Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Friday, April 25, 2008

Kartini dan Islam

Riwayat Kartini telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Tiap tahun di hari kelahirannya pasti bermunculan ulasan tentang tokoh ini dari pelbagai perspektif. Selain pribadinya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Bayangkan, di usianya yang masih sangat muda, dia berhasil merumuskan dan mendeskripsikan persoalan-persoalan yang terjadi pada bangsanya dalam korespodensi dengan sahabat-sahabat penanya di Belanda.

Kartini beruntung karena menguasai bahasa Belanda. Dengan menguasai bahasa ini Kartini terus menerus mendiskusikan setiap pemikiran dan persoalannya dengan perempuan-perempuan dunia Eropa yang banyak menginspirasikan hidupnya. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita. Dan ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ikut andil dalam kebangkitan bangsa ini lewat goresan tangan dan kegelisahannya.

Saya mencoba membahas percikan pemikiran keagamaan Kartini khususnya soal Tuhan dan poligami. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus soal ini karena selama ini Kartini lebih dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan atau kebangkitan nasional. Padahal sebagai pribadi yang dilahirkan dari ibu yang keturunan kyai tapi dari rakyat biasa, pergulatan Kartini terhadap tema-tema keislaman sangatlah menarik. Yang pernah mengulas secara khusus pemikiran keagamaan Kartini adalah TH. Sumartana (alm) dalam buku yang berjudul Agama dan Iman menurut Kartini. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja juga sedikit menyinggung soal konsep Kartini tentang Tuhan.

Tentang Islam

Di tengah kesepian dalam pingitan, pandangan-pandangan Kartini tentang tema-tema keagamaan itu begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted. Baginya berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Sehingga doktrin dan ritual diwariskan begitu saja.

Namun jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, “tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: Mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?’” Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga ‘sesuatu’ yang menurutnya tak dia pahami dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia mengerti. Kata Kartini, “jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap–kami merasa kegelapan–tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”(Surat, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon)

Sikap seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Meski ia diperlakukan tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, namun pandangan dia tentang Tuhan sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan, ia melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif.

Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurutnya bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menerus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari. Makanya tak heran, meski dia dikungkung, namun pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melaui tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia.

Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik dibanding metafisik. Kata Kartini, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia.”

Tentang Poligami

Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktek poligami merupakan hal yang lumrah. Kebiasaan dan adat istiadat yang hidup di kalangan masyarakat khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi, memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum lelaki. Perempuan hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan itu pun malah menjadi puncak penderitaan perempuan. Karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, para perempuan dituntut dan diharuskan untuk berbagi suaminya.

Kartini melihat kenyataan tak adil ini dengan kegeraman, “…saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu,…yang menganggap egoisme lelaki semacam sesuatu yang sah dan adil!” Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Karena ia mengalami kepedihan akibat praktek yang menciptakan ketidak adilan ini di dalam keluarganya yang terjadi pada ibunya sendiri.

Ibu kandung Kartini yang bernama Ngasirah bukanlah raden ayu meski ia menjadi istri sah Bupati Sosroningrat, bapak Kartini. Meski menjadi istri sah dan telah melahirkan delapan anak, Ngasirah tak berhak tinggal di rumah utama dan tidak dianggap sebagai seorang ibu. Ia diperlakukan sebagai pembantu dan sekedar melahirkan anak. Ngasirah harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia berasal dari kalangan jelata, sementara ia dan saudara-saudaranya karena berasal dari benih bangsawan bapaknya, harus dihormati dan disembah oleh ibu kandungnya sendiri. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami ibu kandungnya, bias dibayangkan bagaimana perasaannya melihat keanehan kehidupan keluarganya. “…saya telah melihat neraka dari jarak dekat – malahan saya berada di dalamnya--…Saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya, karena saya adalah anaknya.”

Perlawanan Kartini terhadap poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang sedang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat yang didukung adat istiadat bahkan juga dibenarkan oleh agamanya, Islam. Tulis Kartini, “Saya putus asa….Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang—aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan sebagai korbannya! Aduh! Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpa kepada saya suatu siksaan yang kejam yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! mulutku menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali…”(Surat kepada Ny.Abendanon-Mandri tertanggal Agustus 1902).

Tragusnya tiga tahun kemudian setelah ia menulis itu, kejahatan besar yang selama ini ia lawan menimpa dirinya. Ia menikah dengan lelaki yang sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Sebulan sebelum ia menikah, ia menulis surat kepada Ny. Abendanon bahwa ia merasa telah mati sia-sia. Secara fisik dan moral telah patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tak suatu pun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita telah runtuh oleh egoisme orang-orang karena dilandasi tradisi dan agamanya.

Setelah menikah, Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahan dan protesnya terhadap kedudukan dan nasib perempuan Jawa termasuk soal poligami. Nampaknya Kartini berusaha berdamai dengan keadaan yang dialaminya. Meski menurut saya, usaha itu tak berhasil. Kartini tetap lah tak bisa berlangsung lama dalam kehidupan pernikahannya. Empat hari setelah melahirkan anaknya, ia meninggal membawa cita-cita dan perjuangannya meski cita-cita dan perjuangannya itu tak akan pernah mati sampai detik ini.

** Dimuat di Koran Tempo, tanggal 22 April 2008

Monday, April 7, 2008

Kado Kartini dan Partisipasi Perempuan

Meski hari Kartini masih dua minggu lagi, namun ada kado yang sangat penting di hari Kartini tahun ini untuk tidak kita lewatkan. Kado itu adalah ditetapkannya kuota 30 persen untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik yang secara legal masuk dalam UU Partai Politik. Pengesahan UU ini telah ditetapkan awal Desember tahun lalu. Semestinya saat ini partai politik sudah mulai bekerja dalam mencari perempuan-perempuan potensial yang layak dilibatkan dalam proses politik untuk memenuhi kuota 30 persen ini.

Beberapa kemajuan mendasar UU Partai Politik baru ini, pertama, pendirian partai politik (parpol) yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 2. Isinya menyatakan, pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.

Kedua, kepengurusan partai politik. Pasal 1 Ayat 5 menyatakan, kepengurusan parpol di tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan; Pasal 20 menyebut kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan 30 persen yang diatur dalam AD dan ART partai.

Ketiga, kaderisasi. Pasal 31 menyatakan, parpol melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawab dengan memerhatikan keadilan dan kesetaraan jender.

Ketiga aspek tersebut merupakan terobosan besar dalam sejarah produk perundang-undangan di Indonesia. Parpol berdasarkan UU Partai Politik Tahun 2007 ini dituntut penuh komitmennya untuk ikut mendorong tercapainya keadilan dan kesetaraan jender di Indonesia melalui pelibatan perempuan dalam politik yang tertuang pada aspek pendirian, kepengurusan, hingga pendidikan politik yang merupakan hulu proses perjuangan politik perempuan.

Adanya peraturan yang berupa affirmative action ini merupakan tantangan dan peluang bagi perempuan. Karena harus diakui Indonesia masih merupakan negara yang tergolong sangat minim dalam partisipasi perempuan di wilayah politik. Karenanya masih diperlukan kebijakan seperti ini.

Buku Data Pembuka Mata terbitan LIPI dan Unicef Mei 2001 menyebutkan bahwa ketimbang Laos, Indonesia masih kalah jauh dalam memberikan peluang bagi perempuan untuk berada duduk di eksekutif. Padahal Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 jumlah pemilih perempuan lebih besar ketimbang pemilih lelaki. Tapi nyatanya potensi besar perempuan di Indonesia masih terabaikan kalau tidak mau disebut agak 'dipinggirkan'.

Berdasar data yang dikeluarkan CETRO tentang Data dan Fakta: Keterwakilan Perempuan Indonesia di Partai Politik dan Lembaga Legislatif, 1999-2001, jumlah perempuan di Parlemen juga tidak banyak meningkat, baik pada masa Orde Baru (periode 1997-2002) maupun pasca Orde Baru (1999-2004). Bahkan ketika pemilu di era Reformasi, penurunan keterwakilan perempuan sangatlah kecil. Perempuan Indonesia yang menjadi anggota DPR tak sampai 15 persen, begitu juga di lembaga MPR, jumlahnya masih minim, di bawah 20 persen.Bila dihitung secara matematis, dari setiap delapan anggota DPR hanya satu perempuan, begitu juga di lembaga MPR.

Bila dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia sedikit lebih baik ketimbang Myanmar yang mempunyai sekitar 1-2 persen perempuan di pemerintahan, tapi jauh tertinggal dari Laos, Brunei, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Singapura, apalagi Filipina.

Indonesia sampai 2004 hanya memiliki perempuan di Parlemen sekitar 9 persen, sedang di pemerintahan tak lebih dari dua persen, jauh tertinggal dibanding Filipina dengan 25 persen perempuan di pemerintahan dan 12 persen di parlemen.

Hambatan Partisipasi Perempuan

Hambatan yang paling besar untuk memenuhi kuota 30 persen adalah dari partai politik itu sendiri. Mereka beralasan hal itu dikarenakan kurang tersedianya perempuan yang “bagus” dan layak untuk bisa masuk ke parpol, apalagi untuk legislatif. Padahal saya melihat ini lebih dikarenakan parpolnya kurang punya keinginan kuat untuk mencari, meyakinkan, dan juga menawarkan programnya kepada perempuan-perempuan yang layak untuk terlibat di parpolnya. Seperti diketahui, baru-baru ini Pusat Kajian Gender UI meluncurkan hasil kajiannya yang menemukan dan mengumpulkan ratusan perempuan potensial dari 5 daerah yang sangat layak untuk dilibatkan dalam parpol sebagai jawaban atas persoalan ini .

Di sisi lain, dari kalangan perempuan pun ada kekecewaan terhadap parpol karena parpol dalam setiap aktivitas politiknya relatif minim melibatkan perempuan dalam persoalan-persoalan yang krusial khususnya yang berdampak pada isu publik. Persepsi tentang politik yang didominasi hanya untuk dunia laki-laki ini juga menjadi faktor yang dominan. Hal ini dipertegas lagi dengan hasil survey LSI yang memperlihatkan bahwa 65 persen partai politik tidak mewakili aspirasi perempuan untuk berbagai persoalan. Karena itu perempuan-perempuan ini kemudian lebih memilih bekerja dan beraktivitas untuk pemberdayaan masyarakat di luar parpol atau di luar kekuasaan.

Hambatan lainnya yaitu masih adanya keraguan di kalangan parpol dan masyarakat dalam menerima perempuan secara penuh. Akhirnya mereka selalu mempertanyakan soal kualitas untuk memperlihatkan keraguan itu atau sikap penolakan itu. Padahal, hal itu tidak terjadi sebaliknya, diberlakukan pada laki-laki. Tidak pernah ada pertanyaan akan kualitas laki-laki yang sebenarnya sudah terbukti gagal membangun sistem politik demokratis yang menyejahterakan rakyat.

Adanya aturan kuota 30 persen ini sebenarnya lebih memotivasi dan mengajak perempuan untuk mau bekerja di parpol sehingga ada keseimbangan dalam perumusan kebijakan publik khususnya yang terkait dengan perempuan. Karena itu pertanyaan mengenai kualitas tidaklah tepat dan relevan diajukan dalam kondisi di mana keterlibatan aktif perempuan dalam politik saja masih sangat rendah. Saat ini, perempuan bisa berpolitik saja sangat berat, apalagi selalu dibenturkan pertanyaan seputar kualitas. Pertanyaan tentang kualitas politik perempuan adalah pertanyaan yang keliru memahami upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik.

Fakta membuktikan, meski dengan jumlah partisipasi yang minim, kehadiran perempuan di parpol yang kemudian masuk legislatif telah memberikan beberapa hasil menggembirakan untuk kepentingan perempuan, antara lain lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kajian di berbagai negara juga memperlihatkan, keterwakilan perempuan dalam jumlah 30persen dapat menghasilkan keputusan yang lebih memerhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan yang selama ini kurang terwakili. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meyakinkan parpol agar benar-benar memberikan tempat kepada perempuan. Karena ini akan berdampak sangat positif untuk parpol, kesejahteraan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Negara kita tercinta.

Dimuat di koran Seputar Indonesia, minggu tanggal 6 April 2008

Wednesday, April 2, 2008

Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad

My name is Irshad. I’m a faithful muslim. I speak out against violance and human rights abuses in the name of God. Courage is not the absence of fear. Courage is the recognition that some things are more important than fear.

Bila kita membuka website www.irshadmanji.com, maka kalimat-kalimat di atas akan kita temukan dibanner website itu. Kata-kata yang tegas dan terang benderang itu terus menerus diulang, menggedor kesadaran dan keberanian kita untuk ikut berjuang seperti dia tanpa ada rasa ketakutan dalam melawan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia atas nama Tuhan dan agama.

Bagi kalangan kita di Indonesia nama Irshad Manji mungkin dianggap berjenis kelamin laki-laki. Yang benar Manji berjenis kelamin perempuan yang mengancam posisi laki-laki dengan gebrakan pemikiran dan tindakannya.

Hal ini diakui oleh Dr. Khaleel Mohammed, seorang Imam yang belajar Ilmu Syari’ah di Muhamad bin Saud University Riyadh dan sekarang menjadi Professor Islam di San Diego State University. Dia mengatakan dalam pengantar buku Irshad Manji: The Trouble with Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith bahwa semestinya dia membenci Irshad Manji. Karena Manji telah mengancam posisi dia sebagai Imam lewat pemikiran-pemikiran yang kritis tentang Islam. Bila umat Islam menerima pemikiran Manji maka peran dia sebagai Imam yang mempunyai peran penting dalam menggawangi dan merumuskan ajaran Islam, akan selesai dan tidak berguna lagi. Selain itu, kata Mohammed, Manji juga mengancam posisinya sebagai laki-laki karena Manji terang-terangan mengakui kalau dirinya adalah seorang lesbian, yang menurutnya, status itu jelas-jelas dilaknat Allah.

Namun Mohammed buru-buru menyadari kalau ia tak sepatutnya membenci Manji. Lewat proses kegelisahan yang cukup panjang akhirnya Mohammed mengakui kalau apa yang dilakukan Manji selama ini lewat gebrakan pemikirannya yang selalu mengajak umat Islam untuk bersikap terbuka, toleransi, mengkritik kalangan Islam radikal, dan menentang penindasan, termasuk penindasan-penindasan yang dirasionalisasikan oleh para imam, sheikh, mullah, professor dan siapapun dengan berani berijtihad, adalah benar adanya.

Meski Mohammed menegaskan bahwa dia sendiri tak sepenuhnya setuju dengan pemikiran Manji, namun karena ajaran Islam itu sangat menghargai kebebasan berpikir maka usaha dan pemikiran Manji harus dipahami sebagai salah satu bentuk ijtihad dirinya yang meski dipuji dan dihargai. Apalagi tindakan Manji selama ini karena didasarkan pada ayat Alquran yang mengatakan: ” Wahai orang-orang yang beriman! jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapa dan kaum kerabatmu..."(Quran, 4:135)

Pengalaman Masa Kecil Manji

Manji dilahirkan di Uganda pada 1968 dari pasangan Muslim yang keturunan Arab-Mesir dan India. Antara tahun 1971 dan 1973, keluarganya merupakan salah satu dari ribuan muslim Uganda yang hijrah ke Barat karena tekanan dikatator militer saat itu, Jenderal Idi Amin Dada. Saat itu Jenderal Idi Amin hanya membolehkan masyarakat kulit hitam saja yang menempati negeri ini. Untungnya, Ayah Manji dan adik-adiknya termasuk keluarga yang mempunyai status yang cukup tinggi karena memegang bisnis perdagangan sebuah merk kendaraan yang prestisius. Tahun 1972, dengan bantuan pemerintah British, keluarga Manji diboyong ke Vancouver British Columbia, tepatnya di daerah Richmond, sebuah daerah middle class di wilayah Vancouver. Manji saat itu berusia 4 tahun.

Sejak kecil Manji sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan selalu memrotes sesuatu yang membuat dia tidak bisa menerimanya, baik di lingkungan keluarga atau agamanya. Seperti yang ia ceritakan dalam bukunya The Trouble with Islam Today, bagaimana dia memrotes tindakan ayahnya yang memukul pembantunya yang bernama Tomasi, yang berkulit hitam. Ayahnya memperlakukan pembantunya seperti budak. Tindakan itu tidak bisa dia terima tapi dia dan ibunya tak bisa berbuat apa-apa. Ayahnya punya pemahaman bahwa dia bisa melakukan apapun terhadap budaknya itu. Begitu juga terhadap dia, ibu, dan saudaranya. Ibunya pernah dipukul ayahnya dan ia melarang Manji untuk membela dan mengobati luka-luka ibunya. Ayahnya juga mengancam Manji kalau Manji melaporkan perbuatannya itu ke polisi. Manji sendiri pernah dipukul ayahnya sewaktu ibunya tidak di rumah sehingga dia kemudian lari dan bersembunyi di atas atap rumahnya. Di atas atap itu, dia membayangkan bisa hidup secara bebas dan jauh dalam mengeksplorasi semua tindakan, pemikiran dan cita-citanya.

Manji menggambarkan ayahnya sebagai tipe laki-laki yang sangat keras, galak, berkuasa dan menganggap dirinya sebagai kepala keluarga yang setiap ucapan dan tindakannya harus dibenarkan. Tipe lelaki seperti ini adalah prototype lelaki yang dipahami dalam pemahaman Islam mainstrem bahwa ayah (laki-laki) adalah segala-galanya, tidak bisa dilawan dan harus dituruti terus. Istilah Manji ketika merumuskan sosok ayahnya itu, ”tak pernah aku mendapatkan dan menemukan nilai cinta & kebahagiaan darinya.”

Dua tahun setelah beradaptasi hidup di Barat, ayahnya menemukan sebuah penitipan anak-anak (semacam chid care) gratis yang dikelola oleh Gereja Baptis Rose of Sharon. Setiap hari Minggu ia dititipkan ayahnya karena ia tidak suka dan tidak bisa melayani anak-anak sementara ibunya saat itu bekerja sebagai agen Avon (salah satu produk kosmetika perempuan) yang menjajakan produknya dari rumah ke rumah. Di gereja itu, Manji mendapatkan lingkungan yang cocok dengan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan dia yang dianggap nakal dan subversif selalu dijawab oleh para pelayan di gereja itu dengan sabar tanpa pernah dimarahi atau dilarang. Misalnya pertanyaan: Yesus datang darimana, kapan Yesus hidup, siapa yang dinikahinya dan lain-lain. Semakin banyak ia bertanya, semakin senang orang-orang gereja itu menjawabnya. Sampai-sampai karena keaktifannya bertanya ia dianugerahi sebagai Most Promising Christian of the Year. Ia mendapat edisi buku bergambar yang berjudul 101 Bible Stories. Manji mengakui kalau ia sangat beruntung dengan periode hidup ini karena ia tidak mengenal terlebih dahulu Alquran sebagai satu-satunya buku yang merupakan sumber kekayaan hidupnya.

Setelah ia mendapatkan anugerah itu, ayahnya langsung mengeluarkan Manji dari gereja itu. Ia kemudian dimasukkan ke sekolah umum, Burnett Junior High, dan juga sekolah agama, madrasah. Tadinya Manji membayangkan kalau lingkungan madrasah akan sama seperti gereja. Tapi ternyata berbeda sama sekali. Pertanyaan dan kegelisahan yang keluar darinya soal agama yang selalu dia tanyakan ke gurunya, Mr. Khaki, selalu dianggap berbahaya dan subversif. Ia bertanya soal isu-isu keperempuanan misalnya soal jilbab, soal kenapa perempuan yang tidak bisa menjadi imam dan pemimpin, pemisahan laki-laki & perempuan, soal kebencian Islam terhadap Yahudi dan lain-lain. Mr Khaki selalu menjawab kalau ajarannya memang sudah begitu dan meminta Manji membaca Alquran terus menerus. Karena rasa ingin tahunya yang sangat besar, Manji membaca Alquran dengan terjemahan Inggris dan kemudian ia mengajak Mr. Khaki untuk berdiskusi lagi. Eh, Manji malah dikeluarkan dari madrasah karena terlalu banyak bertanya. Hal ini berbeda ketika ia berada di lingkungan gereja yang ia jalani sebelumnya.

Pengalamannya di madrasah itu sangat berkesan pada Manji dalam memahami ajaran Islam. Tentu saja maksudnya kesan jelek yang mendalam. Akhirnya untuk dua puluh tahun kemudian Manji mendalami sendiri Islam di perpustakaan-perpustakaan dan melalui tutor Bahasa Arab.

Pada dasarnya Manji bukanlah berlatar belakang studi Islam. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas British Columbia dalam bidang Sejarah Ide. Di tahun 1990, dia mendapatkan penghargaan Governor General's Silver Medal untuk lulusan bidang kemanusiaan. Kemudian bekerja di Parlemen Kanada menjadi asisten legislatif, sekretaris media di Pemerintah Ontario dan menjadi penulis naskah pidato untuk pemimpin New Democratic Party. Di usia 24 tahun, ia menjadi editor nasional untuk Ottawa Cittizen, dan menjadi anggota termuda sebagai editor di Canadian daily. Ia juga menjadi host dan produser untuk beberapa acara televisi dan memenangkan Gemini, penghargaan bergengsi televisi di Canada. Tahun 2002, ia menjadi penulis di Hart House Universitas Toronto, dari sinilah Manji mulai menulis buku The Trouble with Islam Today yang membuatnya kontrovesial.

Sekarang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa seluruh Dunia. Tahun ini akan terbit dalam bahasa Indonesia. Sekarang Manji menetap di New York dan sedang memimpin sebuah program yang bernama Courage Moral Project, sebuah program yang dikhususkan untuk anak-anak muda seluruh dunia.

Menjadi Feminis Muslim yang Lesbian

Secara terbuka Manji mengakui kalau dia adalah seorang feminis yang lesbian. Tentu saja dia menyadari kalau pilihannya itu beresiko terhadap pemahaman dan keyakinan keislamannya. Karena dalam pemahaman mayoritas umat Islam, agama yang dianutnya, dan agama lain pun, tak menerima bahkan mengutuk pilihan orientasi seksualnya. Ia mengakui ada pergulatan dalam dirinya apakah tetap menjadi muslim karena pilihan orientasi seksualitasnya itu atau keluar dari Islam. Bagi dia, sangatlah tidak adil untuk membenturkan dua pilihan hidupnya: menjadi lesbian membuat dia merasa bahagia dan indah, di sisi lain Islam adalah agama yang ia pilih dan jalani secara sadar, bukan sekedar karena Islam adalah agama keturunan yang ia anut dari kecil dan dari orang tuanya. Islam membuat ia merasa bahagia ketika menjalaninya karena ia menemukan banyak sumber kehidupan yang ia dapatkan dalam Islam. Ia katakan bahwa kebanyakan umat Islam atau orang beragama memeluk agamanya karena turun temurun, given, bukan pilihannya sendiri.

Manji mengenal teman perempuan spesialnya ketika ia berusia dua puluhan. Beberapa minggu kemudian ia memberitahu soal pilihannya ini kepada ibunya, Mumtaz Manji. Respon ibunya, kata Manji, sangat memahami psikis dan pilihannya, tidak ada kata protes, sesal atau gugatan. Dalam bukunya Manji mengakui kalau ia menjadi lesbian karena ia merasa hidup dalam keluarga yang penuh kesedihan di bawah seorang ayah (laki-laki) yang membenci keindahan dan mensabotase rasa cintanya pada laki-laki. Ia menemukan cinta dan kebahagian pada sosok perempuan.

Posisi Manji sebagai lesbian semakin terbuka ketika ia menjadi presenter dalam acara QueerTelevision untuk salah satu TV di Toronto, tahun 1998. Ia langsung mendapat banyak hujatan, kritikan dan cercaan dari penonton yang tidak suka dan tidak setuju dengan persoalan orientasi seksual yang ”lain” terutama dari kalangan agama khususnya Islam dan Kristen. Acara ini memang membahas secara tuntas soal-soal kehidupan LGBT (lesbian, gay, biseks, transeksual/transgender).

Awalnya Manji berharap acara yang dipandunya itu bisa menciptakan sebuah dialog atau rekonsiliasi yang baik tentang tema homoseksualitas dengan Islam. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, banyak yang menuntut agar Manji keluar dari Islam. Di tengah tuntutan itu, Manji menjawab bahwa sangatlah tidak adil untuk meminta dia keluar dari Islam karena pilihan orientasi seksualnya ini. Pertanyaan dia: jika Tuhan yang Maha Tahu dan Maha berkuasa tidak ingin menjadikan aku seorang lesbian, kenapa Tuhan tidak menciptakan orang lain untuk menggantikan posisiku? Bukankah Tuhan sangat bisa dengan keMaha Kuasaanya menjadikanku untuk tidak menjadi seorang lesbian?

Dalil yang selalu dikatakan dari kalangan Islam yang tidak setuju homoseksualitas adalah ayat Alquran dalam kasus Nabi Luth AS. Tapi Manji balik berargumen bahwa dalam Alquran pun Allah mengatakan: ”Sekiranya Tuhanmu berkehendak, Dia akan membuat kamu sebagai satu suku, tetapi Dia telah mencipta kamu bersuku-suku.” Manji mengakui kalau soal homoseksualitas ini betul-betul menguji keimananannya. Namun dia berkesimpulan bahwa perdebatan soal ini lebih karena penafsiran atas ayat Tuhan tapi bukan karena ayat Tuhan itu sendiri. Masing-masing pihak mempunyai landasan ayatnya sendiri-sendiri yang semuanya diakomodasi dalam Alquran.

Menjadi Muslim Refusenik

Dalam pencarian keislamannya, Manji menemukan banyak kesalahpahaman yang terjadi di dalam umat Islam saat ini dalam memahami ajaran Islam yang semestinya. Hal ini, menurut Manji, dikarenakan penafsiran Islam yang literer dan dogmatis yang diajarkan oleh para imam dan otoritas keislaman lainnya. Inilah yang membuat, istilah dia, The Trouble with Islam today. Karena itu Manji berseru keras agar umat Islam harus berani berijtihad, membuka & menafsirkan ajaran Islam kembali dengan pemikirannya sendiri yang sesuai dengan konteks dan persoalan yang dihadapi sekarang ini.

Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, Manji sangat nyaring menggaungkan pentingnya ijtihad di kalangan umat Islam saat ini. Meski Manji bukanlah seorang sarjana muslim yang sengaja dan secara spesifik belajar tentang Islam namun keberhasilan dia adalah dia telah dengan jujur dan berani serta bersikap untuk mengungkapkan sesuatu yang salah yang dirasakan seorang muslim tentang Islam yang "dipraktekkan" dalam masyarakat saat ini.

Karena itu, ia menyebut dirinya sebagai Muslim Refusenik. Identitas ini bukan berarti ia menolak untuk menjadi muslim tapi ia menolak bergabung dengan sebuah pasukan robot atas nama Allah, menentang penjajahan otoritas dan pemahaman serta penafsiran Islam yang dominan sekarang ini yang disebarkan oleh para mullah, imam, sheikh dan lain-lain. Islam yang menyebarkan kebencian kepada yang lain, Islam yang menghalalkan kekerasan hanya karena berharap bertemu bidadari dan masuk surga, Islam yang tidak ramah dengan perempuan untuk melanggengkan patriarkhi, Islam yang menolak hak asasi manusia dan sekulerasiasi untuk menegakkan teokrasi dan lain-lain.

Istilah Refusenik berasal dari kalangan Yahudi-Soviet yang memperjuangkan kebebasan pribadi dan kebebasan beragama. Pemerintah Komunis saat itu menindas dan menghalagi perjuangan dan hak mereka. Mereka menolak untuk pindah ke Israel dan akhirnya dihukum berat bahkan ada yang dibunuh. Namun perjuangan mereka mendapatkan kemenangan dengan tumbangnya kekuasaan Soviet.

Manji meyakini bahwa apa yang dilakukannya selama ini akan mendapatkan hasilnya. Ia berharap umat Islam tidak akan terbelenggu lagi dengan pemahaman-pemahaman literer yang membuat Islam ini terpuruk dan tidak beradab. Manji masih lantang bersuara sampai sekarang. Ia menulis artikel dan buku, mengisi seminar dan diskusi, rajin berdiskusi dan menjawab pertanyaan siapa saja di blognya, wawancara di pelbagai media, bahkan ia membuat film dengan judul Faith without Fear yang diproduksi oleh PBS TV. Film ini mengisahkan tentang perjalanan hidupnya dalam merekonsiliasi antara keyakinan agama dan kebebasannya (freedom).

Beberapa waktu lalu, Oprah Winfrey memberikan penghargaan Chutzpah karena keberanian, kelantangan dan keteguhan Manji dalam menyuarakan keyakinan dan perjuangannya. Majalah Ms menyebut Manji sebagai “Feminis Abad 21”, The World Economic Freedom Forum memilihnya sebagai Young Global Leader. Sementara The Jakarta Post menuliskan Manji merupakan salah satu dari tiga perempuan Islam yang memberi perubahan positif pada Islam saat ini.

Sangat jarang menemukan orang yang berani seperti Manji di tengah konstelasi umat Islam saat ini. Karena pemikirannya yang dianggap mengancam itulah ia mendapat banyak cercaan dan ancaman termasuk diancam dibunuh dari kalangan Islam yang tidak setuju dengannya. Bahkan The New York Times menyebut Manji sebagai “mimpi buruk Osama bin Laden”. Namun Manji tidak takut mati karena ia punya keyakinan bahwa meski raganya mati tapi gagasan dan pemikiran tetap akan hidup dan tetap diteruskan oleh orang-orang yang setuju dengannya.

Seperti halnya sikap Mohammed di atas, saya juga sangat setuju untuk tidak mempersoalkan pilihan orientasi seksual Manji yang berbeda dengan mainstream. Juga tidak menjadi dalih untuk menolak pemikiran dan usahanya selama ini dalam menghidupkan kembali ijtihad yang harus dilakukan umat Islam saat ini. Mengutip sebuah ungkapan Arab: undur ma qaala, wala tandur man qaala: lihat yang dia lakukan selama ini, jangan mempersoalkan bagaimana orangnya. Kita mesti mengapresiasi, mendukung dan mengikuti pemikiran dan perjuangannya selama ini. Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.

**Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan, edisi Maret-April 2008