Andrea
Namanya Andrea Azalia Ardhani-Wibowo. Panggilan sayangnya Dea atau Ea. Ada ceritanya kenapa anakku aku beri nama Andrea. Sehari sebelum aku melahirkan ketika aku berangkat ke RS. Bunda untuk operasi Ceasar, aku mendengar lagu The Corrs. Terus terang aku gugup dan takut mau melakukan operasi ini. Seumur hidup aku belum pernah sakit yang serius dan merasakan tinggal di rumah sakit. Kalaupun aku nginap di RS itu pun nungguin yang sakit misalnya ketika teh neng dan umi di rawat di rumah sakit. Ketika dokterku memutuskan aku ga bisa melahirkan normal dan harus dicesar, ih kebayang deh alat-alat dan kamar operasi yang serem.
Di saat nervous seperti itu, aku merasa tenang dan damai ketika mendengarkan lagu-lagu The Corrs. Aku ngefans banget ama grup musik bersaudara ini, yang personnilnya cantik-cantik –yang ganteng satu-- dan kemampuannya yang oke, ini menurutku yang awam dengan musik. Apalagi si vokalisnya yang bernama Andrea. Nama yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari tersisih karena moment tiba-tiba ini. Ujug-ujug aku ingin menamakan anakku seperti vokalis the Corrs yang menurutku nama itu genderless, bisa untuk laki-laki dan cantik untuk perempuan. Sewaktu aku beritahu nama anakku ke teman-teman di Utan Kayu, mereka khususnya Ging Ginanjar, langsung heboh kalau anakku bernama Andrea Harono, plesetan dari Andreas Harsono, yang menekuni jurnalisme sastrawi sekarang www.andreasharsono.blogspot.com . Hehe..aku cuma mesem-mesem aja mendengar plesetan itu.
Lain lagi respon orang tuaku khususnya Ema, istri abahku sekarang. Dia protes karena nama anakku tidak islami. Kok namanya tidak ada Siti-nya atau islamnya sama sekali seperti Aisyah, Fatimah, Mahmadah seperti ibunya? Padahal Azalia itu berasal dari kata Arab yang artinya suci, azali he..he..he.
Proses melahirkan Andrea aku rekam utuh dengan minta bantuan suster yang membantu operasiku. Ketika aku memperlihatkan ke keluargaku saat mereka menengokku di RS, Abahku menangis tersedu-sedu melihat film itu. Ia teringat umiku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu dan karena kengeriannya melihat perutku “dibuka” dan berdarah-darah. Abahku tadinya merupakan seorang figur bapak yang sangat patriarkhi, sangat keras, prototype suami kyai-jawara, yang tak pernah perduli dengan kesulitan & kerepotan yang dialami istrinya. Baginya isteri itu harus merawat, melayani suami meski umiku sangat kerepotan dengan anak-anaknya dan sejuta kegiatan rumah tangga lainnya. Belum lagi kegiatan umi di luar sebagai guru. Abahku juga sangat berjarak dan tidak pernah dekat dengan anak-anaknya. Semuanya sungkan dan takut kepada abah. Kalau ada keinginan apa-apa, kami selalu menyampaikannya ke umi.
Tapi setelah umiku sakit terserang stroke, sifat-sifat abahku berubah total. Abah menjadi sangat egaliter dan sangat memahami kemauan umi dan anak-anaknya. Apalagi setelah umiku meninggal, abah sangat mengerti dan menghormati pemikiran anak-anaknya. Beliau hanya Tut wuri Handayani aja, setiap tindakan & keputusan anak-anaknya merupakan tanggung jawab anak-anaknya dan tidak pernah mengintervensinya.
Pernah ada wartawan salah satu majalah Islam datang ke Abah. Ia hendak wawancara abahku berkaitan dengan pemikiran dan keterlibatanku di JIL. Si wartawan ini sebelumnya mewawancarai dan mengambil foto-fotoku. Aku tak mengira kalau laporan tentang JIL itu sampai harus melibatkan abahku. Selama ini, di rumah dan di hadapan Abah karena aku sangat menghormati abah, aku selalu memakai kerudung. Dengan membawa foto-fotoku yang tak berjilbab, si wartawan ini cerita ke abahku kalau aku di Jakarta sudah melepas jilbab dengan bukti foto-foto yang dibawanya dan juga tulisanku serta transkrip wawancaraku. Abahku dengan enteng menjawab: “Abah bangga punya anak seperti Nong. Ngga sia-sia abah nyekolahin dia tinggi dan jauh. Dia punya cita-cita dan idealisme yang berdasar pendidikan dan hasil pergulatannya selama ini. Abah ngga akan pernah mempersoalkan Nong selama dia bisa mempertanggungjawabkannya bahkan abah akan selalu dukung anak abah ini.” Saya ngebayangin mungkin wartawan ini lemes dengar kata-kata abah ini.
Kembali ke anakku. Kini, Deaku berusia 3 tahun 3 bulan. Dia sudah bisa diajak ngobrol dan makin memahami kondisi mamanya. Namun sifat manjanya makin menjadi-jadi, apalagi bila menjelang tidur. Aku selalu menemaninya tidur meski proses untuk tidur bareng aku sulitnya luar biasa. Berbeda kalau ditidurin mbaknya, tidurnya cepat banget. Denganku, tak cukup dengan membacakan buku-buku cerita, dengerin musik lullaby atau nonton film-filmnya sambil dia muter-muter lari-lari di tempat tidur dan aku menerangkan isi film itu, bahkan terkadang minta digendong pakai kain panjang keliling taman di apartemenku lantai 4. Padahal berat badannya sudah hampir 18 kg. Kadang kalau dia udah bete banget karena susah tidur, dia maksa minta nenen (bayangin, udah usia 3 tahun lebih masih minta ngenyot payudara mamanya. Apa yang didapatkan wong air susunya udah ga ada lagi. Duh anakku!). Meski kegiatan-kegiatan menjelang tidur itu melelahkan tapi aku sangat menikmatinya. Yah, kadang-kadang aku cape karena seharian penuh dengan kegiatan tapi untuk Deaku, aku enjoy banget.
Sebelum aku berangkat kerja, aku juga mengantarkan dia sekolah. Sekarang dia sekolah tiap hari. Udah hampir dua bulan ini dia ngelakoni rutinitas seperti itu. Kadang-kadang ia ngambek ngga mau sekolah, mungkin karena bosen. Sejak usia setahun, dea aku “sekolahin” di Tumble tot Ambassador. Sebelumnya 2 kali seminggu kemudian bertambah di tahun berikutnya 3 kali seminggu. Bila ngambek ngga mau sekolah, maunya ikut ke kantor. Untung kantorku ngga ketat-ketat banget dan sangat family care. Jadi aku bisa leluasa mengajaknya. Menjelang tidur siang, anakku aku pulangkan dan aku kembali dengan aktivitas kantor dan kegiatanku. Begitulah kehidupan aku dan anakku satu-satunya, Andrea.