Slamet
Rabu kemarin (16/1) lagi-lagi ada berita yang menyayat hati kita semua. Slamet seorang pedagang gorengan di Pasar Badak Pandeglang Banten terpaksa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Saya sedih karena saya juga berasal dari kebupaten yang sama, Pandeglang. Saya yakin, Slamet bukannya ngga tahu kalau bunuh diri dalam agamanya itu dosa, tapi ia sudah tak tahan dengan tekanan hajat hidup yang semakin berat. Sebagai pedagang kecil pendapatannya terus menurun, sementara minyak tanah semakin sulit didapat dan harganya terus naik. Ditambah melonjaknya harga bahan-bahan pokok dagangannya: tempe, tepung terigu, tepung tapioka, sayuran dan minyak goreng.
Kita tahu, Slamet adalah satu dari ribuan pedagang makanan yang terkena dampak dari buruknya pemerintah mengatur negeri ini. Tidak pernah jelas sampai sekarang bagaimana program pemerintah membantu masyarakat miskin. Dulu saya pernah ikutan menandatangani persetujuan untuk pengurangan subsidi BBM karena akan dialihkan subsidinya ke rakyat miskin berupa kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial lainnya. Namun pada prakteknya hal itu sulit sekali. Ternyata banyak kebijakan pemerintah semakin membuat masyarakat miskin susah. Banyak slamet-slamet di negeri ini dan saya tak mampu melakukan apa-apa untuk membantu mereka.
Berita tentang Slamet dan lainnya terabaikan. Semua perhatian dan berita dicurahkan ke Soeharto, termasuk doa. Nasib Slamet semakin terpinggirkan, dan mungkin akan terlupakan. Peristiwa Slamet ini mengetuk hati kita, dan menggugah nurani bahwa hari demi hari masa depan rakyat kecil semakin tak pasti di negeri ini. Slamet adalah tumbal dari pembiaran dan ketidakpedulian, serta kesewenang-wenangan Pemerintah yang terus menerus berlangsung.
Hari Rabu siang itu saya mampir ke Utan Kayu dan bertemu dengan Mas Goen. tiba-tiba mas goen meminta saya untuk membuat acara doa dan renungan untuk Slamet. Tentu saja saya menyanggupinya meski acara dan persiapannya sangat mendadak. Saat itu juga langsung dibicarakan tehnis acaranya dan siapa aja yang akan diundang untuk memimpin doa.
Tadi malam, sekitar 50 orang hadir di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Kamis 17 Januari. Kita larut dalam kesedihan dan keprihatinan. Kematian Slamet yang tragis memanggil dan membuat kita berkumpul di Kedai Tempo. Saya terharu karena dalam waktu yang sangat mendadak dan tidak terjadwal sama sekali, tokoh-tokoh agama dan masyarakat lintas agama itu datang untuk berdoa dan menyatakan keprihatinan. Berkali-kali saya menyeka air mata saya mendengar doa dan ungkapan keprihatinan yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh agama yang memimpin doa.
Siti Musdah Mulia dari ICRP memulai dengan doa, ungkapan duka, dan keprihatinan. Selanjutnya diikuti dengan tokoh-tokoh lintas agama yang lain, Zafrullah Pontoh (JAI), Pdt Albertus Patty dari GKI, Pdt Martin Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Pdt Gomar Gultom dari PGI, Bikhu Bhadravidya dari Majelis Buddhayana Indonesia, Romo Benny Susetyo dari KWI, Romo Jus Felix Mawengkang, MSC, dan ditutup Abd Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal.
Dalam acara malam itu juga dibacakan Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang ditulis Tahun 1986 “The Death of Sukardal”, kisah tukang becak yang gantung diri karena becaknya dirampas oleh petugas. Goenawan Mohamad juga memberikan orasi: menceritakan sosok Slamet yang meninggalkan seorang istri, empat orang anak dan hutang yang belum
terbayar. Slamet memiliki hutang 5 juta dan baru terbayar 2.5 juta. Slamet tak mampu lagi membayar sisanya.
Acara tersebut ditutup pemutaran sebuah film berjudul “Kematian di Jakarta” karya Ucu Agustin yang mengisahkan kematian orang-orang terlantar di Jakarta.
Di acara itu, saya juga secara spontan meminta sumbangan untuk membantu keluarga yang ditinggalkan Slamet, minimal untuk membayar utangnya. Malam itu terkumpul dana sebesar 2 juta rupiah. Rencananya, sumbangan ini akan terus dilanjutkan pengumpulannya oleh Radio Utan Kayu Jakarta dan kemudian akan langsung diberikan ke keluarga Slamet. Semoga tak ada lagi Slamet atau Sukardal lainnya di negeri ini. Meski sepertinya harapan itu sangat sulit terjadi mengingat kondisi bangsa dan kebijakan pemerintah kita masih seperti ini.
salam kenal..
ReplyDeletesalut atas empati anda yg tinggi.
saya sendiri takut membayangkan jika mendapat ujian seberat pak slamet..
setiap empati pasti berarti.
wah, ternyata ketemu orang Pandeglang itu malah di sini ya... ketemu langsung malah jarang banget....
ReplyDeletesalam ya buat si manis Andrea.... aku lagi gemar semua yang berbau Andrea, gara-2 Andrea Hirata itu lho....
Yoyoh