itu sih kuyakin sudah lama.

Hidayat ”Wedhatama” (Temanku yang arif dan bijaksana dalam menjalani hidup): Saat nurani telah menjadi imam bagi setiap orang, maka tak ada yang lebih berhak menjawab pertanyaan moral selain diri yang bersangkutan.

Ari ”ape” Perdana (laki-laki yang baik, yang hidupnya selalu lurus): Nong, di sebelah rumahku ada kos dengan plang ”menerima wanita baik-baik”. Jadi menurutku, perempuan baik-baik itu yang diterima di kost itu, hahaha....

Aku tidak mau menjadi perempuan baik-baik bila ”berbahaya” seperti yang digambarkan Russell. Bila aku memilih definisi mas Goen, aku sekarang berproses tidak menyerah dan mencoba keluar dari ukuran yang sudah terdefinisikan dan terkonstruksi itu. Bisakah itu? waktu yang akan menjawabnya. Kalau pun aku kalah, ngga apa-apa. Yang penting aku sudah mencobanya sebagai ijtihad hidupku dan tahapan hidup yang harus aku jalani. Jadi teman-teman, menurutmu apa yang dimaksud dengan perempuan baik-baik itu?

4 comments:

  1. dua hal yang menarik dari postingan mbak..

    1) frase "surga dunia" (dari mbak sendiri)

    how can we define "surga dunia"? hehe cukup membuat saya tertarik karena terminologi itu pun ada di profil..

    2) wejangan tentang "kala nurani menjadi imam......"

    wah saya sepakat betul dengan yang ini. tapi pertanyaannya, untuk sampai pada penilaian yang baik,kondisi apa saja yang harus dipenuhi? bisakah setiap orang membuat parameter2 "kebaikan" itu sendiri; terlebih dalam menilai dirinya sendiri? kalau mbak setuju yang ini, hehe bisa gawat kita... presiden menilai kinerja dirinya dan staf2nya bagus, karena menurut beliau : "nurani saya sudah menjadi imam... dan saya bisa menilai diri saya sendiri.. tak perlu ba bi bu lembaga survei dan masyarakat.."

    buat saya, ada aturan main... dan sebagai orang Islam, aturan main hidup adalah al-Qur'an. siapakah manusia baik2? "wamaa khalaqtu jinn wal insa illa liya'budu".. tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada-Ku.
    internalisasi dulu nilai-nilai dalam ayat ini, baru (mungkin) kita punya legitimasi untuk menilai diri sendiri. dalam taraf demikian, toh pun saya masih ragu pendapat masyarakat dan orang luas bisa kita abaikan

    oh ya, hati2 dengan kata "ijtihad". bisa2 orang salah artikan dengan "ijtihad" yang merupakan salah satu dasar hukum Islam itu. dalam konteks postingan mbak, kata "berusaha" lebih tepat mungkin..

    ups sori kepanjangan =p
    salam kenal

    ReplyDelete
  2. selamat bak, saya benar-benar tergugah dengan tulisan ini. kalo saja saya tak membuka web nya mas Gun, pasti saya tidak akan menemukan solusi dari kegelisan dan problemku saat ini. ini benar-benar wahyu,bak.hehehe. bagiku, perempuan baik-baik, adalah perempuan yang melakukan apa pun yang ia sukai bukan yang memenjarakan dirinya. karena yang ia lakukan hanya untuk melihat senyuman orang di sekitarnya..
    thanks bak.

    ReplyDelete
  3. Nong, soal tempat kos itu... Kalau aku yang buka sih, definisi "baik-baik" bagiku adalah yang nggak nunggak bayar, he he..

    ReplyDelete