Tubuh Perempuan, Moralitas, dan Hukum di Indonesia
Film Pertaruhan adalah film antologi berisi empat cerita tentang perempuan. Film ini sebuah dokumenter karya bersama hasil workshop 'Project Change! 2008' yang merupakan program kerjasama Kalyana Shira Foundation, Dewan Kesenian Jakarta, dan The Body Shop. Sutradara terpilih dari program ini difasilitasi untuk merealisasikan film mereka lewat bendera Kalyana Shira Films dibawah pimpinan Nia Dinata.
Para sutradara dalam film ini adalah Ucu Agustin yang menggarap film Ragate Anak, Lucky Kuswandi dalam film Nona Nyonya?, Iwan Setyawan dan M Ichsan menggarap film Untuk Apa?, dan Ami Ema Susanti yang menggarap film Mengusahakan Cinta.
Menonton film ini kita bisa melihat bagaimana realitas perempuan di Indonesia dalam pelbagai aspek kehidupan. Dari mulai kalangan bawah seperti dalam film Ragate anak, kalangan agamawan dan budaya dalam film Untuk Apa?, Kalangan buruh migran dan homoseksual dalam film Mengusahakan Cinta, dan kalangan perempuan kelas menangah yang mandiri dalam film Nona Nyonya. Film ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam mengangkat persoalan perempuan. Dalam film sebelumnya kita tahu, Nia Dinata yang menjadi produser dalam film ini, juga telah mendedahkan secara apik persoalan perempuan seperti dalam film ’Berbagi Suami’ dan ’Arisan’.
Namun yang menarik dan kelebihan dari film Pertaruhan ini adalah kejadiannya berdasar pada fakta yang betul-betul riil. Seperti pengalaman saya yang terlibat dalam salah satu film di atas, sutradara tidak menyetir maupun mendramatisir sebuah fakta. Sutradara sekadar merekam kenyataan itu apa adanya. Film ini betul-betul menjadi dokumen dari persoalan-persoalan yang memang terjadi di sekitar kita. Dari film ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa persoalan perempuan selalu dikaitkan dengan persoalan tubuhnya. Tubuh seakan-akan menjadi titik sentral dari segala kewajiban dan aturan yang dikenakan pada perempuan.
Semestinya tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia sebagai ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, tidak dengan tubuh perempuan. Tubuh perempuan tidak pernah dipunyai dirinya sendiri. Perempuan kehilangan raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabel, dinilai, diobjektivikasi, termasuk dikriminalisasi melalui pelbagai aturan, baik yang berdasarkan agama maupun peraturan yang dikontrol negara seperti UU Pornografi dan perda-perda syariah yang marak sekarang ini. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk setara. Oleh karenanya, dengan rasa terancam dan terkungkung, perempuan pasif untuk mengalami kekerasan sebab ia tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikirannya, dan geraknya. Sedari itu, perempuan tidak mampu menciptakan sejarah sebagai manusia sempurna karena nilai selalu melekat pada tubuh perempuan.
Sejak lahir, perempuan dibebankan lebih sebagai penjaga moral, namun di lain sisi, publik tidak pernah mempercayai moralitas perempuan. Akibatnya, tubuh perempuan kerap dipantau oleh siapapun sepanjang hidupnya dan tubuh perempuan dijadikan indikator moralitas di masyarakat.
Seperti kalau kita melihat film Pertaruhan, misalnya dalam bagian film ”Untuk Apa?” tentang kasus khitan perempuan. Sejak awal diyakini dan dipercayai kalau perempuan tidak dikhitan maka perempuan itu akan liar dan nakal (apa hubungannya coba??). Untuk menghindari supaya perempuan tidak liar dan nakal maka harus dikhitan. Karena itu salah satu bagian tubuh perempuan dan itu merupakan sentral dari bagian tubuh perempuan yaitu vagina harus dipotong meski hanya simbolis maupun ”betulan”, bahkan di beberapa negara Islam, vaginanya dihilangkan. Padahal secara rujukan teologinya khitan tersebut hanyalah dianjurkan (sunnah) tapi secara tradisi dan budaya yang sangat patriarki menjadi kewajiban. Bahkan kalau dilihat secara medis khitan untuk perempuan tidak ada gunanya sama sekali malah sangat berbahaya karena bisa infeksi dan perempuan kehilangan dan tidak akan pernah merasakan kenikmatan berhubungan seks. Berbeda dengan khitan untuk laki-laki, secara medis pun itu disarankan dan secara teologis diwajibkan.
Begitu juga dalam bagian film ”Mengusahakan Cinta”, diceritakan bagaimana seorang laki-laki meski laki-laki tersebut sudah pernah beristri dan punya anak, tapi laki-laki itu masih mempersoalkan keperawanan calon istrinya. Padahal calon istrinya kalau pun kehilangan perawannya bukan karena intercoust dengan laki-laki lain tapi karena kesehatannya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. karena soal keperawanan penting maka tak heran bila kita melihat operasi ”keperawanan” menjadi bisnis yang marak. Di sini kita melihat bagaimana sebagian laki-laki masih menganggap keperawanan identik dengan moralitas perempuan meski perempuan itu secara moral dan tindakan sangat baik.
Masalah perawan sebagai indikator perempuan yang baik juga bisa kita lihat dalam film ”Nona Nyonya?”. Pihak rumah sakit dan sebagian besar dokter kandungan yang semestinya netral, di film ini diperlihatkan, masih menganggap "aneh" bila perempuan single mau dipepsmear (pemeriksaan dalam rahim). Pepsmear gunanya untuk mengetahui kondisi kesehatan rahim. Adanya anggapan aneh ini karena pemahaman publik yang dominan menganggap bahwa pemeriksaan pepsmear hanya diperuntukkan buat perempuan yang sudah bersuami. Sementara perempuan yang single, meski ia sudah melakukan hubungan seks atau karena keputihan atau alasan lainnya, dianggap aib, dosa dan aneh dan seakan-akan tidak punya hak untuk memeriksakan rahimnya. Sehingga akhirnya perempuan enggan memeriksakan alat reproduksinya padahal pemeriksaan tersebut sangat vital untuk kesehatan reproduksinya. Makanya tidak heran bila kita lihat dalam film ini, rumah sakit akan menanggapi secara negatif minimal dengan menanyakan hal-hal macam-macam dan bahkan yang lebih ekstrim lagi ”didakwahi” oleh dokternya.
Yang paling tragis dan ironis bila kita melihat kondisi perempuan dalam film ”Ragate Anak”. Dalam film ini kita melihat bagaimana perempuan hanya dihargai sepuluh ribu untuk tubuhnya. Padahal perempuan melakukan pekerjaan tersebut untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup di tengah lapangan kerja yang sangat sulit. Namun kita melihat di lapangan, perempuan tidak hanya sekedar tubuhnya yang tidak dihargai bahkan mereka dieksploitisir dan ”dikerjain”oleh para lelaki yang menjadi kiwir dan calo yang ”mengompas” dan memanfaatkan mereka baik raganya maupun materinya. Para lelaki itu pun berkomplot dengan aparat untuk kelancaran usaha mereka. Semestinya fungsi aparat melindungi warganya tapi kita melihat malah sebaliknya, mengkriminalkan dan tidak memfasilitasi serta melindungi warganya dalam menyediakan lapangan kerja kalau memang pekerjaan PSK dianggap tidak diperbolehkan dan memalukan. Setelah adanya film ini lokasi Bolo ditutup dan ”isinya” dibiarkan terlunta-lunta. Alasannya daerah ini tidak sesuai dengan syariat dan membuat aib warga Temanggung.
Menonton film Pertaruhan, kita seperti melihat ”taman mini” persoalan perempuan di Indonesia. Harus diakui bahwa perempuan masih sangat jauh dari kondisi baik dalam mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari negara lewat hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Perundang-undangan di Indonesia buat saya masih sangat bias laki-laki. Lihat saja perundang-undangan yang ada seperti UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Politik, UU Kesehatan, UU Pornografi dan lainnya. Saya kira, teman- teman PSHK lebih ahli dalam mengeksplorasi persoalan ini. Bahkan yang terbaru ada informasi bahwa akan ada RUU Perkawinan yang isinya melegalkan suami beristri empat (poligami). Belum lagi maraknya perda-perda syariat yang isinya mendomestikasi dan menutup peran perempuan lewat kriminalisasi tubuh dengan cara "menutup" perempuan.
Fakta yang luput dan semestinya disadari oleh pembuat kebijakan adalah semestinya substansi hukum mempertimbangkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dan bukannya berlindung di balik objektivitas dan netralitas. Alih-alih untuk melindungi perempuan, aturan-aturan yang ada seperti UU Pornografi, perda-perda syariah bahkan fatwa ulama yang keluar akhir-akhir ini tentang perempuan malah sebaliknya, mengkriminalkan perempuan.
Kenyataan ini menjadi tantangan buat kita semua untuk melakukan dan bekerja lebih baik dan keras lagi untuk kesetaraan dan keadilan buat perempuan. Kalangan civil society harus berusaha keras dengan konsolidasi dan kerja sama terus menerus memberi masukan dan pressure kepada pembuat kebijakan seperti DPR dan pemerintah agar bisa merumuskan dan merevisi UU dan kebijakan yang pro perempuan. wallahu'alam bissawab
** tulisan ini sebagai pengantar diskusi Film Pertaruhan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 12 Februari 2009