Bubar
Sekarang ini lagi ramai di milis-milis tuntutan pembubaran Komunitas Utan Kayu yang ditandatangani oleh Muzakir HS dan Elisia Purba atas nama Garda Depan Pembebasan. Dua nama ini tak pernah kedengaran sebelumnya, begitu juga organisasinya. Saya ngga tahu, apakah saya yang kuper selama ini atau memang mereka yang tidak terkenal namanya. Kata Guntur, mereka orang gila..(jangan gitulah gun..) Tapi saya penasaran juga. makanya saya cari-cari namanya di google dan di yahoo, nama-nama itu tak ketahuan. Yang saya tahu cuma Garda Kemerdekaan, yang kebetulan saya ikut mendirikannya, dan Garda Bangsa, yang punya PKB Gus Dur.
Saya ngga tahu, apakah tuntutan ini telah diajukan ke polisi atau aparat yang terkait atau hanya sekedar gertakan aja. Saya juga belum dengar pernyataan ini ada konferensi persnya atau ngga.
Teman-teman, sebelum saya berkomentar lebih lanjut, silahkan baca tuntutan mereka itu:
Bubarkan Komunitas Utan Kayu!
(1) Seniman Garda Depan Pembebasan (GDP) dengan ini mendesak kepada Pemerintah untuk membubarkan Komunitas Utan Kayu (KUK).
(2) Kami mengimbau pihak kepolisian supaya menutup areal di jalan Utan Kayu 68H itu agar tidak digunakan bagi kegiatan kesenian yang mengancam martabat bangsa.
Telah diketahui luas, bahwa KUK adalah tempat penyebaran ide-ide liberalisme yang mengutamakan humanisme universil dengan mendatangkan seniman-seniman asing secara besar-besaran. KUK juga menjadi tempat berkumpulnya kelompok Islam Liberal dan bekas-bekas tapol G30S/PKI yang ateis dan Marxis.
(3) Kami menuntut agar dominasi KUK dalam bidang sastra harus diakhiri.
(4) Kami menuntut agar Goenawan Muhammad diusut.
(5) Kami menuntut agar Harian Kompas memecat Hasif Amini sebagai redaktur budaya dan diganti oleh Saut Situmorang yang jelas-jelas berprinsip "sastra untuk rakyat tertindas".
(6) Kami menuntut agar Koran Tempo memecat Nirwan Dewanto sebagai redaktur budaya dan diganti oleh sastrawan yang ditunjuk oleh Saut Situmorang serta DEWAN penandatangan Manifesto Ode Kampung.
(7) Kami menuntut agar jurnal Kalam dilarang terbit.
Bersama ini pula kami menyerukan apabila Polisi gagal bertindak, para seniman boemipoetera yang progresif mengambil alih areal Jalan Utan Kayu 6H, termasuk stasiun radio dan teater, dan membuang jauh-jauh buku-buku liberalisme dan marxisme-leninisme dari perpustakaannnya.
SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!!!
GARDA DEPAN PEMBEBASAN (Mudzakir H.S. Ketua & Elisia Purba, Sekretaris I)
Gimana setelah baca tuntutan ini teman-teman? Mengerikan kan? Main bubar, main pecat, main ambil alih dan main buang (he..he..he..kayak syair lagu dangdut Kucing Garong). Memangnya mereka ini siapa? Gimana kalau mereka megang negara ini ya? Tak terbayangkan deh diktatornya dan fasisnya mereka itu.. Kata Mariana Amiruddin, teman saya di Jurnal Perempuan, "gila nih orang. Orde Baru banget sih, pake bawa-bawa PKI segala. Gaya-gayanya persis kayak FBR or FPI yang bisanya main gertak. Indonesia mundur seribu langkah kalau begini terus."
Perhatikan kata-katanya, mereka cuma bisa menuntut dan menuntut, bukan bekerja, baca, berpikir, menulis dan berkarya untuk meruntuhkan dominasi (kalau memang ada dominasi) TUK. Mestinya mereka bersaing dong dengan karya, bukan minta bantuan polisi atau aparat pemerintah untuk membubarkan KUK. Duh, pegel!
Saya ingat ketika Jaringan Islam Liberal (JIL) dituntut untuk bubar dan diusir dari Utan Kayu. Saya dan teman-teman serta didukung banyak pihak melawan dan menghadapinya. Meski pihak mereka berbondong-bondong bawa pasukan dengan mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran, kami tidak takut karena kami juga punya Tuhan dan kebenaran kami. Bagi kami, tak ada seorang pun yang berhak membubarkan dan mengusir kami. Kami tak pernah melakukan onar, kejahatan kriminal dan kejahatan-kejahatan lain yang melanggar hukum. Kami, di JIL, pekerjaannya hanya membaca, berpikir, menulis, dan berkarya, memproduksi ide dan gagasan sesuai dengan kemampuan dan kebisaan kami. Apakah itu salah? Soal bahwa pemikiran kami dianggap berbeda, mestinya itu saja yang dicounter. Toh kami memakai forum yang terbuka. Mereka yang tidak setuju bisa melakukan cara-cara yang baik untuk mengekspresikan ketidak setujuannya. Lihat saja di toko buku, begitu banyak buku yang tidak setuju dan mengkritik JIL, begitu juga dikhutbah-khutbah Jumat atau pengajian. Kami pun diancam dibunuh lewat telepon atau sms. Respon kami? Kami tak pernah marah, mencak-mencak bahkan menyerang siapapun. Alhamdulillah, kami biasa-biasa aja tuh.
Begitu juga dengan Teater Utan Kayu dan KUK secara umum. Jadi buat yang tidak setuju dengan KUK atau TUK, pakailah cara-cara yang elegan dan berbudaya (maksudnya apa ya?). Berkaryalah! Seperti kata mas Goen (sapaan akrab Goenawan Mohamad) dalam tulisannya ketika meresponi orang-orang yang tidak setuju terhadap TUK: kalau cara mengkritiknya ke TUK seperti sekarang ini misalnya bikin majalah Boemipoetra yang bahasanya kacau balau dan vulgarnya ga karuan; nyebarin fitnah di milis-milis, ”maaf kami sekarang sedang sibuk bekerja dan berkarya.” saya membenarkan itu, Komunitas Utan Kayu itu memang ngga pernah sepi dari bekerja dan berkarya. Kalau ngga percaya, datanglah ke Utan Kayu. Hidup mas Goen!