Kartini dan Islam
Riwayat Kartini telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Tiap tahun di hari kelahirannya pasti bermunculan ulasan tentang tokoh ini dari pelbagai perspektif. Selain pribadinya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Bayangkan, di usianya yang masih sangat muda, dia berhasil merumuskan dan mendeskripsikan persoalan-persoalan yang terjadi pada bangsanya dalam korespodensi dengan sahabat-sahabat penanya di Belanda.
Kartini beruntung karena menguasai bahasa Belanda. Dengan menguasai bahasa ini Kartini terus menerus mendiskusikan setiap pemikiran dan persoalannya dengan perempuan-perempuan dunia Eropa yang banyak menginspirasikan hidupnya. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita. Dan ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ikut andil dalam kebangkitan bangsa ini lewat goresan tangan dan kegelisahannya.
Saya mencoba membahas percikan pemikiran keagamaan Kartini khususnya soal Tuhan dan poligami. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus soal ini karena selama ini Kartini lebih dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan atau kebangkitan nasional. Padahal sebagai pribadi yang dilahirkan dari ibu yang keturunan kyai tapi dari rakyat biasa, pergulatan Kartini terhadap tema-tema keislaman sangatlah menarik. Yang pernah mengulas secara khusus pemikiran keagamaan Kartini adalah TH. Sumartana (alm) dalam buku yang berjudul Agama dan Iman menurut Kartini. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja juga sedikit menyinggung soal konsep Kartini tentang Tuhan.
Tentang Islam
Di tengah kesepian dalam pingitan, pandangan-pandangan Kartini tentang tema-tema keagamaan itu begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted. Baginya berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Sehingga doktrin dan ritual diwariskan begitu saja.
Namun jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, “tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: Mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?’” Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga ‘sesuatu’ yang menurutnya tak dia pahami dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia mengerti. Kata Kartini, “jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap–kami merasa kegelapan–tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”(Surat, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon)
Sikap seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Meski ia diperlakukan tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, namun pandangan dia tentang Tuhan sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan, ia melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif.
Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurutnya bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menerus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari. Makanya tak heran, meski dia dikungkung, namun pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melaui tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia.
Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik dibanding metafisik. Kata Kartini, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia.”
Tentang Poligami
Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktek poligami merupakan hal yang lumrah. Kebiasaan dan adat istiadat yang hidup di kalangan masyarakat khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi, memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum lelaki. Perempuan hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan itu pun malah menjadi puncak penderitaan perempuan. Karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, para perempuan dituntut dan diharuskan untuk berbagi suaminya.
Kartini melihat kenyataan tak adil ini dengan kegeraman, “…saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu,…yang menganggap egoisme lelaki semacam sesuatu yang sah dan adil!” Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Karena ia mengalami kepedihan akibat praktek yang menciptakan ketidak adilan ini di dalam keluarganya yang terjadi pada ibunya sendiri.
Ibu kandung Kartini yang bernama Ngasirah bukanlah raden ayu meski ia menjadi istri sah Bupati Sosroningrat, bapak Kartini. Meski menjadi istri sah dan telah melahirkan delapan anak, Ngasirah tak berhak tinggal di rumah utama dan tidak dianggap sebagai seorang ibu. Ia diperlakukan sebagai pembantu dan sekedar melahirkan anak. Ngasirah harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia berasal dari kalangan jelata, sementara ia dan saudara-saudaranya karena berasal dari benih bangsawan bapaknya, harus dihormati dan disembah oleh ibu kandungnya sendiri. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami ibu kandungnya, bias dibayangkan bagaimana perasaannya melihat keanehan kehidupan keluarganya. “…saya telah melihat neraka dari jarak dekat – malahan saya berada di dalamnya--…Saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya, karena saya adalah anaknya.”
Perlawanan Kartini terhadap poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang sedang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat yang didukung adat istiadat bahkan juga dibenarkan oleh agamanya, Islam. Tulis Kartini, “Saya putus asa….Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang—aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan sebagai korbannya! Aduh! Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpa kepada saya suatu siksaan yang kejam yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! mulutku menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali…”(Surat kepada Ny.Abendanon-Mandri tertanggal Agustus 1902).
Tragusnya tiga tahun kemudian setelah ia menulis itu, kejahatan besar yang selama ini ia lawan menimpa dirinya. Ia menikah dengan lelaki yang sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Sebulan sebelum ia menikah, ia menulis surat kepada Ny. Abendanon bahwa ia merasa telah mati sia-sia. Secara fisik dan moral telah patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tak suatu pun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita telah runtuh oleh egoisme orang-orang karena dilandasi tradisi dan agamanya.
Setelah menikah, Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahan dan protesnya terhadap kedudukan dan nasib perempuan Jawa termasuk soal poligami. Nampaknya Kartini berusaha berdamai dengan keadaan yang dialaminya. Meski menurut saya, usaha itu tak berhasil. Kartini tetap lah tak bisa berlangsung lama dalam kehidupan pernikahannya. Empat hari setelah melahirkan anaknya, ia meninggal membawa cita-cita dan perjuangannya meski cita-cita dan perjuangannya itu tak akan pernah mati sampai detik ini.
** Dimuat di Koran Tempo, tanggal 22 April 2008
Ingatlah Firman Allah swt :
ReplyDeleteيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maaidah ayat 51)
dan runungkanlah hadits rasulullah saw :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
(البخاري)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan (tidak mau).” Para sahabat bertanya: ”Siapa orang yang tidak mau itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Siapa yang taat kepadaku ia masuk surga, dan siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia sungguh tidak mau.” (HR Bukhary 22/248)
Ya Allah tunjukkanlah yang benar itu benar dan yang salah itu salah dan hancurkanlah kebatilan itu. dan kami takkan putus harapan dari pertolonganMU.
Wahai kaum yang telah meliberalkan ayat2 Allah atas kehendak nafsu kalian.......... Ingatlah hidup ini sementara....... Azab Allah sangat pedih, mengapa anda berani mengotak-atik al qur'an, apakah yahudi yang membantai umat islam itu mampu menolong kalian, atau bush yang telah menghancurkan negeri iraq itu mampu menyelamatkan kalian? jangankan menolong kalian menolong dirinya saja tidak sanggup. sungguh yang ironi adalah hidup kalian, yang tak mau tahu dengan hakikat hidup dan tanggungjawab sebagai hamba Allah. maha benar Allah atas segala azab pedih yang akan ditimpakan pada manusia yang tamak akan harta dan syahwat dunia